fbpx
https://id.pinterest.com/pin/623185667181301238/

PRAKTIK PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH SEBAGAI LANGKAH KONKRET PERBAIKAN KARAKTER SISWA

Setiap tahunnya, Indonesia memiliki ribuan lulusan dari jenjang sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Para lulusan tersebut dibekali ilmu untuk memenuhi kompetensi dunia kerja maupun dunia usaha. Tentunya, hal tersebut adalah langkah yang baik, mengingat Indonesia memerlukan motor penggerak perekonomian dalam meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi, apakah lulusan yang berkompeten cukup untuk menciptakan kesejahteraan di Indonesia? Nyatanya tidak, menimbang bahwa seringkali terdengar ungkapan bahwa “Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur”. Tidak dapat dipungkiri, moral merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam membentuk pribadi seorang “manusia”. Moral berkaitan dengan prinsip baik dan buruk yang diwujudkan dalam perilaku sebagai gambaran dari keadaan jiwa dan tabiat seseorang (Surur, 2010). Sehingga, dalam berperilaku, seseorang akan menjadikan moral yang ada dalam dirinya sebagai dasar pertimbangan   baik buruknya perilaku tersebut. 

Jika merefleksikan kondisi Indonesia sekarang, apakah masyarakat Indonesia sudah memiliki moral yang baik? Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam katadata.id, jumlah korupsi di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 791 kasus dengan lebih dari 1.500 tersangka. Selain itu, berdasarkan laporan Polri dalam goodstats.id, tercatat sebanyak 288.472 kasus kejahatan terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2023. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 4,3% dibanding tahun 2022. Meskipun data tersebut tidak dapat menggeneralisasi kondisi moral masyarakat secara menyeluruh, tetapi dapat kita jadikan rujukan bahwa masih diperlukannya upaya dalam memperbaiki kualitas moral masyarakat Indonesia. Salah satu cara dalam memperbaiki kualitas moral adalah dengan peningkatan pendidikan moral di sekolah. Sekolah sebagai instansi pendidikan memiliki peran sentral dalam pembentukan moral seseorang. Hal tersebut dikarenakan sekolah menjadi garda awal dalam mengintegrasikan pengetahuan tentang “dunia” yang tentunya harus diikuti juga dengan penanaman nilai moral. 

Kondisi Pendidikan Moral di Indonesia

Pendidikan moral di Indonesia diimplementasikan melalui suatu bentuk mata pelajaran, seperti agama dan pendidikan pancasila. Dalam mata pelajaran tersebut, disusun kurikulum sedemikian rupa untuk membantu pemahaman siswa/i secara teoritis dan praktis. Sebagai contoh, dalam kurikulum Pendidikan Pancasila, capaian pembelajaran pada setiap fase mengajak siswa/i untuk memahami dasar-dasar pembentukan dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, serta bagaimana siswa/i mampu mengenali dan memahami perbedaan yang ada di sekitar mereka. Begitupun dalam kurikulum Pendidikan Agama, siswa/i diajak untuk memahami dan mengerti komponen nilai dan praktik dalam beragama.

Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan dalam Pendidikan Moral di Indonesia. Penilaian pendidikan moral tidak berbeda dengan penilaian pelajaran lainnya, yaitu hanya dilihat berdasarkan nilai tugas dan ujian siswa. Penilaian moral seharusnya tidak dinilai berdasarkan berapa nilai siswa dalam menjawab soal formal, tetapi harus dilihat berdasarkan realitas perilaku anak dalam lingkungannya. Penilaian seperti itu akan membuat perhatian anak tertuju pada bagaimana mereka mengerjakan ujian dan bukan merealisasikan apa yang sudah diajarkan dalam kehidupan nyata. Hal tersebut sudah menjadi budaya di berbagai tingkatan dan berlaku sejak lama. Output dari hal tersebut tergambarkan dari banyaknya kasus perundungan di Indonesia, yang kian menjadi ironi bahwa hal-hal seperti itu terjadi di instansi yang mengajarkan Pendidikan Moral.

Peran Pendidikan Moral dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas

Salah satu indikator Pendidikan Berkualitas dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah presentase siswa yang mengalami perundungan. Pendidikan moral yang berhasil akan menciptakan output berupa siswa yang memiliki etika dan menghargai satu sama lain. Kondisi tersebut akan menciptakan lingkungan belajar yang aman, anti kekerasan, dan inklusif sesuai tujuan SDGs. 

