Muhammad Danie Al Malik Peneliti 0shares Bermain Game Dan Belajar Bersama SDGs Read More Salah satu karunia tuhan yang telah di berikan untuk masyarakat Indonesia ialah Laut. Laut menjadi penentu awal dari sebuah peradaban. Awal mula komunitas terbentuk sebagian besar selalu berdekatan dengan sumber air salah satunya laut. Selain itu, kehidupan di dalam laut menjadi anugerah tersendiri bagi masyarakat Indonesia sebagai tempat mencari makan, rekreasi hingga sumber bahan hayati untuk menjawab permasalahan masyarakat saat ini, seperti obat-obatan. Terkait dengan sumber daya hayati, laut Indonesia memiliki jumlah dan jenis keankaragaman hayati yang sangat melimpah. Jargon yang sering kita dengar yaitu segitiga karang dunia atau Coral triangle ialah sebuah kawasan yang memiliki keanekaragaman laut paling melimpah di dunia, salah satunya di Indonesia. Sebagai buktinya, penelitian dari Veron (1995) yang mengulas tentang jenis terumbu karang, penelitian dari Bellwood et al. (2005) yang mengulas tentang jenis ikan terumbu, dan penelitian dari Paulay dan Meyer (2006) yang mengulas tentang jenis cowries (sejenis siput laut) menunjukkan bahwa semakin mendekati kawasan segitiga karang dunia maka keragaman jenis hewan-hewan tersebut semakin tinggi (Gambar 1). Gambar 1. Berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa jenis hewan yang memiliki kelimpahan jenis tertinggi di kawasan segitiga karang dunia Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga dapat dinikmati secara kasat mata. Survey dari Scuba Dive Magazine’s di tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu destinasi wisata laut paling diminati di dunia. Turis domestik ataupun mancanegara yang datang untuk snorkeling atau menyelam, pasti akan melihat berbagai macam bentuk dan warna yang memanjakan serta membuat takjub mereka yang memandangnya. Penentuan nilai keanekaragaman hayati laut di berbagai wilayah Indonesia masih berdasarkan data konvensional, seperti dari kasat mata si-pemantau atau visual sensus. Metode tersebut memerlukan pemantau atau penilai keanekaragaman hayati laut dengan kemampuan mengidentifikasi yang baik. Penilaian tersebut mudah menimbulkan bias dikarenakan setiap orang memiliki kemampuan mengidentifikasi yang berbeda-beda. Dilain hal, keanekaragaman hayati laut tidak selalu berada pada ekosistem perairan dangkal (0 – 30 meter) yang dapat dilakukan oleh batas kemampuan manusia, namun ada juga ekosistem laut dalam (lebih dari 30 m) yang memiliki potensi besar untuk kesejahteraan masyarakat jika dapat diidentifikasi dengan baik. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan pendekatan teknologi yang dapat mengisi gap dari keterbatasan kemampuan manusia untuk menilai keanekaragaman hayati di Indonesia yaitu melalui pendekatan DNA lingkungan atau environmental DNA (eDNA). eDNA merupakan suatu cara untuk mendeteksi berbagai organisme makhluk hidup (prokariotik ataupun eukariotik) yang meninggalkan jejak DNA mereka melalui jaringan cell, kotoran, kulit ataupun bagian tubuh lainnya yang mengandung materi genetik. Jejak DNA tersebut tertinggal dalam lingkungan seperti tanah, air dan sedimen. Sederhananya, jika kita mengambil air saja dari perairan laut maka kita memiliki potensi untuk mengidentifikasi berbagai macam jenis organisme makhluk hidup yang hidup ataupun pernah melewati perairan tersebut. Gambar 2. Analogi sederhana dari proses kerja eDNA (A-F) (Sumber: Schallenberg et al. 2020) Metode eDNA juga dapat mempersingkat waktu di lapangan, karena kita hanya perlu mengambil air saja dan membawanya ke laboratorium untuk dilakukan proses analisis. Metode eDNA juga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena kita hanya mengambil material lingkungan tanpa menyentuh objek yang berada di lingkungan tersebut. Hasil bias yang ditimbulkan relatif kecil dibandingkan dengan pemantauan oleh manusia, ini dikarenakan hasil dari eDNA akan dilihat berdasarkan urutan DNA yang terverifikasi oleh database yang ada saat ini. Hasil penelitian dari Aglieri et al. (2020), dengan membandingkan metode survey untuk pemantauan