fbpx
Doc Pribadi

3 Tahun Mengabdi, Seumur Hidup Menginspirasi

Pengalaman adalah guru terbaik. Terjun ke lapangan adalah ilmu terbaik. Tetapi itu hanya akan menjadi sebuah kalimat yang bagus saja jika tidak ada yang dipelajari dan jika tidak ada yang dibentuk. Saya telah belajar banyak hal dari 3 tahun pengalaman sebagai guru pedalaman di 3 (tiga) provinsi di Indonesia. Saya belajar betapa pentingnya pendidikan non formal di daerah terpencil Indonesia, melihat fenomena pendidikan dan fenomena sosial dimana banyak anak putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga dan tidak sadar akan pentingnya pendidikan, tingginya angka buta aksara, SDM guru yang masih harus terus diberi pelatihan serta pemberdayaan masyarakat dalam bidang pertanian atau peternakan.

Saya Astina Hotnauli Marpaung, telah menyelesaikan studi S1 saya dari Prodi Pendidikan Luar Sekolah (PLS), jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau pada tahun 2018. Semasa kuliah, saya aktif menjadi guru anak jalanan di komplek patung Kuda, di sebuah ruko kosong bekas kebakaran, tepatnya di perempatan jalan Soekarno Hatta – Tuanku Tambusai, Kota Pekanbaru. Saya dengan tim komunitas Suluh Negeri mengajar anak jalanan secara bergantian berdasarkan jadwal yang sudah kami sepakati bersama. Saya mengajar setiap Senin, Rabu dan Jumat pukul 16.00 WIB setelah selesai perkuliahan. Anak jalanan yang saya ajari adalah anak yang sama sekali tidak sekolah, tunawisma dan anak punk. Kegiatan mereka setiap hari sampai siang hari ada yang berjualan koran, pengamen dan tukang lap sepatu. Sore harinya mereka belajar bersama saya. Saya membagi anak-anak yang berjumlah 8 anak ke dalam 2 (dua) kelompok berdasarkan usia. Usia 3-6 tahun saya ajari cara memegang pensil, mewarnai dan menempel gambar. Untuk anak usia 6-11 tahun saya ajari huruf dan baca tulis. Tentu saja materi untuk mereka berubah-ubah sesuai perkembangan belajar mereka. Selain belajar, saya juga mengajari mereka tentang kebersihan diri seperti cuci tangan sebelum makan, mengajari mereka bermain, bernyanyi, menonton dari HP, membacakan cerita tentang cita-cita supaya mereka tertarik untuk masuk sekolah dengan bantuan para donatur, sekolah kesetaraan (Paket A) untuk yang putus sekolah dan pendekatan diri kepada seorang anak punk yang cukup sering bergabung dengan anak didik saya. Dari pendekatan diri dengan sesekali memberi makanan bergizi mampu membuat saya mengedukasi anak punk tersebut mengenai bahaya menghirup aroma lem terus menerus. Tantangan yang saya alami selama mengajar anak jalanan cukup banyak, antara lain dilempari dengan batu oleh anak-anak punk yang lainnya karena seorang teman mereka bergabung belajar, dimarah-marahi dan dimaki oleh orangtua angkat anak jalanan karena melarang si anak tersebut ikut belajar melainkan harus mengamen, kemudian sering sekali diganggu oleh anak punk dimana ketika saya sedang mengajar selalu saja ada anak punk yang sengaja buang air kecil tepat di dekat tempat kami belajar. Karena tantangan tersebut, saya menyadari bahwa untuk memberdayakan mereka lah tujuan pendidikan luar sekolah itu hadir. Saya semakin semangat untuk memperlengkapi diri dengan ilmu konseling melalui seminar dari seorang konselor yaitu Pak Julianto Simanjuntak, bergabung dengan organisasi kerohanian yang menyediakan wadah untuk konseling dan belajar konseling serta membaca artikel tentang psikologi pendidikan supaya saya mampu bertahan sebagai guru anak jalanan dengan kondisi banyaknya penolakan kehadiran seorang guru di lingkungan mereka. Dengan pantang menyerah, selalu datang mengajar, bersikap ramah pada lingkungan mereka, selalu tersenyum dan sopan, akhirnya kehadiran saya sebagai seorang guru bimbingan belajar sore hari diterima dengan baik disana dengan syarat beberapa anak tetap harus bekerja sepulang sekolah tetapi tidak mengamen dan menciumi aroma lem lagi melainkan berjualan keliling yang diambil dari supplier pedagang warung besar di sana. Dampak positif yang dirasakan oleh anak-anak selama saya mengajar anak jalanan tersebut adalah rasa bangga dan percaya diri mereka bertumbuh sangat besar karena mereka sudah bisa membaca tulisan di kemasan makanan ringan yang mereka jual, mereka senang sudah bisa berhitung tanpa harus meminjam jari tangan temannya lagi dan mereka sudah bisa menjawab apa cita-cita mereka ketika ditanya mengenai cita-cita. Yang saya kerjakan untuk anak jalanan ini adalah program dari pendidikan luar sekolah itu sendiri seperti bimbingan belajar, keaksaraan dan pendidikan anak usia dini. Mengajar mengubah hidup, mengajar memberi hidup dan mengajar juga mendedikasikan hidup. Berawal sejak menjadi guru anak jalanan membuat saya semakin mencintai dunia pendidikan terkhusus pendidikan untuk mereka yang kurang mampu secara ekonomi dan terpinggirkan. Setelah lulus S1, saya bekerja sebagai guru pedalaman di Yayasan Tangan Pengharapan. Penempatan tahun pertama saya mengajar di desa Hilimbuasi, Kecamatan O’ou, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Sebuah desa terpencil di kaki gunung. Saya dan seorang rekan saya tinggal di kelas kosong di gedung sekolah SDN Hilimbuasi. Saya sangat terkejut melihat kondisi kekosongan tenaga pendidik di desa tersebut padahal cukup banyak yang lulusan sarjana pendidikan di desa tersebut. Sebuah SD Negeri yang sangat memprihatinkan karena tidak ada guru di sekolah sehingga tidak pernah ada kegiatan belajar mengajar termasuk tidak pernah ada upacara bendera. Anak-anak ke sekolah hanya datang untuk bermain setiap hari. Saya dan seorang rekan saya mengajar hanya berdua untuk kelas 1 sampai kelas 6 SD. Saya mengajar kelas 3,4 dan 5. Pagi hari saya mengajar mata pelajaran seperti biasa, masih menggunakan kurikulum KTSP dan sore harinya saya mengajar bimbel khusus untuk anak-anak yang belum bisa membaca dengan menggunakan kurikulum SSM (Saya Suka Membaca). Selama bertugas di Hilimbuasi, saya mengadakan beberapa kali diskusi dengan kepala desa dan kepala sekolah mengenai pentingnya bergotong-royong untuk memajukan pendidikan dan target mendesak yang harus segera dieksekusi adalah penyediaan guru honorer di SDN Hilimbuasi. Setelah 7 (tujuh) bulan di desa Hilimbuasi, bertambah 2 (dua) orang guru tidak tetap yang juga merupakan ipar dari kepala desa. Saya sangat bahagia akhirnya di SDN HIlimbuasi ada warga putera daerah yang bersedia menjadi pendidik di desanya sendiri. Penempatan di tahun kedua, saya bertugas di desa Tunis, Kecamatan Fautmolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Di Tunis, saya tinggal di rumah warga bersama dengan seorang rekan saya dan seorang nenek yang punya rumah. Saya mengajar PAUD di sebuah ruang darurat yang dindingnya terbuat dari bebak (pelepah Gewang). 1 (satu) semester di sana, saya dan anak didik saya duduk melantai di lantai setengah semen dengan alas tikar warga yang kami pinjam, belum ada fasilitas belajar seperti kursi atau meja, belum ada gedung yang layak untuk dijadikan ruang belajar. Ini adalah PAUD perdana di desa Tunis sehingga orang tua cukup antusias menghantarkan anaknya sekolah meskipun jarak rumah yang sangat jauh melewati hutan. Yang menjadi tantangan di awal menjadi guru PAUD di Tunis adalah anak-anak PAUD tidak bisa berbahasa Indonesia dan saya tidak bisa bahasa daerah disana. Saya hanya bisa menggunakan bahasa Kupang yang cukup dimengerti oleh anak-anak dan masyarakat disana. Tetapi ketika mengajar, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia supaya perlahan anak didik saya bisa berbahasa Indonesia. Saya dibantu oleh seorang guru lokal yang berasal dari desa Tunis, beliau sering menterjemahkan apa yang saya sampaikan kepada anak-anak. Karena dalam masa pandemi COVID 19, saya mengajar ke rumah-rumah siswa di 4 (empat) dusun sesuai jadwal per dusun. Tidak hanya mengajar, saya juga menyusun proposal untuk mengurus perizinan PAUD tersebut. Saya bangga pada pemerintahan disana yang cukup mudah dalam pengurusan administrasi dan mempermudah langkah saya sehingga PAUD tersebut sudah memiliki izin operasional dan sudah mewisudakan 8 anak pada tahun penugasan saya yaitu 2021. Saya juga pernah dipercayakan menjadi trainer untuk pelatihan guru-guru PAUD di Mauleum, TTS, NTT. Tahun ketiga menjadi tahun terakhir saya sebagai guru pedalaman. Saya bertugas di Gotab dan Rogdok, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Mentawai lebih berkembang dibandingkan kedua daerah penempatan saya yang sebelumnya di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Di tiap dusun sudah ada PAUD, PUSTU (Puskesmas Pembantu), program menabung dan pemberdayaan berkebun. Hal ini dikarenakan banyaknya yayasan sosial dan komunitas dari luar Mentawai yang membantu masyarakat Mentawai di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, perikanan dan peternakan dengan program kerja yang nyata dan berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat Mentawai. Di Mentawai, saya mengajar KB (Kelompok Bermain) dan TK di pagi hari kemudian bimbingan belajar sore hari untuk anak SD dan malam hari bimbingan khusus ke rumah siswa untuk beberapa siswa kelas 3 (tiga) yang sama sekali belum kenal huruf dan belum bisa membaca. Selama menjadi guru pedalaman, metode mengajar, media belajar dan bahan ajar yang saya terapkan itu sama di semua daerah karena kasus yang harus dibantu dari tiap siswa hampir sama di semua daerah penempatan saya yaitu buta aksara, minat belajar sangat rendah, tidak punya cita-cita dan kesadaran akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Untuk bimbel, saya mengelompokkan anak berdasarkan tingkat kemampuan. Kelas huruf-huruf untuk siswa yang belum kenal huruf, warna dan angka. Kelas kata-kata untuk siswa yang sudah bisa mengeja dua suku kata. Kelas baca-baca untuk siswa yang sudah bisa membaca. Kelas mandiri untuk siswa yang sudah lancar membaca dan bisa menjadi guru untuk membantu adik kelas atau temannya yang masih kelas huruf-huruf. Kelas Matematika dan kelas Bahasa Inggris dasar juga saya bagi berdasarkan kemampuan anak-anak. Selain menggunakan buku paket, saya lebih sering menggunakan media dari alam seperti daun untuk kolase, bambu kecil yang disusun seperti sempoa untuk berhitung, ranting kering untuk menempelkan huruf dengan dua suku kata dan kardus bekas yang sudah saya tulis huruf dan angka kemudian saya tutup keliling dengan lakban bening. Ketika belajar mengenal huruf, saya menggunakan metode bernyanyi supaya anak-anak mudah mengingat dan memahami.