fbpx
Pixabay/PDPics

PERKUAT EKONOMI RAKYAT DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI MIBASAH (MEDIA BANK SAMPAH) MENUJU INDONESIA SEHAT DAN BERKEMAJUAN

Rusdi SSi MSi Dosen Univesitas Muhammadiyah Kalimantan Timur/Sekeretaris 2 Gugus Jaminan Mutu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur

Laju pertumbuhan penduduk serta berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh manusia berefek munculnya pergeseran nilai ekologi dalam suatu lingkungan. Imbas dari semakin kompleksnya mobilitas kehidupan, maka memunculkan masalah terhadap lingkungan yaitu bertambahnya buangan/limbah yang dihasilkan, yang dikenal juga sebagai sampah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa pada 2020 total produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk, atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua sebagai pemroduksi sampah terbanyak di dunia, berada satu peringkat dibawah China.

Paradigma lama pengelolaan sampah lebih bertumpu pada pembuangan sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) atau dibakar. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2008), sekitar 69% sampah dibuang ke TPA, sisanya sampah tersebut dikubur (10%), dikompos dan didaur ulang (7%), dibakar (5%), dibuang ke sungai (3%), dan sisanya tidak terkelola (7%). Menurut data tersebut, model pengelolaan sampah yang sudah dilakukan sejauh ini sebagian besar memiliki dampak yang negatif terhadap lingkungan. Pengelolaan sampah justru menimbulkan efek lain seperti polusi tanah, air dan udara.

Dampak yang diakibatkan sampah terhadap kondisi lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kesehatan masyarakat. Coble et al (2009) mengatakan bahwa manusia bergantung pada lingkungan mereka, interaksi mereka mempengaruhi lingkungan, dan perubahan yang mereka buat pada lingkungan dapat berefek pada kesehatan mereka pula. Di Indonesia sendiri, penyebab mendasar rendahnya derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (45%), faktor perilaku (30%), dan faktor pelayanan kesehatan (20%).

Penanganan masalah sampah tidak hanya bertumpu pada satu pihak saja, dalam hal ini pemerintah, tetapi juga perlunya dukungan dari masyarakat. Masyarakat pun harus bersikap responsif untuk menciptakan lingkungan yang sehat. Keberhasilan penanganan sampah harus didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi, karena aspek perilaku masyarakat merupakan variabel penting dalam mewujudkan keberhasilan terhadap penanganan masalah sampah. Hal ini bersinergi dengan pernyataan dari Parker dan Selman dalam Percy (1999) yakni masyarakat sebagai lingkungan sosial memiliki kedekatan dengan kondisi lingkungan fisik mereka, serta mengambil tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan fisik mereka dengan berbagai inisiatif yang berkesinambungan.

Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi dalam pengelolaan terhadap sampah agar terciptanya lingkungan yang bersih, hijau, asri dan sehat. Mwangi (2009) mengatakan bahwa manajemen lingkungan yang baik dan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa adanya tindakan bersama antara aktor. Peran-peran yang potensial tidak akan terwujud bila tidak adanya perubahan dalam perilaku atau sikap. Oleh sebab itu perlunya merubah mindset terhadap keberadaan sampah. Sehingga dalam hal ini bukan hanya melihat sisi negatif dari sampah, namun juga dapat melihat secara cerdas bahwa sampah pun dapat berkontribusi positif sebagai sarana yang dapat menunjang perekonomian masyarakat, jika proses pengelolaannya dilakukan secara tepat guna, konsisten, dan berkesinambungan. Dalam menunjang realisasi dari bonus demografi, maka sampah perlu diinovasi menjadi sesuatu yang bernilai manfaat. Pengelolaan sampah dalam konteks ekonomis dapat dilakukan dengan penerapan Bank Sampah.