Lebih lanjut, pendidikan moral membantu pengarusutamaan pendidikan kewarganegaraan global dan pendidikan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesetaraan gender dan hak asasi manusia sesuai dengan SDGs. Hal tersebut merupakan sesuatu yang berkaitan dengan moral seseorang, karena sifatnya yang implementatif dalam kehidupan sosial. Mata pelajaran lain tidak akan mengulas/hanya sedikit mengulas hal tersebut sehingga peran pendidikan moral menjadi vital dan strategis.

Pembentukan Pribadi siswa melalui Pendidikan Moral

Pendidikan moral memiliki peran integral dalam pembentukan pribadi seseorang. Pendidikan moral yang baik tentunya akan menghasilkan output yang sejalan. Masa sekolah merupakan periode eksplorasi sehingga nilai-nilai baik perlu diperkenalkan saat itu. Nilai-nilai keadilan, anti korupsi, peduli sesama, dan inklusif dapat diperkenalkan untuk mewujudkan salah satu tujuan SDGs, yaitu Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.

Dengan menanamkan nilai tersebut, siswa diharapkan memiliki jiwa kepemimpinan dalam dirinya. Lebih dari itu, siswa sebagai calon pemimpin masa depan, mereka wajib memiliki moral yang baik agar tidak mudah terjerumus dalam perbuatan tercela. Seorang pemimpin, dari lingkup terkecil hingga terbesar, tidak cukup memiliki kemampuan yang mumpuni saja. Gelar dan pencapaian bukanlah satu-satunya modal dalam memimpin sesuatu, perlu adanya karakter yang baik untuk menciptakan kesejahteraan dan keberlanjutan dalam hal yang dipimpinnya. Harapannya, pendidikan moral dapat menanamkan pribadi siswa yang tidak hanya berwawasan luas, tetapi juga memiliki karakter yang baik untuk memimpin di masa depan.

Perubahan Paradigma Pendidikan Moral 

Untuk menyukseskan penerapan pendidikan moral, diperlukan adanya perubahan konkret dalam praktiknya. Pendidikan moral sejatinya adalah upaya mempersiapkan siswa untuk berperilaku baik sesuai norma di masyarakat, yang mana hal tersebut bersifat praktikal. Oleh karena itu, indikator yang perlu dijadikan acuan adalah bagaimana siswa/i mempraktikkan pendidikan moral dalam kehidupan sehari-hari, terutama di lingkungan sekolah. Konsep seperti itu telah sukses dilakukan di negara Jepang yang lebih mengutamakan realisasi dari pengajaran moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari, seperti penekanan nilai teamwork dan leadership dalam sistem keberangkatan siswa Sekolah Dasar di Jepang. Praktik pendidikan moral memerlukan pembiasaan terhadap perilaku moral yang diajarkan dengan memberikan reinforcement (hadiah, pujian, atau penghargaan) pada perilaku moral yang baik, dan penekanan sanksi bagi perilaku moral yang buruk. Dengan adanya reinforcement, diharapkan terjadi proses internalisasi moral dalam diri anak sehingga siswa ingin mempertahankan moral baik dalam dirinya.  Upaya tersebut merupakan perbaikan dalam praktik yang terjadi saat ini, dimana siswa yang berperilaku baik sangat jarang untuk diapresiasi dan siswa yang berperilaku buruk tidak diberi sanksi sebagaimana mestinya. Kondisi itulah yang seringkali menyebabkan perilaku bullying di sekolah marak terjadi.

Pada tahapan lanjut, siswa juga perlu mengimplementasikan pendidikan moral yang mereka peroleh secara langsung. Hal tersebut dapat dilakukan melalui project based learning. Konsep Project based learning dimaksudkan menjadi wadah implementasi pendidikan moral yang sudah diterima sebelumnya. Siswa dapat didorong untuk berpartisipasi aktif dalam membuat sebuah proyek sosial, seperti membuat gerakan peduli lingkungan ataupun sosialisasi ke masyarakat secara langsung. Di Indonesia, hal tersebut sudah mulai berkembang melalui program P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Program tersebut sebagai langkah awal bagi praktik penguatan moral siswa di Indonesia. Dalam pengimplementasiannya, diharapkan P5 dapat terus berjalan efektif dan relevan bagi siswa sehingga program ini tidak sekedar menjadi proyek biasa, tetapi juga membawa dampak positif bagi perkembangan moral siswa. 

