Alif Syuhada Penulis Lepas, Blogger 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More “Alat pembungkus yang praktis, ideal, bersih, kuat, tahan air/udara dan murah. Anda akan puas dan kagum, apabila barang dagangan anda dibungkus dengan : kantong plastik.” begitulah bunyi iklan kantong plastik di Star Weekly, 8 April 1961. Iklan tersebut merekam awal mula plastik masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 1950an (Historia.id). Saat itu, persepsi orang terhadap plastik belum negatif. Bahkan, kantong plastik menjadi trend tersendiri, bukan menjadi barang sekali pakai. Anak-anak sekolah, ketika itu, merasa bangga memakai kantong plastik sebagai tas sekolah, untuk melindungi buku-buku pelajaran dari air hujan. Informasi tersebut diungkap Tim Yayasan Bina Pembangunan dalam Barometer Bisnis Plastik di Indonesia. Saya juga masih ingat bagaimana nenek saya suka menyimpan kantong plastik, tidak langsung membuangnya sebagaimana kebiasaan masyarakat saat ini. Plastik itu disimpan nenek supaya bisa dipakai lagi saat diperlukan. Kala itu, kantong plastik sangat jauh dari citra perusak ekologi. Bahkan, penciptaan plastik dimaksudkan untuk menyelamatkan bumi. Hal itulah yang menjadi niat Sten Gustaf Thulin, pembuat kantong plastik pertama kali pada tahun 1959. Thulin mengutarakan niatnya menciptakan kantong plastik adalah untuk menggantikan kantong kertas. Kantong plastik memiliki beberapa keunggulan. Kantong plastik bisa dipakai berkali-kali, berbeda dengan kantong kertas yang mudah robek, dan tak tahan air. Melalui kantong plastik, Thulin turut bersama gerakan dunia yang tengah mencoba untuk menjaga sumber daya alam. Kantong kertas tak bisa tahan lama sehingga hanya dipakai sekali dua kali saja, lalu dibuang. Perilaku “sekali pakai” itu dapat menyebabkan kelangkaan bahan baku kertas dan mengancam sumber daya alam. Dunia kini memerangi plastik. Presepsi dunia terhadap plastik kini telah berubah sejak enam puluh tahun ditemukan pengganti kertas tersebut. Keberadaan plastik yang dulu digadang menjadi penyelamat sumber daya alam kini justru berubah menjadi bencana. Plastik pun akhirnya juga menjadi benda “sekali pakai”, sama seperti problem yang terjadi pada pembungkus berbahan kertas pada saat itu. Berdasarkan hal ini, maka bukan plastik yang menimbulkan problem sampah, melainkan mentalitas manusia itu sendiri. Indonesia adalah salah satu negara yang berada dalam status darurat sampah plastik. Berdasarkan data yang disebut oleh The National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, setiap tahun Indonesia menghasilkan sekitar 6,8 juta ton sampah plastik (beritajatim.com). Sejumlah 61% dari total sampah plastik tidak terkelola. Indonesia pun menempati peringkat kedua sebagai negara penghasil sampah plastik di dunia. Manfaat Plastik Justru Menghambat Pemberantasannya Penggunaan plastik kian hari kian beragam, tidak hanya digunakan sebagai kantong makanan, plastik juga digunakan sebagai aneka peralatan rumah tangga. Gerabah, kaca, dan besi tersingkir. Plastik semakin tak terelakan, mendominasi kehidupan sehari-hari. Akhirnya, kita sangat bergantung dan susah terlepas darinya. Kegandrungan terhadap plastik juga dipengaruhi oleh nilai ekonomisnya. Peralatan yang terbuat dari plastik umumnya lebih murah, tahan lama, dan lebih menarik. Tak heran jika industri makanan dan produk kebutuhan sehari-hari meliri plastik sebagai kemasan produk. Bahkan tak terkecuali pelaku usaha kecil. Mereka tak bisa melepaskan plastik sebagai pembungkus makanan, terlebih yang berkuah. Nilai ekonomis plastik teruji dalam penggunaan botol kemasan air minum. Jika dibandingkan dengan botol kaca, botol plastik memiliki tingkat efisien tinggi. Pengusaha bisa maksimal dalam mendistribusikan barang dan memangkas operasional isi ulang. Jangkauan pasar pun bisa diperluas dan mendatangkan keuntungan yang berkali-lipat dibanding dengan menggunakan botol kaca. Ketergantungan pada plastik memicu penolakan saat kebijakan larangan penggunaan kantong plastik hendak diterapkan. Contohnya adalah di Jakarta. Mengutip dari laman Tirto.id, Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah Indonesia (Akumindo). Ikhsan Ingratubun, ketua Akumindo, menyatakan bahwa larangan penggunaan plastik akan memperberat pelaku usaha kecil. Ia menuntut pemerintah untuk menyediakan alternatif plastik yang bahannya murah dan mudah didapat, sebagaimana plastik. Ia juga menyebut bahwa persoalan sampah plastik berada pada pengolaannya. Alasan penolakan berbeda disampaikan oleh Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) melalui wakil ketuanya, Budi Susanto Sadiman. Ia menyebut pelarangan plastik akan berimbas pada hilangnya pekerjaan untuk 5.000 orang. Tak hanya buruh plastic, Budi juga menyebut ada 1 juta pemulung yang turut terancam kehilangan sumber rejeki. Belum juga terasuk kelompok yang bergiat pada daur ulang sampah plastik. Beragam penolakan pengusaha tersebut menciptakan tantangan panjang penanganan problem sampah plastik di Indonesia. Mereka yang peduli menjaga ekologi dihadapkan dengan produsen