Gagasan cerdas tentang sistem atau program Bank Sampah pertama kali dicetuskan oleh Bambang Suwerda, yang juga merupakan dosen Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. Gagasan ini muncul pada tahun 2006, dilatarbelakangi oleh kejadian gempa yang menimpa daerah Bantul Yogyakarta, yang efek dari gempa tersebut menghasilkan banyaknya sampah berserakan dimana-mana. Sebagai dosen kesehatan lingkungan, akhirnya beliau terinspirasi untuk mengelola sampah-sampah itu dengan konsep yang dinamakan bank sampah. Istilah bank sendiri muncul karena beliau memang sering ke bank, sehingga muncul gagasan untuk mengadopsi konsep bank yang sederhana dalam pengelolaan sampah. Gagasan tersebut kemudian disosialisasikan kepada orang-orang di sekitar rumah beliau, termasuk dengan ketua RT Badegan, Bantul, Yogyakarta. Gagasan tersebut disambut baik, sehingga gagasan tersebut terakomodir menjadi penerapan yang riil. Dengan gagasan cerdas beliau berupa konsep Bank Sampah, pada tahun 2009, beliau juga meraih penghargaan Indonesia Berprestasi Award kategori sosial kemasyarakatan.

Bank Sampah adalah bank tempat menabung sampah dalam arti yang sebenarnya. Lebih jelas lagi, nasabah menabungkan sampah mereka di bank tersebut. Pada bank sampah, masyarakat menabung dalam bentuk sampah yang sudah dikelompokkan sesuai jenisnya. Mereka juga mendapatkan sejenis buku tabungan. Pada buku tabungan mereka tertera nilai rupiah dari sampah yang sudah mereka tabung dan memang bisa ditarik dalam bentuk rupiah (uang). Bank sampah bekerjasama dengan pengepul barang-barang plastik, kardus, dan lain-lain, untuk bisa me-rupiahkan tabungan sampah dari masyarakat. Juga dengan pengolahan pupuk organik untuk menyalurkan sampah organik yang ditabung.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2012), Pembangunan Bank Sampah merupakan momentum awal membina kesadaran kolektif masyarakat untuk memulai memilah, mendaur-ulang, dan memanfaatkan sampah karena sampah mempunyai nilai jual yang cukup baik, sehingga pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan menjadi budaya baru Indonesia. Pengelolaan sampah melalui bank sampah selain menabung sampah juga berupaya untuk memberdayakan masyarakat dalam mengurangi sampah yang ditimbulkan, memanfaatkan sampah dan melakukan daur ulang sampah (Suwerda, 2012).

Tuti Minarsih sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (Dirjen PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah usai membuka Rakornas Bank Sampah III di Grand Clorin Hotel and Convention di Makassar pada  16 September 2015 mengatakan bahwa tujuan pengembangan Bank Sampah bukan hanya bertujuan untuk membangun kepedulian lingkungan, namun juga dapat menunjang perekonomian masyarakat dan dalam data beliau menyebutkan Bank sampah di Indonesia sebanyak 2.861 unit dengan nasabah sebanyak 175.413 orang telah mengelola sampah sebanyak 5.551 ton/bulan dengan total nilai transaksi hingga Rp 34,3 miliyar/bulan.

Adapun pengelolaan sampah dengan sistem bank dengan proses sebagai berikut :

(a). Pendaftaran. Pendaftaran dilakukan oleh calon nasabah. Buku tabungan diperuntukan untuk nasabah bank sampah, petugas akan memberikan formulir pendaftaran untuk diisi oleh calon nasabah. Setelah mengisi formulir petugas akan menerangkan tata cara nasabah menyetor dan mengambil tabungan sampah. Setiap nasabah akan mendapatkan buku tabungan. Dan sampah yang ditabung nasabah akan dikenakan biaya administrasi sebesar persentase tertentu untuk kegiatan pengelolaan (operasional) dan kegiatan bakti sosial (amal).

(b). Penyetoran. Setiap sampah yang disetor harus sesuai dengan jenisnya. Dimana, setiap kali melakukan penyetoran nasabah wajib membawa buku tabungan. Setiap kantong sampah yang diterima oleh petugas akan ditulis nama dan nomor rekening nasabah. Sampah yang disetor akan ditimbang sesuai dengan berat dan harganya. Petugas akan mengisi buku tabungan sesuai dengan berat dari sampah tersebut. Penyetoran dapat dilakukan pada jam operasional bank sampah. Setiap kantong sampah milik nasabah atau penabung diberi label agar tidak tertukar dengan nasabah lain. Kemudian kantong sampah itu disimpan dalam bilik penyimpanan sampah sesuai jenisnya. Teller mencatat dan mencocokkan lagi semua penyetoran nasabah dalam buku besar yang disebut buku induk.