Selain itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah penguatan kerja sama dunia pendidikan dengan instansi atau lembaga pemerintahan/swasta. Siswa dapat diajak melakukan kegiatan sosial ke yayasan sosial, ataupun studi ke instansi hukum dan lembaga sosial yang dapat menumbuhkan wawasan secara praktikal terhadap pendidikan moral. Setelah melakukan hal tersebut, siswa dapat diajak merefleksikan tentang pembelajaran yang mereka dapat sesuai dengan metode experiential learning. Output besar dalam kegiatan tersebut adalah menumbuhkan empati dan kesadaran akan budaya hukum dan norma di Indonesia. Dalam implementasinya, hal tersebut dapat dijadikan proyek besar di setiap semester dengan menekankan penilaian secara reflektif dan bukan ujian formil. 

Terakhir, perlu juga adanya penyisipan pendidikan moral secara implisit dalam mata pelajaran di sekolah. Konsep ini juga telah dilakukan di negara Jepang, dimana Pendidikan moral  diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan  menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mata pelajaran lainnya (Mulyadi, 2014). Tujuannya dalam hal ini adalah agar siswa menerapkan ilmu yang sudah diberikan dengan bertanggungjawab dan untuk kepentingan bersama. Upaya ini dapat dilakukan dengan pendekatan kontekstual dimana siswa dijelaskan kondisi yang terjadi di masa lalu atau saat ini sebagai akibat sifat buruk yang dimiliki manusia, contohnya adalah perubahan iklim atau peperangan. Pembelajaran tersebut membantu siswa untuk memahami konteks materi pelajaran dari aspek sosiologis dan pembangunan manusia, sehingga diharapkan terbentuk pribadi yang proaktif dalam memberdayakan ilmunya untuk kemaslahatan bersama.

Tantangan dalam praktik Pendidikan Moral

Sebuah sistem yang baik harus diimbangi oleh sumber daya yang mumpuni. Program-program yang telah disusun sedemikian rupa tidak akan berjalan maksimal apabila tidak ada motor penggeraknya, yaitu manusia dan anggaran. Dalam hal ini, Guru sebagai motor penggerak perlu memiliki kompetensi yang mumpuni untuk memandu praktik pembelajaran moral. Guru tidak boleh sekedar menjelaskan teori kepada siswa, tetapi juga wajib membimbing pemngimplementasian nilai ke masyarakat. Pola pikir guru terhadap pendidikan moral juga harus diubah, di mana  keberhasilan pendidikan moral bukan tentang nilai ujian, tetapi lebih kepada perubahan karakter siswa/i di sekolah. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah anggaran. Pembelajaran berbasis proyek ataupun kunjungan tentunya memerlukan anggaran yang besar, tidak semua orang tua mampu untuk membiayai hal tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu mengarahkan fokus kebijakannya pada area tersebut dengan memberikan alokasi dana tambahan untuk sekolah dalam menjalankan praktik pendidikan moral. Penambahan alokasi dalam pendidikan sejatinya bukanlah beban tambahan bagi negara, melainkan investasi jangka panjang yang hasilnya dapat dilihat di masa depan.

Referensi 

Bappenas. SDGs Metadata. https://sdgs.bappenas.go.id/metadata-indikator-sdgs/

Mulyadi, B. (2014). Model pendidikan karakter dalam masyarakat Jepang. Jurnal Izumi, 3(1), 69-80.

Naurah, N. (2024, January 1). Polri: Kejahatan di Indonesia Naik 4,3% Pada 2023, Tembus 288 Ribu Kasus. Goodstats.id. https://goodstats.id/article/polri-kejahatan-di-indonesia-naik-4-3-pada-2023-tembus-288-ribu-kasus-ATR2H

Okita, B. (2020, July 29). Pendidikan Moral di Jepang. Kompasian.com. https://www.kompasiana.com/buyungokita/5f212057097f3643123eaa02/pendidikan-moral-di-sekolah-jepang?page=4&page_images=1

Rukiyati, R. (2017). Pendidikan moral di sekolah. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, 17(1), 1-11.

Saima, B. (2023, December 19).  Indonesia Krisis Moral : Meningkatnya Kasus Perundungan di Lingkungan Sekolah. Kumparan.com. https://kumparan.com/bulan-salma/indonesia-krisis-moral-meningkatnya-kasus-perundungan-di-lingkungan-sekolah-21llFLxpmR3

Surur, M. (2010). Problematika pendidikan moral di sekolah dan upaya pemecahannya. Jurnal Fikroh, 4(2).

Yuliana, L. (2013). Penanaman nilai-nilai moral pada anak usia dini. Jurnal ilmiah WUNY, 15(1).