Muhammad Beni Saputra Dosen 0shares Ketika Hutan Dianggap Sebatas Kumpulan Daun Hijau Read More Pertengahan 2019 lalu jagat maya Indonesia dihebohkan oleh fenomena penggunaan daun pisang sebagai pembungkus sayuran dan buah-buahan di supermarket Rimping, Thailand. Inisiatif supermarket yang berlokasi di Chiang Mai itu dianggap suatu terobosan dalam menekan angka penggunaan plastik yang saat ini sudah tidak terkontrol lagi. UN Environment Program (UNEP) mencatat, satu juta botol minuman plastik dibeli setiap menit dan lima triliun kantong plastik digunakan setiap tahun. Sejak tahun 1950 produksi plastik meningkat tajam, dan setengah dari plastik yang diproduksi di dunia adalah sekali pakai. Di Indonesia, dari tahun 2002 kebutuhan akan plastik terus mengalami kenaikan, dengan rata-rata pertumbuhan 200 ton per tahun. Mewabahnya penggunaan plastik berdampak buruk pada lingkungan dan makhluk hidup. Tapi pandemi ini dapat ditanggulangi dengan perpaduan solusi kearifan lokal, inovasi modern, dan rewards. Solusi ini tidak hanya akan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, tetapi juga berpotensi mendongkrak perekonomian masyarakat. Indonesia dan Wabah Sampah Plastik Berdasarkan data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memproduksi 64 juta ton sampah plastik per tahun. Jumlah kantong plastik yang mengotori lingkungan tidak kalah hebat, yaitu 10 miliar lembar atau setara 85.000 ton tiap tahunnya. Ini belum termasuk ratusan ribu ton sampah plastik impor yang ditampung Indonesia dari negara maju. Per kapita orang indonesia menghasilkan 0.8 kilogram sampah per hari, di mana 15% di antaranya plastik. Dari plastik yang dihasilkan ini hanya 10% yang didaur ulang, sementara sebagian besarnya (69%) dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 90% sampah plastik di kabupaten/kota di Indonesia ditumpahkan ke TPA tanpa proses pemilahan. Sekitar 3.2 juta ton sampah plastik dibuang ke laut Indonesia, dan setiap jam tidak kurang dari 20.000 barang berbahan plastik mengalir ke Laut Jawa. Fakta getir ini menobatkan indonesia sebagai negara pencemar laut dengan plastik tertinggi kedua di dunia setelah Tiongkok. Tahun 2025 Indonesia dan Tiongkok bahkan diprediksi menjadi raja dalam limbah plastik yang tidak terkelola baik. Sekitar 70% sampai 80% plastik yang mencemari laut berasal dari sungai. Dari seluruh kali di Jakarta terdapat 2.1 juta kilogram sampah plastik. Bengawan Solo menampung sekitar 32.500 ton sampah plastik tiap tahun. Di Jambi, Sungai Batanghari berfungsi sebagai tong sampah raksasa yang menampung segala macam limbah, tak terkecuali plastik. 10% plastik yang baru diproduksi akan dibuang ke sungai, sebelum berakhir di laut. Di laut sampah plastik menjerat dan termakan banyak hewan yang berakibat fatal terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup mereka. Efek sampah plastik di sungai yang jamak diketahui adalah banjir. Namun efek lainnya yang jarang didengungkan tapi tidak kalah berbahaya adalah ancaman mikroplastik, partikel plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter. Studi menunjukkan mikroplastik banyak terdistribusi di perairan air tawar dan sedimen sungai dan danau. Di muara sungai Ciliwung dan Pesisir Utara Jakarta, misalnya, mikroplastik jamak ditemukan. Ikan kepala timah yang banyak berenang di kawasan itu pun tak luput dari kandungan mikroplastik. Sementara itu, penelitian terhadap feses manusia dari berbagai daerah di Jawa dan Bali menemukan bahwa semua sampel yang diteliti mengandung mikroplastik. Beberapa air mineral kemasan ternama seperti Aqua, Nestle Pure Life, dan Evian bahkan mengandung mikroplastik. Bagi manusia, mikroplastik bisa menyebabkan keracunan dan meningkatkan risiko terkena kanker. Bagi biota laut, mikroplastik dapat merusak fungsi saluran pencernaan, menghambat produksi enzim dan serangkaian efek buruk lainnya. Bagi hewan laut lainnya, seperti penyu dan burung, mikroplastik dapat merusak fungsi organ tubuh yang membuat mereka kelaparan dan mati. Efek plastik lainnya yang jarang diperbincangkan adalah pemanasan global dan perubahan iklim. Produksi plastik mengharuskan pengeboran minyak dan penggundulan hutan. Sekitar 4-8% konsumsi minyak global terasosiasi dengan plastik, dan jika tren ketergantungan terhadap plastik tidak berubah, pada tahun 2050 nanti plastik diprediksi menyumbang 20% terhadap konsumsi minyak global. Di tahun 2019 produksi dan insinerasi plastik menghasilkan 850 juta metrik ton gas rumah kaca. Jumlah ini sama dengan yang dihasilkan oleh 189 pembangkit listrik 500 megawatt tenaga batu bara. Kearifan Lokal, Inovasi Modern, dan Rewards Sebagai Solusi Beragam jalan keluar dari jeratan plastik sudah ditawarkan pemerintah, seperti Peraturan Menteri LHK No. P.