fbpx
Freepik/odua

Antara Aku, Kamu, dan Keberagaman Indonesia

Perkenalkan nama saya Grace, saya seorang remaja berdarah Batak-Jawa, lahir besar di kota Mataram, dan bergaul akrab dengan teman-teman yang didominasi dari suku Bali dan Sasak. Awalnya saya berpikir bahwa hidup yang saya jalani sudah bertemu dengan beragam orang, baik dari suku, agama, maupun latar belakang. Ternyata, saya salah. Saya menyadarinya sejak saya mengikuti sebuah program beasiswa pendidikan dan tinggal di asrama dengan teman-teman dari beragam daerah, bahkan ada yang dari Merauke juga!

Apakah kalian pernah berjumpa dengan seseorang dari Merauke? Awalnya saya pun tidak. Itu untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan seseorang dari Merauke dan saya cukup antusias saat berkenalan dengan teman-teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Gunungsitoli, Berastagi, Nongkojajar, Seko, Bekasi, Toraja, Sumba, dan masih banyak yang lainnya. Jujur, saat berkenalan dengan mereka, saya mendengar tempat asal mereka yang tidak pernah saya dengar sebelumnya dan banyak dari mereka pun tidak tahu kota Mataram, tempat di mana saya tinggal. Saya merasakan keberagaman yang kental saat berkenalan dengan mereka.

Beberapa di antara mereka sadar kalau saya bersuku batak setelah mengetahui marga saya. Tiba – tiba saja, mereka langsung berbicara menggunakan bahasa Batak yang sama sekali saya tidak tahu. Meski saya berasal dari suku batak, orang tua saya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Lingkup pertemanan saya pun menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Sasak. Akhirnya, saya pun memberitahukan kepada mereka bahwa saya tidak bisa berbicara bahasa Batak. Awalnya mereka merasa hal itu lucu tetapi setelah itu mereka pun mengajari saya bahasa Batak loh! Siapa yang sangka saya bisa sedikit-sedikit bahasa batak karena mereka. Saya pun juga belajar bahasa daerah lainnya, seperti bahasa Toraja, Manado, Nias, dan Jawa. Meski hanya kalimat-kalimat untuk percakapan umum, tetapi hal itu sangat menyenangkan bisa bergaul akrab sambil berbagi lebih banyak budaya masing-masing.

Tidak hanya sampai di situ, kami menjalani kegiatan Latihan Kepemimpinan di Cikole, Lembang. Seperti namanya, latihan kepemimpinan jelas menguras banyak tenaga, penuh dengan kedisiplinan dan aturan. Saya secara pribadi terus ditantang ego sendiri. Di saat kami dihukum karena kesalahan satu orang, di saat kami harus menambah jumlah pushup ketika ada yang tidak melakukannya dengan benar, atau melihat teman yang lain kesulitan. Kami, saya dan teman-teman, belajar untuk dapat mendahulukan orang lain, berbesar hati menerima konsekuensi, dan memiliki rasa empati untuk dapat menolong tanpa melihat latar belakang mereka. Saya pun merasakan satu dengan yang lain hadir bukan sebagai individu, tidak lagi soal saya, tetapi kita. Ini merupakan pengalaman baru untuk saya.

Aktivitas yang saya jalani selama latihan kepemimpinan sangat dekat dengan masyarakat, khususnya saat melakukan Corporate Social Responsibility atau yang disingkat CSR. Masyarakat di wilayah Cibedug menjadi tempat dilakukannya kegiatan CSR ini. Kami diminta secara bebas dan mandiri mencari rumah untuk ditinggali selama tiga hari dengan ketentuan yang telah diaturkan oleh pelatih dan aparat setempat. Saya dan seorang rekan saya yang berasal dari Manokwari pun langsung mendapatkan rumah tinggal saat pencarian pertama kali. Orang tua asuh kami selama tiga hari merupakan sepasang suami istri paruh baya yang tinggal sebelahan dengan anak-cucu mereka, tetapi si Ibu hanya bisa bahasa Sunda. Saya dan rekan saya bingung mengenai cara berkomunikasi dengan si Ibu. Lalu, cucunya yang baru kelas 5 SD pun seketika menjadi penerjemah antara saya dan rekanku dengan si Ibu. Si ibu sangat senang dengan kehadiran kami di rumah tersebut. Meski berbeda keyakinan, tetapi si Ibu sangat ramah dan merawat kami dengan baik.

Selama tiga hari berada di Cibedug, Saya mendapatkan banyak pengalaman baru. Saya bisa belajar bahasa Sunda, saya bisa makan seblak yang buatan orang Sunda asli, saya bisa ikut pergi ke ladang dan membantu panen tomat, saya juga jadi tahu kesulitan para petani karena pekerjaan orang tua asuh saya yang seorang petani tomat, saya juga jadi tahu bahwa latar belakang itu tidak menjadi dasar bagi kita untuk berbuat baik dan menjalin rasa kekeluargaan. Tidak hanya orang tua asuh saya, tetapi dari masyarakat sekitar pun sangat ramah dan menolong kami selama di Cibedug.

Saya pun sempat melakukan kegiatan mengajar sehari di salah satu sekolah dasar yang ada di Cibogo, Lembang. Saya dan beberapa teman telah dibagi menjadi beberapa kelompok berisi empat orang dan masuk ke dalam kelas yang sudah di tentukan. Kebetulan, saya bersama teman kelompok saya mengajar di kelas enam SD. Saat masuk, saya dengan teman-teman yang lainnya dapat berbaur bersama dengan adik-adik di kelas enam. Kami bernyanyi, belajar bahasa Inggris bersama, dan tidak lupa kami pun mengedukasikan mengenai kebersihan lingkungan dan gaya hidup mencuci tangan dengan cara-cara asyik kepada mereka.

Adik-adik sangat kooperatif dan mengikuti dengan baik! Saya sempat khawatir karena saya takut mereka berkemungkinan besar tidak bisa berbahasa Indonesia atau saya dan teman kelompok saya tidak bisa membawa suasana kelas dengan baik. Ternyata, mereka begitu menghargai kami. Saat sesi terakhir di kelas, mereka sempat bertanya suatu pertanyaan yang sempat tidak terpikirkan dikepala saya. “Kakak agamanya apa?” saya dan teman sekelompok saya saling pandang. Kami pun menjawab pertanyaannya dan kami mengatakan kalau kami beragama Kristen. Mereka tersenyum senang, mereka jarang sekali berjumpa dengan orang yang beragama non-Islam disana dan mereka suka bisa berjumpa dengan kami. Kami pun foto bersama dengan tersenyum lebar. Tak lupa, kami pun saling bertukar kontak agar bila ada kesempatan bisa berjumpa dengan adik-adik di Cibogo.

Secara pribadi, ada perasaan takut tertolak atau hal buruk lainnya yang berkemungkinan terjadi di pikiran saya. Namun, semuanya tidak terjadi. Hal-hal negatif atau rasisme itu tidak saya alami selama melakukan kegiatan ini. Rasa takut tertolak atau rasa takut dikucilkan karena menjadi yang berbeda merupakan perasaan yang seharusnya tidak akan dimiliki seseorang di saat setiap kita mau terbuka dan saling menghargai perbedaan. Cara inilah yang menjadikan keberagaman Indonesia dapat berlangsung dan hidup; terbuka dan menghargai.

Kisah ini senyata keberagaman Indonesia yang ada di tengah-tengah kita. Rasa aman, rasa diterima, dan rasa cinta keberagaman itu berasal dari saya, berasal dari kamu, berasal dari setiap kita yang tinggal di negara Indonesia ini. Saya tidak bisa mengatakan saya cinta Indonesia, di saat saya hanya tahu tentang daerah saya dan menutup mata dengan daerah atau budaya yang berbeda dengan saya. Indonesia adalah kita. Saya mau mengucapkan rasa terima kasih untuk setiap kita yang terus mau belajar menghargai, menerima dan mau menunjukkan identitas kita tanpa rasa takut. Ini semua antara aku, kamu, dan keberagaman Indonesia. Tentu kisah keberagaman ini harus terus dilanjutkan, apakah kamu siap untuk memulai kisah keberagaman lainnya?