Nabilla Santoso Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Beberapa hari yang lalu, ibu saya menceritakan sebuah kisah tentang masa SMP-nya dalam perjalanan kami menuju rumah nenek. Biasanya, ketika kami mengunjungi rumah beliau, kami akan mengambil jalan tikus yang menghubungkan jalan besar dengan jalan kampung yang terletak persis di samping rumah sakit tentara dan taman makam pahlawan. Jalan tersebut kini ramai karena ada perumahan yang lumayan besar serta kompleks perumahan tentara di sana, namun 40 tahun lalu, jalan tersebut dipenuhi oleh pepohonan yang membuat daerah tersebut cukup angker untuk dilalui meski di siang hari. “Dulu ibu paling nggak suka lewat sana,” ujar ibu saya, “sudah gelap, sebelah rumah sakit, ada orang ge-es ge-es lagi!” Istilah tersebut tidak familiar bagi saya, jadilah saya bertanya apa arti ge-es ge-es itu. Sepertinya istilah tersebut adalah akronim dari sesuatu, namun ibu tidak menjelaskannya. Beliau hanya bilang istilah tersebut artinya adalah orang yang suka menunjukkan kelamin mereka di siang bolong dan di tempat umum. “Mana dulu ibu ketemunya waktu bawa tongkat pramuka, sendiri lagi! Susah banget larinya, jadi klotak, klotak, klotak gitu!” Lanjut ibu kemudian, yang disambut tawa. Ketika ibu menceritakan ulang kejadian tersebut, beliau berusaha membingkainya selucu mungkin, namun saya bisa membayangkan betapa menyeramkan situasi tersebut. Ibu saya kira-kira berusia 14 atau 15 tahun kala itu — sendirian, melalui jalan setapak yang gelap dan sepi, dan dilecehkan secara seksual oleh orang tidak bertanggung jawab. Kejadian yang sama dengan apa yang ibu saya alami 40 tahun lalu juga pernah saya alami ketika saya berusia 15 tahun. Saat itu, saya tengah menunggu pacar saya selesai urusannya sebelum kami pergi makan siang bersama. Saya sedang duduk termangu di samping jalan besar dimana angkutan kota dan bus antarkota berlalu lalang ketika seorang pria bermotor tiba-tiba berhenti di depan saya. Saya kira laki-laki tersebut hendak menyeberang — ternyata dia mengeluarkan alat kelaminnya dan mengocoknya di depan saya. Saat itu muka saya langsung pias. Mau teriak juga tenggelam karena suara klakson bus. Saya hanya tak habis pikir kenapa orang itu bisa melakukan hal seperti itu di siang hari dan di tengah jalan besar. Beberapa teman saya pun menceritakan kejadian serupa yang menimpa mereka ketika mereka juga masih berusia belasan. Salah satu yang saya ingat, teman saya tengah berada di dalam angkutan umum menuju rumah bersama beberapa penumpang yang sama-sama perempuan ketika seorang laki-laki paruh baya tiba-tiba menunjukkan kelaminnya. Sopirnya entah tidak mengetahui atau pura-pura tidak tahu, tapi yang jelas seisi angkota hanya bisa terdiam karena shock dan kaget sampai mereka tiba di tujuan mereka masing-masing. Sejak kejadian tersebut, teman saya tidak pernah mau naik angkutan umum selama beberapa bulan kedepan. Merupakan sebuah hal yang patut kita pertanyakan mengapa dalam jangka waktu 40 tahun — di mana perempuan generasi ibu saya mengalami apa yang dialami ibu saya — hingga detik ini, perempuan tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai untuk sekedar ‘merasa aman’. Dalam KUHP, tindakan kriminal seksual hanya mencakup dua jenis, yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Pelecehan seksual seperti kasus yang menimpa kami, apalagi tidak ada kontak fisik, tidak dianggap sebagai tindakan kriminal dalam konstitusi negara kita. Sungguh disayangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) hingga kini masih berupa draft, yang bahkan ditarik prioritasnya dari prolegnas dan terus ditolak oleh beberapa pihak. Lebih disayangkan lagi jika mengingat pelecehan yang saya, ibu saya dan teman-teman saya alami akan dialami juga oleh perempuan-perempuan lain di luar sana di masa depan, bahkan mungkin akan menimpa anak perempuan saya juga. Indonesia, sebagai negara yang tahun ini menjadi kepala G20 seharusnya dapat juga memperhatikan hak-hak perempuan yang berhak merasa aman di ruang publik maupun di ruang privat. Memang, dengan disahkannya RUU-PKS, keamanan dan keselamatan perempuan belum dapat dijamin sepenuhnya. Namun setidaknya, ketika kami menjadi korban pelecehan, kami memiliki “senjata” untuk melindungi diri. Di sinilah urgensi pengesahan RUU-PKS. Masih segar di benak kami semua tentang Novia Widyasari yang terbunuh akibat kekerasan struktural yang dialami perempuan ini, atau tentang anak-anak Lidya yang dicabuli oleh ayah kandungnya dan tidak mendapatkan keadilan, atau tentang para santriwati yang terpaksa melahirkan akibat diperkosa oleh gurunya sendiri. Nama-nama ini hanyalah sebagian dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban dan seharusnya hukum hadir untuk mencegah korban-korban lain di masa depan. Jalan tentu masih panjang dalam upaya untuk menghentikan kekerasan dan pelecehan seksual. Untuk mencapainya, diperlukan tidak hanya instrumen hukum yang kuat seperti RUU PKS dan Permendikbud Ristek PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) namun juga kolaborasi yang sinergis dari berbagai pihak, termasuk dalam level keluarga dan lingkungan sekitar. Edukasi yang konsisten tentang bagaimana menghargai perempuan dan tidak menganggap mereka sebagai objek belaka sepatutnya berjalan beriringan dengan payung hukum yang memadai untuk benar-benar mendukung para korban dan mencegah hal-hal yang disebutkan di atas terjadi pada orang lain. Semoga dengan demikian, meski jalan yang kita lalui ini berliku, akan terlihat secercah cahaya yang menandakan kebebasan dan keamanan bagi perempuan-perempuan di masa mendatang.