(c). Kompensasi. Sistem penarikan dilakukan periode tertentu dan termasuk juga pada hari raya apabila volume sampah sudah mencapai batas minimal pengambilan. Setiap penarikan nasabah wajib membawa buku tabungan.

(d). Penampungan.Petugas akan memilah kembali sampah yang telah disetorkan oleh warga untuk dijadikan satu. Petugas akan menyimpan beberapa sampah untuk didaur ulang.

(e). Pengangkutan. Pada sistem pengumpulan komunal yang lazim dilakukan adalah pihak petugas berkeliling mengambil sampah milik warga pada titik yang telah ditentukan. Sampah disetor ke pengepul setelah petugas selesai bertugas.

(f). Penyetoran ke Pengepul. Penyetoran dilakukan setelah sampah terkumpul selama seminggu atau periode tertentu secara insidental. Penyetoran dikirim menggunakan mobil pengangkut. Hasil sampah yang dikumpulkan akan dihitung kembali oleh pengepul untuk mencocokkan harga. Setelah mendapatkan harga yang cocok petugas akan menerima setoran uang dari pihak pengepul dan menyimpannya di dalam kas.

Bank Sampah akan menjadi solusi yang cerdas dalam mengatasi permasalahan sampah, baik skala daerah, provinsi, maupun nasional. Dalam hal ini tentunya berbagai nilai manfaat akan didapatkan, diantaranya selain dapat menyehatkan kembali lingkungan yang telah tercemar sampah, juga dapat menjadi lapangan pekerjaan, sehingga akan menghasilkan prospek ekonomis yang dapat membantu perekonomian masyarakat, hal ini tentunya akan berefek dalam penyuksesan bonus demografi.

Bank sampah juga akan menjadi sarana keterampilan untuk menghasilkan inovasi-inovasi kerajinan tangan, terutama sampah yang bersifat anorganik. Kerajinan tangan olahan dari sampah yang memiliki kualitas yang tinggi tentunya akan bersinergi dengan nilai jual yang tinggi. Pemasaran akan kerajinan tangan tersebut dapat dilakukan baik melalui tatap muka langsung dengan pembeli, maupun dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih yaitu melalui sistem online. Ketika sistem online dilibatkan sebagai sarana pemasaran kerajinan tangan olahan dari sampah, maka bukan hanya dapat dipasarkan dengan skala domestik, artinya pembeli bukan hanya orang lokal, namun juga berpotensi merambah hingga ke luar negeri, sehingga produk dari kerajinan tangan olahan dari sampah dapat juga diminati oleh masyarakat luar negeri. Selain itu pula sistem online dapat berpotensi sebagai sarana pelayanan Bank Sampah, sehingga memberikan kemudahan masyarakat saat menyetor sampahnya.  Tentunya dengan berjalannya sistem yang demikian akan menghasilkan profit yang semakin besar, hal ini akan berimbas dengan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam penyuksesan Bank Sampah.

Oleh sebab itu agar konsep Bank Sampah semakin dapat terealisasi secara optimal, maka perlunya sinergitas dari semua stakeholder yang terlibat didalamnya yakni pihak pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Perlunya pemberian Reward dari pemerintah maupun CSR (Corporate Social Responsibility) dari pihak swasta yang diberikan kepada individu maupun komunitas suatu daerah terhadap keberhasilan dalam merealisasikan Bank Sampah, maka akan dapat menjadi motivasi terhadap individu atau komunitas tersebut, sehingga berefek positif untuk tetap konsisten dalam pelibatan penyuksesan Bank Sampah. Hal ini akan menjadikan Indonesia berkemajuan dan semakin memiliki citra yang positif di mata dunia.