Kholilur Rahman Dosen Hukum Pidana 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia atau Agenda 2030 telah dideklarasikan bertepatan dengan berlangsungnya United Nations General Assembly (UNGA) di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat (BAPPENAS, 2020) yang terdiri dari 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Dalam perjalanan pelaksanaan tujuan pembangunan tersebut, saat ini telah memasuki periode “decade of action” yaitu di tahun 2022 atau tahun ke tujuh sejak dideklarasikan pada 2015. Pada periode decade of action ini, bertepatan pula dengan era Resolusi Industri yakni Society 5.0 yang baru saja diresmikan 2 tahun lalu yakni pada 21 Januari 2019, konsep tersebut sangat terikat dengan perkembangan teknologi yang terus semakin berkembang. Kemajuan teknologi ini tampaknya telah digambarkan sebuah film Blade Runner yang diinspirasi dari sebuah novel karya Philip K. Dick (1968). Yakni menggambarkan sebuah teknologi di masa depan dengan pemandangan kota yang menampilkan elemen futuristik seperti: kecerdasan buatan, panggilan video, suara asisten pribadi yang diaktifkan, dan bahkan mobil terbang. Karya tersebut tergolong karya luar biasa, sebab merupakan suatu yang tidak mungkin bahwa penulis fiksi ilmiah yang hebat pun dapat meramalkan hampir semua teknologi tersebut akan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, yang telah dibayangkan 52 tahun lalu. Meskipun prediksi masa depan di film tersebut kurang tepat dan agak berlebihan, tetapi film tersebut pada dasarnya telah menggambarkan realita sesungguhnya mengenai hitam putih perkembangan teknologi di era modern. Maka hal ini begitu relevan manakala dikaitkan dengan kondisi nyata yaitu perkembangan teknologi di masa kini (Blade Runner vs. today’s tech). Proses perjalanan agenda pembangunan berkelanjutan di tengah era Society 5.0, dihadapkan pula dengan ancaman Pandemi Covid-19 yang baru mulai normal menjelang akhir tahun 2022. Kondisi ini menjadi persoalan baru bagi bangsa Indonesia, sebab dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun menyebabkan perubahan pola hidup sosial masyarakat mulai dari kalangan anak-anak, remaja yang telah ditutup sekolahnya, serta masyarakat dewasa dengan lebih banyak menghabiskan waktu secara daring ataupun online. Perubahan pola hidup bagi masyarakat di tengah Pandemi Covid-19 dan perkembangan kemajuan teknologi di era society 5.0 berdampak pula pada bidang kriminalitas yang semakin berkembang seperti meningkatnya kejahatan dunia maya (cyber crime), salah satunya ialah kekerasan seksual berbasis elektronik (penulis menyebutnya kekerasan seksual online) yang dialami oleh berbagai tingkatan baik anak-anak, remaja, hingga dewasa. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas, sebab persoalan ini menjadi tantangan baru demi terwujudnya agenda SDGs dengan maksimal. Kekerasan Seksual Online dalam bingkai SDGs Pada dasarnya upaya menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan dan anak telah tertuang dalam salah satu agenda SDGs yaitu Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola pada tujuan Angka 16. Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, khususnya dalam target ke 16.2 tentang “Menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak”. Sejalan dengan tujuan tersebut perlu juga direspon dengan cepat terkait kekerasan seksual baru berbasis elektronik guna mensukseskan Agenda 2030 (SDGs) yang elah memasuki periode decade of action, mengingat bahwa kekerasan jenis ini meningkat secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari data Komnas Perempuan dalam artikel majalah Tempo.co (29/05/2021) yang mencatat bahwa “Ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi oleh kehadiran teknologi, mulai dari pelecehan di ruang-ruang maya, peretasan, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, hingga ancaman penyebaran foto dan video intim, dan ada pula sextortion, atau pemerasan lewat video intim. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, ada 940 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan sepanjang tahun lalu, meningkat dari tahun sebelumnya, 2019, sebanyak 241 kasus”. Bahkan Laporan dari lembaga layanan yang dihimpun Komnas Perempuan pun tak kalah meroket. Pada 2020 tercatat ada 510 kasus yang dilaporkan, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang berada di angka 126 kasus. Konteks persoalan tersebut, ternyata beberapa negara lain seperti Hong Kong, Filipina, dan Korea Selatan juga mengalami problem serupa, bahkan sama dengan Indonesia kekerasan seksual secara online banyak mengincar anak-anak dan kerap disebut sebagai online child sexual exploitation. Peningkatan ini terjadi dikarenakan Internet telah menjadi ruang besar bagi semua kalangan untuk saling terhubung, bersosialisasi dan belajar, sehingga sangat rentan perempuan menjadi korban eksploitasi seksual online. ECPAT Indonesia menulis bahwa bentuk kejahatan eksploitasi seksual online dapat berupa grooming online (pendekatan dengan tujuan seksual online), sexting, (pembuatan gambar seksual sendiri), sextortion (pemerasan seksual), hingga live streaming atau siaran langsung kekerasan seksual pada anak di saat itu juga. Komitmen untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diwujudkan dalam upaya Pencegahan dan penanganan kekerasan yang harus didorong untuk menjadi bagian integral dari agenda pembangunan global dan juga agenda pembangunan nasional Indonesia. Hal ini telah disebutkan dalam