dawud Bachtiar Amil BAZNAS RI 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More “Banyak banget orang sukses, tapi sedikit dari mereka yang paham dan penghafal Qur’an. Saya mau jadi yang memiliki keduanya” Puspita, siswi yang sering menghabiskan waktu di teras masjid itu amat cinta akan Quran. Anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir di tanah Jawara (Banten) ini bermimpi jadi penghafal Qur’an dan guru tahsin. Ia telah terdaftar sebagai siswa Cendekia BAZNAS sejak 5 tahun yang lalu, terbiasa dengan kehidupan homogen dan lingkungan religius yang menempanya selama masa belajar di Sekolah bebas biaya tersebut, ternyata menjadi jalan Allah membimbingnya untuk menjadi hafidzah melalui program Takhassus. sekaligus memberinya kesempatan untuk belajar menjadi guru tahsin bagi adik kelasnya, sebagaimana impiannya. Bermula dari ketertarikannya pada seseorang yang baginya tak sebanding dengan dirinya, “dia juara kelas dan tahfidz. Saya malu karena gak bisa apa-apa, jadi dia berusaha untuk menyetarakan diri saya dengan dia,” Dan harapan orangtua semenjak duduk di bangku sekolah dasar, yang menginginkan Puspita menjadi hafidzah. Pada awalnya, ia tolak mentah-mentah, namun Allah selalu punya cara untuk membimbing hamba-Nya. Selama perjalanan perjuangannya menghafal qur’an, susah dan senangnya, malas dan rajinnya, Allah perlahan melurukan niatnya sekaligus menjauhkannya dari seseorang yang dulu menjadi tujuan utamanya dalam menghafal qur’an, dengan cara-Nya. “ternyata Allah membimbing saya dari kekeliruan niat,” Yang mulai sejak itu, Pita mengubur niat awalnya karena makhluk-Nya dan mulai menjadikan Al-Qur’an sebagai prioritas. “ternyata bener, kalo kita ngejar akhirat, dunia akan mengikuti,” Dari Al-Qur’an, ia belajar untuk me-manage diri dan waktu. Memprioritaskan sesuatu dibanding hal yang kurang bermanfaat. Rezeki dan banyak harapan yang pernah ditulisnya sedikit demi sedikit menghampiri. Dulu Puspita merasa dirinya kurang dalam bidang akademik, semenjak berkawan baik dengan Al-Qur’an, Allah memudahkan dalam belajar. Terbukti dengan nilainya yang semakin meningkat bersamaan dengan persiapannya menuju perguruan tinggi. “meski belum semua yang saya dapatkan, tapi saya yakin pasti Allah akan memberikannya pada proses dan hasil di masa depan,” Terlepas dari itu semua, Puspita kerap merasa takut. Takut jika Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai ujian bukan nikmat baginya. Sebagai hafidzah pioneer di angkatan satu, ia takut Allah menjadikannya lebih cepat dari yang lain karena ingin menyudahi perjuangannya dengan Qur’an. Tapi baginya, berinteraksi dengan Al-Qur’an adalah sepanjang hayat. “saya kurang suka dengan label 30 juz dari orang-orang, karena saya merasa belum mencerminkan hafidzah yang baik, sebagaimana penghafal Al-Qur’an kebanyakan. Saya mau dipandang sebagai orang biasa,” Puspita dibesarkan dalam asuhan neneknya, sedari kecil jauh dari orangtuanya yang bekerja di Arab Saudi sebagai seorang TKW. Dengan keadaannya itu, ia bersyukur berada di lingkungan SCB, yang membimbingnya pada pelarian dan rumah kedua yang baik. “kalau nggak di SCB, mungkin saya bukan hafidzah saat ini. Saya khawatir ketika lulus SCB nanti saya yang akan diwarnai, bukan saya yang mewarnai,” Sekolah Cendekia BAZNAS yang memiliki visi membangun karakter dan mengoptimalkan potensi peserta didiknya, masih tetap dan akan selalu melahirkan para penghafal Qur’an, dan membangun generasi yang besar dengan berasaskan iman dan takwa. “saya tak lagi menjadikan 30 juz sebagai mimpi, tapi itu adalah prioritas. Karena kalau hanya sekedar mimpi, ketika itu sudah tercapai, maka selesai sudah. Tapi prioritas adalah jati diri saya yang akan selalu saya genggam dimanapun saya berada,”