ikan di laut berdasarkan 4 metode yaitu underwater visual cencus strip transects (UVCt), baited underwater videos (BUV), small-scale fishery catch (SSFc), dan environmental DNA (eDNA) mendapatkan hasil bahwa jumlah taksonomi yang dihasilkan dalam eDNA lebih banyak dibandingkan dengan metode lainnya (Gambar 3). Metode eDNA dapat menggambarkan fungsi diversitas dari taksonomi yang teridentifikasi lebih baik dibandingkan dengan metode lainnya. Oleh karena itu eDNA dapat memberikan gambaran yang lebih detail terkait jumlah spesies ikan yang dihasilkan dan juga memberikan hasil yang lebih kompleks terkait fungsi spesies tersebut dalam suatu lingkungan maupun ekosistem. Gambar 3. Hasil rarefraction dari hasil Aglieri et al. (2020) yang menunjukkan bahwa dengan jumlah replikasi yang minim jumlah taxa yang dihasilkan eDNA akan cukup tinggi dibandingkan dengan metode lainnya Penelitian lainnya dari Sinneger et al. (2016) menunjukkan bahwa eDNA juga dapat digunakan untuk mendeteksi organisme makhluk hidup dengan menggunakan sedimen perairan zona batial (200 – 2500 meter) dan zona abisal (diatas 2500 meter) (Gambar 4). Hal ini dapat memberikan gambaran baru bahwa eDNA dapat diaplikasikan untuk mengisi gap dari keterbatasan adaptasi manusia untuk mengeksploarasi dan melakukan monitoring perairan laut pada kedalaman tersebut. Gambar 4. Komposisi jenis Ordo dan Famili organisme laut yang ditemukan dari Sinneger et al. (2016) di sedimen perairan zona batial dan abisal Bagaimanapun eDNA merupakan metode yang relatif baru saat ini, sehingga masih perlu disempurnakan lagi terkait dengan database sebagai proses validasi taksonomi dari urutan DNA yang dihasilkan (Gambar 2 bagian E).  Berdasarkan database GenBank dari NCBI (National Center for Biotechnology Information) masih ada beberapa taksonomi yang belum teridentifikasi, sehingga akan menimbulkan hasil unidentified yang tinggi pada hasil kita. Hal ini serupa dengan yang ditemukan oleh Sinneger et al. (2016) yang menggambarkan proporsi spesies laut dalam yang tersedia di database GenBank (Gambar 5). Gambar 5. Proporsi database spesies laut dalam yang tersedia dalam GenBank NCBI berdasarkan ketelusuran dari Sinneger et al. (2016), Sequenced species mengindikasikan bahwa data tersedia sedangkan Non-sequenced species mengindikasikan bahwa data belum tersedia Namun dengan bertambahnya hasil penelitian dan penggunaan metode eDNA akan memberikan masukan baru serta menambah database yang tersedia. Sehingga masalah ini akan terjawab dengan waktu dan konsistensi dari peneliti serta pemerintah untuk saling membantu dalam menyempurnakan metode eDNA. Penggunaan eDNA di Indonesia saat ini hanya dalam tahap penelitian dan masih jauh dari kata digunakan untuk dasar komponen monitoring keanekaragaman hayati oleh pemerintah. Sebagai contoh, COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), merupakan monitoring ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait yang digunakan sebagai salah satu basis data rujukan pemerintah, masih menggunakan metode konvensional visual sensus. Jika dikombinasikan dengan metode eDNA dapat memberikan hasil yang lebih luas dan menyeluruh. Hal ini dikarenakan eDNA dapat mendeteksi jenis-jenis ikan selain jenis asosiasi terumbu karang sedangkan visual sensus hanya mendeteksi jenis-jenis ikan dari asosiasi terumbu karang karena keterbatasan si-pemantau dalam melihat jenis-jenis ikannya (pemantau hanya dapat melihat ikan-ikan yang saat itu berada di sekitar area terumbu karang). Keanekaragaman hayati merupakan sebuah amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1995 yang terkandung dalam Pasal 33 Ayat 3, menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam (termasuk keanekaragaman hayati) yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menjadi kewajiban kita semua untuk berusaha mengeksplorasi dan mengenali potensi keanekaragaman hayati laut di Indonesia agar dapat dikelola untuk pemanfaatan yang lestari dan mengedepankan keberlanjutan ekosistem, sehingga nantinya anak cucu kita tetap dapat menikmati apa yang kita rasakan sekarang.