agenda SDGs yang tertuang dalam target ke 16.2 dengan komitmen untuk menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. Berdamai dengan Teknologi Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ancaman bahaya terhadap manusia terkadang datang dari sesama manusianya melalui berbagai cara. Sehingga hal demikin senada dengan adagium lama “homo homini lupus” bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain, ditambah lagi perkembangan teknologi di tengah era Society 5.0 menjadikan serangkaian cara baru bagi pelaku kejahatan. Kelompok ekstremis dengan jeli melihat kesempatan ini untuk melakukan berbagai kegiatan melalui media sosial yang dibantu oleh jaringan internet. Sejumlah peneliti kejahatan cyber juga banyak menyebutkan bahwa dalam setiap tahun selalu mengalami perubahan dalam aksi-aksi kejahatan atau kekerasan. Jika dahulu kekerasan seksual dilakukan secara konvensional atau secara langsung, namun saat ini telah banyak kekerasan seksual yang tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui media sosial (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diatas). Di tengah era Society 5.0 dengan kemajuan super digital mau tidak mau harus berdamai dengan kemajuan teknologi, yakni harus membumikan etika dalam menggunakan media sosial (tidak berselisih atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku) agar tidak mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat luas, sehingga tujuan perdamaian tercipta di lingkungan masyarakat. Aung San Suu Kyi (1945) sebagai pejuang demokrasi dan politisi dari Myanmar, menegaskan bahwa “Perdamaian adalah tujuan ideal yang tak biasa diganggu gugat oleh pemerintahan atau bangsa manapun, termasuk mereka yang suka berperang atau berselisih sekalipun”. Guna menjaga kehidupan masyarakat khususnya mencegah segala bentuk kekerasan seksual (salah satunya ialah kekerasan seksual berbasis elektronik), dan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual. Maka dalam aspek substansi hukum (legal substance), telah telah diatur secara tegas dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf i UU No. 12 Tahun 2021 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Selanjutnya disebut UU TPKS), bahwa “Tindak pidana kekerasan seksual dapat pula berbentuk kekerasan seksual berbasis elektronik” dan ditegaskan pula dalam Pasal 14 UU TPKS mengenai rincian deliknya, dengan sanksi pidana alternatif-kumulatif yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta. Dalam konteks tersebut selain berdamai dengan media sosial, algoritma untuk mengurangi segala tindakan kekerasan seksual khususnya melalui elektronik/online harus pula didukung dengan memuliakan hukum (tertib hukum) ditengah perkembangan kemajuan teknologi guna mewujudkan perdamaian yang hakiki. Jeremy Bentham (1748-1831) dalam aliran utilities, memberikan pemahaman bahwa tujuan hukum dan wujud keadilan yaitu untuk menjamin kebahagiaan yang besar bagi banyak manusia. Menurut hemat penulis persoalan kebahagiaan ini adalah hasil dari terwujudnya perdamaian, sehingga terlihat jelas setelah menegok pendapat L.J. van Apeldoorn dalam bukunya tentang Pengantar Ilmu Hukum, bahwa persoalan tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Artinya hukum menghendaki perdamaian, karena apa yang disebut tertib hukum mereka sebut damai (vrede) dan kejahatan berarti pelanggaran perdamaian (vredebreuk). Penulis memandang bahwa “hanya dengan memuliakan hukumlah perdamaian dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud”. Pada tataran membumikan perdamaian ini membutuhkan pula aspek legal culture (budaya hukum) yang sadar dan menjunjung tinggi hukum (penulis menyebutnya memuliakan hukum), sebab Indonesia merupakan Negara yang berdasar pada hukum (rechtsstaat) sehingga untuk menjaga ketertiban hukum dan agar semuanya berjalan berdasarkan hukum maka aspek kesadaran hukum juga merupakan poin penting. Dalam hal ini perdamaian adalah persoalan damai terhadap sesama manusia dan bertingkah sesuai dengan moral dan aturan hukum yang ada. Manakala segala sesuatu berlangsung tertib, maka segala bentuk perbuatan kejam akan berkurang, sebab hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban ataupun perdamaian. Selain aspek legal substance dan aspek legal culture, dibutuhkan pula aspek struktur hukum (legal structure) sebagai langkah konkrit dalam penegakan hukum. Aspek legal structure ini begitu diperlukan untuk mengatasi segala kejahatan berbasis elektronik. Oleh karena kejahatan terus berkembang seiring berkembanganya teknologi, maka aparat penegak hukum saat ini harus pula menavigasi dengan mengikuti perkembangan teknologi yakni dibutuhkan jangkauan penegak hukum yang mempunyai semua keterampilan teknologi terbaru. Referensi/Daftar Bacaan ECPAT Indonesia, “Sesi II: Eksploitasi Seksual Anak di Ranah Daring”, 2021. Kementerian PPN/ BAPPENAS, Metadata Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Tpb)/ Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia, Edisi III, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 2020. Kholilur Rahman, “Algoritma Penegakan Hukum di Zona 4.0”, Jawa Pos Radar Madura, 20 Agustus 2021. Kholilur Rahman, “UU ITE Vs Persoalan Eksploitasi Seksual Anak Online”, Banjarmasin Post, 24 Maret 2021. Tempo.co. “Kekerasan Seksual Online Meningkat di Indonesia” https://nasional.tempo.co/read/1466866/kekerasan-seksual-online-meningkat-di-indonesia, diakses pada 22 Oktober 2022.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More