fbpx
Freepik/Vozmischev

Perempuan Krisis Ruang Aman di Tengah Pandemi: Sadari, Ciptakan, dan Cegah Mulai dari Mana?

Guess who’s experiencing an increase of violence against women cases? Yup, it’s ‘Us’.

Satu tahun lebih pandemi COVID-19 hadir di antara kita. Kasus positif corona virus yang terus meningkat, korban jiwa berjatuhan, hingga varian virus baru yang bermunculan nyatanya cukup membuat hampir seluruh penduduk Indonesia sakit kepala. Perubahan yang terjadi pada banyak aspek kehidupan selama pandemi ini turut membawa dampaknya sendiri. Perdebatan di banyak kalangan juga tak kalah ikut muncul. Mulai dari pro-kontra pembelajaran daring, penerapan work from home, PPKM multilevel, kasus korupsi, hingga yang cukup mendapat banyak sorotan adalah turunnya kondisi perekonomian negara.

Namun, sadarkah kita bahwa masih ada rentetan peristiwa lain yang membawa mimpi buruk dan menghantui banyak kaum perempuan? Kasus kekerasan terhadap perempuan, hal ini masih menjadi salah satu ketakutan dan keresahan banyak pihak, terutama ‘perempuan’ itu sendiri. Mirisnya, kian tahun kasus kekerasan ini makin banyak terjadi dan bahkan mencakup berbagai ranah. Mulai dari ruang publik, ranah siber (Kekerasan Gender Berbasis Online atau KBGO), hingga yang saat ini tengah menjadi perbincangan adalah kekerasan seksual terhadap perempuan di ranah pendidikan dan ranah privat, yang sangat disayangkan pelakunya bahkan berasal dari keluarga, pasangan, atau orang terdekat korban.


What’s really happening with violence against woman in our country?

Kasus pelecehan mahasiswa oleh dosen di salah satu universitas terkemuka di Indonesia, kasus NW, hingga yang terkini oknum predator seksual di ranah pendidikan religius pesantren, adalah 3 dari ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang membuktikan bahwa ‘hal’ ini nyata terjadi. Fakta lapangan berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2019 terdapat sekitar 8.800 kasus, kemudian kasus mengalami penurunan menjadi 8.600 kasus di tahun 2020, dan peningkatan kembali terjadi di tahun 2021 bersamaan dengan keadaan pandemi COVID-19 di mana terdapat 8.800 kasus. Data laporan dari 3 tahun terakhir tersebut menunjukan bahwa kasus ini masih terus ada, bahkan mungkin data KemenPPPA dalam 3 tahun terakhir belum mewakilkan perempuan-perempuan korban kekerasan lainnya, yang mungkin berasal dari berbagai golongan atau bahkan daerah yang belum terjangkau.

Kita menyaksikan sendiri bagaimana pandemi ini membawa banyak dampak di berbagai aspek kehidupan, terlebih dampak negatifnya yang bahkan tidak pernah terpikir oleh banyak pihak bahwa pandemi ini turut membawa peningkatan pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Pandemi mengharuskan kita meminimalisir kegiatan dan interaksi sosial di luar rumah. Lalu bagaimana sebenarnya kasus kekerasan terhadap perempuan malah meningkat?

Komnas Perempuan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi ini banyak terjadi dari ranah privat, di mana kekerasan marak terjadi di rumah tangga dan (lagi) pelakunya berasal dari orang terdekat korban. Masalah ekonomi dan perubahan kondisi psikologis digadang-gadang menjadi hal yang menimbulkan dorongan pada pelaku untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Kasus-kasus yang telah ada, baik yang terlihat di mata publik maupun yang masih sembunyi senyatanya telah menjadi bukti bahwa dewasa ini, ruang aman bagi perempuan di Indonesia sangat sulit diraih. Bahkan rumah dan keluarga pun tidak lagi bisa menjamin untuk menjadi tempat adanya ruang aman bagi perempuan. Mengandalkan orang lain untuk menciptakan ruang aman ini nyatanya tidak akan cukup.


Penulis telah memikirkan beberapa gagasan untuk mewujudkan ruang aman bagi perempuan yang dapat dimulai dari diri sendiri, yaitu dengan penerapan ACP (Aware, Create, Prevent).

