Aqilah Nurul Khaerani Latif Staf Peneliti di Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan (P-P2Par) ITB 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Tren pariwisata massal yang selama ini menjadi andalan untuk mengejar kuantitas wisatawan mulai berubah menjadi pariwisata berkualitas (quality tourism) seiring pandemi Covid-19 yang berkepanjangan saat ini. Quality tourism ini juga mendorong penerapan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan di suatu destinasi wisata yang tidak hanya mementingkan dampak ekonomi, melainkan mempertimbangkan dampak lingkungan maupun dampak sosialnya. Nyatanya, meskipun sampai pada akhir tahun 2019 (sebelum pandemi Covid-19), pariwisata penyumbang devisa terbesar kedua setelah migas sebesar 5,5% dari PDB nasional, tidak serta merta menaikkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ketimpangan inipun menggiring kita pada isu kebocoran ekonomi di sektor pariwisata, dimana pihak yang diuntungnya sebagian besar dari luar masyarakat lokal sementara kerusakan alam dan bergesernya nilai-nilai budaya sosial menjadi tanggungan masyarakat lokal. Pandemi Covid-19 dipandang sebagai peluang untuk merenung dan berbenah. Kondisi ini mampu mengubah lanskap bisnis yang sudah terbangun kokoh menjadi lanskap bisnis yang sama sekali baru, yang disebut industri megashift dimana perubahan itu terjadi dari tingkat mega, makro, hingga mikro. Perubahan itu juga mendukung tatanan normal baru di sektor pariwisata yang mengutamakan interaksi dengan alam dan mementingkan cara menjaga lingkungan pada destinasi wisata. Sehingga, diperlukan tren pariwisata dimana kesuksesan pariwisata tidak lagi diukur dari banyaknya jumlah wisatawan, melainkan peningkatan rata-rata lama tinggal wisatawan yang mendorong kesejahteraan masyarakat lokal dan daerah, salah satunya dengan menerapkan konsep quality tourism. United Nation-World Tourism Organization (UNWTO) dalam practical guidelines for integrated quality management in tourism destination menyebutkan “quality tourism” sebagai hasil dari proses yang menyiratkan kepuasan kebutuhan produk dan layanan pariwisata (keamanan, kebersihan, aksesibilitas, komunikasi, infrastruktur, serta fasilitas dan layanan publik) dengan harga yang dibayarkan wisatawan dan melibatkan aspek etika, transparansi, dan rasa hormat terhadap manusia, alam, dan lingkungan. Dari definisi tersebut, terdapat tiga aspek penting dalam mengukur penerapan quality tourism (Nurjaya & Kanca, 2020), yaitu quality of experiences, quality of profir, dan quality of life. Quality of experiences Quality of experience dimaksudnya bahwa wisatawan mendapatkan pengalaman dan pelayanan yang berkualitas. Berkualitas ini dapat diartikan sebagai kesesuaian harapan wisatawan berdasarkan informasi media pemasaran dengan kondisi yang sebenarnya terjadi. Isu ini pernah mencuat ketika pariwisata mulai dipertimbangkan sebagai primadona devisa di Indonesia tahun 2016. Menteri Pariwisata periode 2014-2019, Arief Yahya, mengeluarkan destinasi prioritas nasional dan menggalakkan promosi pariwisata ke penjuru dunia dengan target mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada tahun 2019. Upaya ini berhasil mendatangkan banyak wisman dalam waktu singkat. Akan tetapi, feedback wisman cenderung merasa kecewa dan ditipu dikarenakan akses yang jauh, kualitas SDM/masyarakat lokal rendah, dan kesiapan daya tarik wisata yang belum seperti informasi awal yang mereka terima. Hal yang sama juga terjadi di Madagaskar, negara pulau di Afrika bagian timur, yang menjual “Avenue des Baobab” sebagai pulau dimana menyuguhkan matahari terbenam yang mengagumkan dan instagrammable. Sayangnya, kebenaran tersebut tidak seromantis yang dipromosikan. Ini ditunjukkan dari kondisi pulau yang gersang akibat 90% dari pohon-pohon asli Madagaskar telah ditebang, menyisakan pohon-pohon Baobab yang memiliki kualitas kayu yang rendah sehingga tidak bernilai jual bagi penambang meskipun terlihat besar dan menarik bagi wisatawan. Tidak