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen (Permen LHK 75/2019). Di tingkat daerah juga sudah dikeluarkan aturan. Di Jakarta ada Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 mengenai kewajiban memakai kantong belanja ramah lingkungan dan pelarangan menggunakan kantong plastik sekali pakai. Di Kota Jambi pun sama, ada Peraturan Walikota Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pembatasan Penggunaan Kantong Belanja Plastik. Pemerintah juga aktif mengampanyekan 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Namun harus diakui serangkaian aturan ini belum begitu efektif. Kantong plastik sekali pakai masih jamak digunakan di seantero Indonesia, dari Jakarta sampai Bali, dari swalayan sampai pasar tradisional. Ketidakefektifan aturan yang telah dikeluarkan pemerintah diantaranya disebabkan oleh pelarangan plastik yang masih setengah hati. Indonesia belum mengharamkan total penggunaan kantong plastik sebagaimana yang berlaku di Thailand, Papua Nugini, dan 69 negara lainnya. Aturan pemerintah mengenai pelarangan plastik juga tidak menyentuh aktivitas belanja online. Padahal volume belanja online selama covid mengalami peningkatan tajam. Di Jakarta dan sekitarnya sendiri selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bulan Mei tahun lalu terdapat kenaikan 62% belanja online berbentuk paket, sementara layanan antar makanan naik ke 47%. 96% dari paket ini dibungkus plastik. Untuk mengurai benang plastik yang masih kusut ini saya menawarkan tiga solusi. Solusi pertama adalah penggunaan bahan alam sebagai pengganti plastik dalam kerangka kearifan lokal. Genetika ramah lingkungan sudah ada di dalam diri orang Indonesia yang dibuktikan dengan pemanfaatan bahan alam sebagai wadah sejak dahulu kala. Nationaal Museum van Wereldculturen en het Wereldmuseum di Belanda menjadi saksi sejarah betapa banyaknya peralatan sehari-hari masyarakat Nusantara yang terbuat dari alam yang jika digunakan saat ini akan sangat membantu dalam pengurangan ketergantungan terhadap plastik. Pemerintah perlu menghidupkan khazanah kekayaan bangsa ini dan mendorong masyarakat menggunakan kembali wadah-wadah yang lazim dipakai di daerah masing-masing. Noken di Papua, ambung di Jambi, atau base dan jaga di Kalimantan Barat merupakan sekelumit contoh wadah yang bisa dipromosikan. Penggunaan daun pisang, daun jati, dan daun palem sebagai pembungkus makanan seperti yang dijumpai di beberapa wilayah di Indonesia, meskipun masih dalam skala sangat kecil, harus digalakkan lagi. Dan berbagai kreasi tas belanja dan wadah lainnya yang terbuat dari daun pandan, rotan, dan resam mesti diberikan sokongan penuh. Menghidupkan kembali kearifan lokal yang sudah mulai tergerus zaman tidak cukup pada tataran regulasi di tingkat nasional dan provinsi. Pemerintah perlu melibatkan perangkat desa, kelurahan, dan komunitas adat lokal sebagai ujung tombak karena merekalah yang setiap harinya bergelut langsung dengan masyarakat. Yang tidak kalah penting lagi adalah penganjuran dan penerapan konsep kearifan lokal pengganti plastik perlu menggunakan pendekatan psikologi tingkah laku (behavioral science). Kebijakan berbasis ilmu pengetahuan ini sudah diterapkan dan menuai sukses di banyak negara, seperti di Amerika Serikat, Australia, Jerman, Perancis, dan Singapura. Target utama dari konsep kearifan lokal adalah internalisasi kebijakan menggunakan wadah ramah lingkungan dengan identitas warga. Solusi selanjutnya adalah memberikan dukungan kepada inovasi modern yang ditawarkan startup ramah lingkungan. Indonesia sudah memiliki beberapa startup yang memproduksi kantong belanja, kemasan, atau sedotan dari bahan alam seperti singkong dan rumput laut. Namun mereka belum bisa memproduksi massal karena masih terkendala tenaga. Inovasi kreatif juga ditunjukkan startup isi ulang kebutuhan rumah tangga yang memberikan solusi dari penggunaan plastik sekali pakai. Terdapat banyak contoh startup seperti ini yang jika mendapatkan sokongan penuh pemerintah akan sangat membantu dalam mengurangi penggunaan plastik. Terakhir, rewards untuk konsumen yang memakai kantong belanja berbahan alam juga perlu diadakan, alih-alih hanya punishment seperti yang diberlakukan di swalayan. Rewards dapat mendorong orang mengulangi pilihan yang sama dengan sebelumnya sehingga jika diaplikasikan ke penggunaan non-plastik skema ini akan berefek besar. Pemerintah bisa mendorong pemilik usaha untuk memberikan diskon atau giveaway kepada konsumen yang menggunakan kantong belanja ramah lingkungan. Jika serangkaian kebijakan ini diterapkan maka perekonomian warga akan tertolong, terutama mereka yang menetap di desa. Penggunaan bahan alam sebagai pengganti plastik dalam skala besar akan menaikkan permintaan bahan baku. Pada akhirnya daun pisang, singkong, atau daun pandan yang ditanam warga akan laku keras. Hutan juga akan ikut asri karena warga akan berbondong-bondong menanam rotan. Sementara untuk warga pencari rotan atau resam yang kini kehilangan pekerjaan akibat musnahnya hutan akan kembali memiliki mata pencaharian. Apa yang dipraktikkan supermarket Rimping di Chiangmai itu sejatinya bukan perkara baru, terutama bagi masyarakat pedesaan di Indonesia. Tapi mesti diakui gaya hidup masyarakat Indonesia sudah jauh bergeser dari sebelumnya menggunakan bahan alam dalam berbagai keperluan ke plastik sekali pakai. Perpaduan kearifan lokal, inovasi modern, dan rewards adalah solusi untuk mengakhiri pandemi plastik ini.