dan konsumen yang telah merasakan manfaat ekonomi dari adanya plastik selama bertahun-tahun. Problem ini juga menjadi hambatan tersendiri untuk program Sustainable Developtment Goals (SDGs) Indonesia dalam pilar lingkungan. Tujuan SDGs nomor 12 adalah menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Dalam poin penjabarannya disebut perihal upaya pencegahan, pengurangan, pembatasan, dan pemanfaatan kembali timbulan sampah sebagai upaya untuk menciptakan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Selain itu, poin penjabaran tujuan SDGs nomor 12 juga turut menyebut perihal penguatan kapasitas ilmu dan teknologi yang mengarah pada pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan serta pemantauan pariwisata berkelanjutan yang mempromosikan budaya dan produk lokal. Kekuatan Budaya Menimbang hambatan dan cita-cita penanganan problem sampah plastik membuat kita bertanya, bagaimana kita bisa melakukannya? Upaya jalur kebijakan pemerintah dalam memerangi penggunaan plastik ternyata masih sulit diharapkan. Alibi penolakan larangan penggunaan plastik masih kuat, sehingga kebijakan ekologis tersebut minim dukungan. Akhirnya, aksi yang bisa dilakukan hanyalah melalui kampanye penyadaran akan bahaya sampah plastik. Namun, kita patut bertanya, apakah masyarakat kita takut terhadap bahaya ekologis? Jika kita perhatikan, masyarakat kita sebetulnya kurang peduli terhadap keselamatan mereka sendiri. Seringkali, mencari rejeki adalah harga mati yang tak bisa ditawar, bahkan oleh ancaman nyata virus Corona sekalipun. Apalagi jika itu hanya dengan sampah plastik yang dampaknya tidak terlihat seketika itu juga? Kerusakan ekologi bukanlah sesuatu yang penting dibandingkan dengan manfaat ekonomis dan efisiensi penggunaan plastik. Presepsi inilah yang menciptakan karakter produsen yang tak terdidik. Akibatnya, para konsumen pun ikut tak terdidik. Kita semua ditantang untuk menyediakan pengganti plastik. Kantong kain tentu tak mampu menggantikan saset plastik pembungkus sampo dan sabun. Produk plastik ramah lingkungan juga tak ada kabar lagi. Memaksa pembeli bakso atau soto untuk membawa mangkuk sendiri dari rumah menimbulkan keribetan tersendiri. Target implementasi pilar SDGs nomor 12 adalah di tahun 2030. Kita patut bertanya, mampukah melawan kebiasaan yang telah berlangsung 60 tahun dengan 19 tahun tersisa? Hal apakah yang bisa ditawarkan untuk membayar kerelaan produsen dan konsumen yang telah amat tergantung pada plastik? Keberhasilan penganganan sampah plastik tak lepas dari memenangkan hati masyarakat. Kita harus memahami karakter masyarakat Indonesia, hal apakah yang membuat masyarakat kita rela berkorban atas hal-hal yang menguntungkannya. Titik itu adalah kunci pendidikan ekologi terhadap masyarakat kita. Hal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan narasi budaya, kepercayaan atau agama masyarakat di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana kekuatan agama, rasa kebangsaan, dan budaya lokal memberi energi besar bangsa Indonesia untuk berkorban demi kemerdekaan. Kita bisa melihat bagaimana perasaan religius bisa menuntun manusia untuk rela mengurangi hartanya untuk membayar zakat dan bersedekah. Masyarakat kita lebih takut pada kata “haram” daripada bencana sampah plastik yang sudah mengkhawatirkan. Masyarakat kita umumnya memberikan kepatuhan besar terhadap apa yang dikehendaki oleh nilai-nilai yang ia yakini. Sayangnya, isu sampah plastik belum memiliki basis atau keberakaran dalam nilai-nilai kebangsaan, kebudayaan lokal, maupun dalam narasi agama yang ada di Indonesia. Sebab itu, pendekatan nilai keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Indonesia sangat penting dalam rangka membentuk kesadaran imperatif untuk mengatasi sampah plastik. Penerapan tujuan nomor 12 dari SDGs perlu dicarikan basis kebudayaannya agar berhasil dilakukan. Budaya di Indonesia sebetulnya sangat mendukung kesadaran ekologi. Ajaran nenek moyang kita menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Keselarasan antara jagad gede (alam) dan jagad cilik (manusia) menjadi kunci ketentraman hidup. Kerusakan alam akan merusak manusia dan rusaknya hati manusia juga akan mengakibatkan kerusakan alam. sebab itulah, manusia Indonesia sebetulnya dituntut untuk menjaga alam sejak dalam hatinya. Upaya menciptakan masa depan yang lebih ramah lingkungan perlu melibatkan kebudayaan nasional sebagai “roh yang memerintah” kalbu masyarakat untuk peduli akan bahaya sampah plastik. Memberi makna yang bersifat religius atas pengorbanan masyarakat untuk meninggalkan sampah plastik memberi pengaruh efektif dibanding dengan hukum dan denda. Basis kebudayaan dan agama akan memotivasi masyarakat bekerja keras menciptakan inovasi alternatif pengganti plastik, tanpa harus dibayar. Ketika masyarakat, selaku konsumen, telah sadar pentingnya mengurangi penggunaan plastik, maka industri akan mengikuti masyarakat, walau dengan terpaksa. Masyarakat sipil atau konsumen yang cerdas akan mendikte perusahaan agar patuh terhadap garis-garis program SDGs yang diemban oleh pemerintah.