sedikit dari mereka (wisatawan) merenungkan ketidaksesuaian promosi tersebut dimana tidak ada spot instagrammable yang memungkinkan mereka pengambilan gambar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa quality of experience tidak saja mencakup kemenarikan suatu objek wisata, melainkan juga dengan kepuasan tersirat wisatawan dari segi keamanan, kebersihan, aksesibilitas, komunikasi, infrastruktur, serta fasilitas dan layanan publik. Tentunya, sertifikasi Cleanliness, Health, Safety, and Environment (CHSE) menjadi kebutuhan wajib bagi pelaku usaha pariwisata Indonesia dimasa ini. Bahkan, sertifikat CHSE ini menjadi penting sebagai jaminan kesiapan destinasi Indonesia menyambut para wisatawan kembali setelah ditutup hampir 2 tahun akibat pandemi. Diperkirakan wisata nature eco wellness adventure (NEWA) akan menjadi tren populer yang digemari wisatawan di masa tatanan kebiasaan baru ini. Kejenuhan di rumah saja akan mendorong wisatawan jalan-jalan keluar rumah untuk sekadar menikmati udara segar dan keindahan alam. Wisata alam juga memberikan keleluasaan untuk tetap menerapkan physical distancing dengan wisatawan lainnya sehingga ancaman terpapar virus Covid-19 rendah. Apalagi, wisata alam berbasis adventure atau petualangan dalam grup kecil dengan aktivitas yang dinamis juga akan digemari, seperti trekking, snorkeling, dan diving. Quality of Profit Quality of profit dimaksudnya bahwa investor mendapatkan keuntungan yang berkualitas dimana kualitas ini bukan saja keuntungan yang besar, namun juga berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan overtourism dari tren pariwisata massal menjadi isu pariwisata yang mengkhawatirkan di dunia sebelum terjadinya pandemi covid-19 dimana terjadinya kesenjangan antara dampak lingkungan yang ditanggung masyarakat lokal tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Pasalnya, hampir 12% emisi karbon global disumbang oleh pariwisata dan keuntungan pariwisata lebih banyak mengalir di luar masyarakat lokal. Keuntungan ini menjadi alasan menjamurnya investasi bisnis sektor pariwisata yang tidak terkendali, terlebih di kawasan konservasi. Padahal, pariwisata secara universal dipandang sebagai solusi yang sederhana dan murah namun memiliki potensi pegentasan kemiskinan, meminimalisir kesenjangan gender, dan membangun wilayah dengan ketahanan lingkungan yang kokoh. Belajar dari regulasi pemerintah Maldive yang mengintervensi investasi sektor pariwisata dengan mempertimbangkan ketahanan sosial dan lingkungan. Intervensi tersebut dapat dilihat dari kawasan pariwisata berada jauh dari kawasan pemukiman penduduk, bahkan membedakan lokasi penginapan tenaga kerja lokal dengan penginapan tenaga kerja imigran, agar supaya aktivitas pariwisata tidak mempengaruhi sosial-budaya masyarakat Maldive. Selain itu, pemerintah Maldive juga mengintervensi dari segi lingkungan. Mereka menyadari bahwa kekayaan ekosistem laut Maldive merupakan sumber daya unggulan bagi pariwisata Maldive, sehingga limbah baik padat maupun cair tidak boleh mencemari laut. Merekapun memanfaatkan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni sebagai tempat sampah dan daur ulangnya secara berkala agar tidak menumpuk di satu pulau yang memungkinkan merusak pulau tersebut. Jika satu pulau sudah penuh dengan sampah, maka pembuangan sampah akan dibuang ke pulau lainnya sehingga memberi waktu daur ulang sampah sebelum nantinya diisi sampah kembali. Hal serupa juga dilakukan seorang investor asing di Wakatobi sejak tahun 2015. Ia mengawali pembangunan pariwasata Wakatobi di pasar dunia dengan mendirikan Wakatobi Dive Resort (WDR) di Pulau Tolandona, Tomia. Dengan standar internasional, Ia membangun Wakatobi dari segi pelayanan, sumber air bersih, hingga kemudahan akses Bali-Wakatobi untuk mengangkut wisatawan, persedian makanan, dan logistik lainnya, sehingga pengunjung lupa bahwa mereka berada di luar jangkauan (pulau kecil terluar dan terpencil). WDR ini terus mengembangkan fasilitas untuk