Sadari (Aware)

Memupuk kesadaran akan pentingnya masalah kekerasan seksual terhadap perempuan ini tidak akan terwujud tanpa keperdulian dari diri kita sendiri. Dimulai dengan memahami pendidikan seks sedini mungkin, menciptakan boundaries akan hak-hak pada diri kita meskipun terhadap orang terdekat sekalipun, kemudian baru mengenalkan awareness tersebut kepada individu lain di sekitar kita. Menciptakan kesadaran selayaknya memang didomanasi dengan tanggung jawab dari diri kita sendiri, namun perlu diingat sektor pemerintah dan LSM yang bergerak di bidang ini juga turut andil sebagai kemitraan yang membantu menyebarluaskan kepada masyarakat luas, yang berada di luar jangkauan diri kita sendiri. Dimulai dari diri sendiri, adalah salah satu cara untuk terus menanamkan kesadaran akan masalah ini tidak hanya pada perempuan namun juga bagi laki-laki. Sebagai perempuan hendaknya kita bahu-membahu mencoba memahami dan peduli tentang apa yang dirasakan para korban terdahulu, dengan memulai dari lingkaran terkecil kita. Isn’t all the big things come from small beginnings?

Ciptakan (Create)

Menciptakan ruang aman memilik kaitan erat dengan konsep piramida milik Abraham Maslow, yaitu Teori Hierarki Kebutuhan. Kebutuhan manusia akan rasa aman atau safety needs yang berada pada tingkat kedua piramida Maslow menjadi bukti pendukung bahwa manusia memiliki kebutuhan erat dengan perasaan dan keadaan aman baik secara psikologis maupun biologisnya. Dalam menciptakan ruang aman bagi perempuan, rasanya sia-sia jika perempuan yang sudah menciptakan ruang aman tersebut gagal hanya karena cara pandang publik atau golongan tertentu yang skeptis. Seperti saat perempuan korban kekerasan seksual yang hendak melakukan speak up atas sisi gelap yang ia alami, lagi-lagi hanya kecaman dan victim blaming yang ia dapatkan. Alasan-alasan yang diarahkan pada korban ini sering kali membuat gagal dan percuma akan ruang aman yang sudah diciptakan sedemikian rupa. Maka, mengubah cara pandang kita untuk melihat dari point of view korban dan berhenti menyalahkan korban adalah langkah terbaik untuk menyempurnakan diciptakannya ruang aman, dan mempertahankannya.

 Cegah (Prevent)

Upaya represif atau penanganan pada perempuan korban kekerasan sudah taka sing untuk kita temui. Bagaimana dengan langkah terdekat untuk kita melakukan upaya preventif atau pencegahannya? Tegasnya undang-undang dan hukum tidak akan cukup jika hanya untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Upaya preventif ini memerlukan sosialisasi dengan jangkauan masyarakat luas dan pengenalan di usia sedini mungkin. Mengapa sedini mungkin? Sebab korban yang rentan mengalami kekerasan tidak hanya perempuan namun juga (anak) perempuan. Sosialisasi berisi pemberian edukasi dan informasi sedetail mungkin akan menjadi bekal dan pedoman bagi anak serta remaja perempuan untuk lebih menyiapkan diri menyambut hal-hal yang akan datang ke depannya. Terlebih melihat kilas balik 3 tahun terakhir, cukup banyak sektor pendidikan yang terlibat sebagai tempat terjadinya kekerasan bahkan pelecehan seksual terhadap murid perempuannya. Bukankah lagi-lagi ini membuktikan bahwa sektor publik sesakral instansi pendidikan pun bahkan bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan serta pelecehan terhadap perempuan.


There is one universal truth, applicable to all countries, cultures and communities: violence against women is never acceptable, never excusable, never tolerable.

– Ban Ki-moon #16Days


Dominasi kekerasan hingga pelecehan seksual terhadap perempuan di ranah privat menambah catatan buruk terkuaknya masalah yang masih dianggap tabu ini. Dalam tiga tahun terakhir, rasanya sudah sangat cukup ternodai beberapa profesi dan lembaga penting di negara ini yang seharusnya menjadi tempat membangun para perempuan penerus bangsa, namun mirisnya menjadi tempat yang membuat mereka tidak ingin menginjakan kaki di sana lagi. Ranah privat maupun publik adalah sama pentingnya bagi masa depan seorang perempuan. Saat ini kesigapan pemerintah dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi atau Permendikbudristek PPKS sudah cukup menjadi awal dari titik terang bagi Indonesia untuk menekan angka kasus ini di tahun-tahun ke depannya. Sekaligus menjadi awal baik bagi jaminan permanen keberadaan ruang aman bagi perempuan korban kekerasan dan pelecehan seksual di negeri ini.


Hotline Layanan:

129

Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) dari KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

(021) 390-3966

Laporan dan Layanan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak dari Komnas Perempuan


Referensi:

Komnas Perempuan. (2021). Perempuan dalam himpitan pandemi: Lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak, dan keterbatasan penanganan di tengah COVID-19. CATAHU 2021: Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020. https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf