fbpx
Freepik/rojapradana

Memaknai Toleransi Dalam Keberagaman

Tumbuh besar di lingkungan muslim dengan budaya jawa-sumatera yang cukup mendominasi membuat saya merasa nyaman dan aman karena tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai hidup serta kebiasaan yang diyakini oleh masyarakat sekitar. Saya tidak perlu berusaha menjadi sama karena memang latar belakang agama dan suku yang menjadi mayoritas di tempat saya tinggal  telah menjadi bagian dari kehidupan saya dan keluarga selama hidup di wilayah tersebut. Hal ini yang menyebabkan adanya rasa bangga sekaligus menjaga jarak dengan berbagai hal lain yang berbeda dari apa yang saya yakini. Tanpa disadari munculnya primordialisme dalam diri saya menyebabkan prasangka buruk terhadap kelompok masyarakat yang berbeda suku dan agama. Meskipun di sekolah diajarkan tentang sikap saling menghargai perbedaan dan hidup damai dengan masyarakat yang berbeda latar belakang suku, agama, dan sosial ekonomi namun menurut saya hal itu hanya sebatas teori yang disampaikan sebagai materi ajar yang hanya perlu dipahami sebagai pengetahuan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari anggota masyarakat, saya dan banyak siswa lain tidak benar-benar paham bagaimana mempraktekkannya dalam kehidupan sosial.

Output dari lingkungan pergaulan dan pengetahuan yang sempit menghasilkan sikap dan pola pikir yang tertutup dalam diri saya pribadi. Selain itu, saya menjadi sulit untuk berkenalan dan  dekat dengan orang lain karena adanya jarak yang dibuat dari asumsi saya terkait dengan latar belakang suku dan agama seseorang atas stereotype yang melekat. Pada saat itu, yang tumbuh dalam diri saya hanyalah pandangan negatif dan rasa curiga yang pada akhirnya membatasi saya  untuk mengenal keragaman yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat nusantara. Perlahan saya merasa menjadi seseorang yang tertinggal dan terbelakang dengan pikiran dan pandangan negatif tersebut. Karena saya sadar bahwa selama ini saya hanya berputar di lingkungan yang tidak membuat saya berkembang. Pengetahuan yang saya pelajari dari sekolah pun tidak menjadikan saya memiliki kepribadian yang inklusif justru sebaliknya saya menjadi sangat eksklusif dan selektif dalam bergaul.

Kesadaran akan ketertinggalan tersebut yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk lebih terbuka terhadap perbedaan. Kehidupan kampus yang dipenuhi keragaman membuat saya beradaptasi dengan nilai dan norma baru yang tidak saya kenal sebelumnya. Di lingkungan baru ini saya berkenalan dengan teman-teman dari latar belakang suku, agama, status sosial dan ekonomi yang beragam. Saya bisa berkenalan dengan orang lain tanpa menanyakan apa sukunya atau apa agamanya. Berteman karena bisa berkomunikasi dengan baik dan saling mendukung satu sama lain yang akhirnya membuat saya paham bahwa suku, agama dan terlebih lagi stereotype bukanlah patokan untuk menilai baik atau buruknya seorang manusia. Sebaliknya, kami bisa saling berbagi pengetahuan dan pengalaman budaya masing-masing tanpa memperdebatkan mana yang lebih unggul, karena semua budaya memiliki keunikannya tersendiri.

Pengalaman yang sangat bermakna dalam perjalanan mengenal keberagaman masyarakat Indonesia adalah ketika saya mendapat kesempatan untuk tinggal di rumah keluarga buddhis di sebuah pedesaan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Meskipun hanya 2 hari disana, namun saya dapat mengenal lebih dekat kehidupan sosial, budaya dan keagamaan kelompok masyarakat buddhis yang menjadi minoritas di wilayah tersebut. Selain di jamu dengan sangat baik saya pun diberi kebebasan untuk tetap menjalankan ritual keagamaan saya sendiri di kediaman tuan rumah tanpa perlu merasa sungkan. Saat itu sempat terpikir oleh saya, bagaimana bisa keluarga tuan rumah tersebut dengan senang hati mengizinkan saya dan teman-teman menginap di rumahnya padahal mereka tahu hijab yang kami kenakan merupakan simbol agama yang melekat pada tampilan luar kami? Apakah mereka tidak memiliki pikiran buruk terhadap hal itu? Namun pikiran negatif tersebut perlahan pudar bersamaan dengan malam panjang yang kami habiskan yang penuh kehangatan dengan mengobrol dan menikmati makanan khas warga desa tersebut di sebuah rumah sederhana di bawah kaki gunung. Berada di tengah kelompok masyarakat minoritas yang berbeda suku dan agama ini lah saya belajar tentang sikap sopan santun, menghormati, dan berbagi tanpa mempertimbangkan latar belakangnya. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar kita bisa lebih terbuka terhadap perbedaan dan keragaman sosial masyarakat, yaitu:

  1. Mengenali, seperti sebuah pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Jika belum kenal, yang harus dilakukan adalah berkenalan. Dengan mengenal maka kita bisa lebih mengetahui secara langsung bukan hanya ‘katanya’ dan berujung menyamakan semua kelompok masyarakat atas stereotype yang ada
  2. Menjalani, setelah mengenal kita bisa menjalani interaksi dan bersosialisasi dengan lebih baik tentunya dengan tidak selalu berfikiran negatif dan curiga
  3. Memahami, dalam proses ini kesadaran terhadap perbedaan menjadi lebih konstruktif dengan mengasah rasa empati dan kerendahan hati untuk saling menjaga satu sama lain
  4. Memaknai, dari semua proses yang dilakukan, sampai akhirnya saya bisa memaknai sebuah perbedaan. Sikap saling menghormati mungkin memang tidak secepat kilat bisa langsung diterapkan, namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipraktekkan, hanya diawali dengan saling mengenal tanpa menaruh kecurigaan.

Selain itu, sosial media juga bisa berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan dan menggerakkan masyarakat untuk merekatkan rasa toleransi. Sosial media seharusnya bukan dijadikan sarana untuk saling bermusuhan dan menebar kebencian. Manusia sebagai entitas di dunia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan fisik dan sosialnya, karena pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam interaksinya dengan lingkungan sosial, manusia memiliki peranan yang dapat memberi pengaruh terhadap perubahan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, aspek sosial merupakan salah satu aspek dalam kehidupan yang selalu berkembang dan berubah. Dan perubahan tersebut ditentukan dari bagaimana pola pikir dan sikap kita dalam memandang perbedaan. Perlu diingat bahwa masing-masing kita adalah agen kebaikan untuk perubahan yang positif.

Referensi:

Suhaimi dkk. (2020). Pola Komunikasi dalam Mengatasi Konflik Antar Suku Nias dan Batak Desa Tanjung Mas Kampar Kiri. Jurnal Riset Tindakan Indonesia, 5 (1), 36-40.

Sari, Yuni M. (2014). Pembinaan Toleransi dan Peduli Sosial Dalam Upaya Memantapkan Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition) Siswa. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 23 (1), 15-26.

Jati, Wasisto R. (2014). Toleransi Beragama Dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta. Cakrawala Pendidikan, XXXIII (1), 71-79.

Digdoyo, Eko. (2018). Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan Tanggungjawab Sosial Media. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, 3 (1), 42-59.