kenyamanan wisatawan. Bagian penting dari ‘infrastruktur’ WDR tentu saja adalah terumbu karang. Mereka menetapkan upaya konservasi yang ekstensif termasuk pembuatan program konservasi penyewaan terumbu karang yang unik untuk melindungi dan meningkatkan terumbu karang untuk keuntungan jangka panjang pulau dan masyarakatnya. Konsistensinya dalam memberi pelayanan dan menjaga keberlanjutan ekosistem laut membuat WDR mendapatkan penghargaan “The Best Dive Resort in World Tahun 2017” versi Dive Magazine di Inggris. Quality of life Quality of life dimaksudnya bahwa masyarakat lokal mendapatkan kualitas hidup yang meningkat dengan adanya pembangunan pariwisata. Sebelum pandemi Covid-19, polemik dampak sosial menjadi isu yang krusial. Beberapa setuju dengan keberadaan pariwisata, pendidikan masyarakat makin berkembang, namun masyarakat lainnya menganggap moderitas yang dibawa wisatawan membuat nilai-nilai kearifan lokal tersebut mulai membaur dan dimodifikasi sehingga otentiksitas suatu budaya mulai dipertanyakan. Ini juga akibat tren pariwisata massal yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung di suatu wilayah adat. Lemahnya legalitas wilayah adat juga mendorong perusakan lingkungan baik di darat maupun di laut. Padahal, ketahanan lingkungan tidak dapat dipertahankan tanpa adanya dinamika sosial yang tangguh. Seharusnya, peraturan lokal/hukum adat berperan untuk mengintervensi pembangunan kepariwisataan yang berkualitas. Konsep ini diharapkan tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi negara, tetapi juga kemajuan masyarakat lokal di destinasi wisata secara utuh dan berkesinambungan. Hakikatnya, masyarakat adat mencintai kehidupan yang bersahabat dengan alam dan lingkungan. Mereka memilih menjaga adat dan lingkungan untuk keberlangsungan mendatang, ketimbang merusak alam demi pundi-pundi uang. Seperti yang dilakukan pada masyarakat Kesepuhan Cipta Gelar di Gunung Halimun yang memiliki aturan adat tidak boleh membeli beras dan panen hanya satu kali setahun agar alam bisa memperbaiki diri sendiri. Hal yang sama dilakukan suku Dayak, dimana mereka memberi intervensi waktu dan jumlah wisatawan datang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayah adat mereka. Mereka tahu jika alam rusak, banyak masalah yang datang sehingga harus dijaga dan dipertahankan. Pada beberapa suku adat di Indonesia juga mengenal “hukum sasi” yaitu suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk memetik atau mengambil potensi sumber daya alam baik di darat maupun di laut dari jenis tertentu untuk suatu jangka waktu yang pendek. Lagi-lagi ini diupayakan agar alam bisa memperbaiki dirinya sendiri. Dampak pengunjung terhadap ketahanan sosial budaya mungkin cukup kompleks dan mungkin tidak selalu negatif. Seperti studi persepsi wisatawan ke Nepal, Nyaupane et al. (2006), yang menemukan bahwa masyarakat lokal belajar banyak hal yang bermanfaat dari wisatawan, termasuk kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan dan kebersihan pribadi. Pengamatan di lapangan membuktikan gagasan ini karena kesadaran kesehatan dan lingkungan tampaknya lebih besar di desa–desa yang terlibat dalam pariwisata daripada di desa-desa tanpa pariwisata. Selain itu, peserta studi menekankan bahwa pariwisata berkontribusi pada pengakuan pemerintah terhadap nilai budaya etnis mereka sebagai sarana untuk menarik wisatawan ke wilayah tersebut. Pengakuan nilai budaya etnis yang beragam membalikkan kecenderungan pra-pariwisata yaitu pemerintah mengasimilasi kelompok etnis ke dalam budaya nasional dengan merusak keragaman ini. Dari ketiga aspek tolok ukur quality tourism tersebut, menunjukkan bahwa untuk mengatasi kerugian sektor pariwisata selama pandemi Covid-19, pembangunan kepariwisataan Indonesia diharapkan tidak lagi berfokus mengejar banyaknya jumlah wisatawan (quantity) melainkan meningkatkan lama tinggal wisatawan (kenyamanan) dan keberlanjutan destinasi wisata itu sendiri.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More