Teguh Ahmad Asparill 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia tentunya harus ditopang dengan ketahanan pangan yang memadai. Keterjangkauan, ketersediaan, kualitas dan keamanan pangan selama ini telah menjadi fokus utama pemerintah dalam meningkatkan mutu ketahanan pangan di Indonesia. Namun, di sisi lain pemerintah terlambat menyadari pentingnya aspek keberlanjutan dan adaptasi untuk menjaga pasokan pangan agar tidak hilang dan terbuang percuma. Tercatat kredit skor variabel keberlanjutan dan adaptasi pangan Indonesia pada tahun 2022 hanya berkisar 46,3% (Global Food Security Index, 2022), hal ini membuktikan adanya kecenderungan mekanisme kehilangan dan pemborosan yang masih terjadi dalam tahapan pengelolaan rantai pasokan pangan. Relevansi kehilangan pangan terjadi dalam tahapan produksi, penyimpanan, dan pemrosesan, sementara tahapan konsumsi berdampak pada pemborosan pangan (You et al., 2022). Sebagai negara berkembang, kehilangan dan pemborosan pangan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor keterbatasan teknologi infrastruktur pengelolaan pangan yang tidak berbanding lurus dengan lonjakan tingkat produksi pangan, yang kemudian menyebabkan pangan lebih mudah layu dan rusak, dampaknya pangan yang tidak dikonsumsi akan menjadi sampah (Munir & Fadhilah, 2023). Negara maju memiliki kemampuan deteksi dini yang jauh lebih baik daripada Indonesia, sehingga memungkinkan mereka untuk mengambil tindakan preventif dalam meminimalisir dampak kehilangan dan pemborosan pangan. Sebagai contoh, konsep ekonomi sirkular yang digagas oleh Ellen MacArthur Foundation pada tahun 2009, di mana prinsip utamanya dengan memperpanjang siklus hidup produksi pangan melalui perubahan paradigma produksi dan konsumsi ke arah ekonomi hijau (European Parliament, 2021). Dengan demikian, pemangku kepentingan di berbagai negara maju tidak hanya menginisiasi gerakan pengelompokan dan distribusi sampah pangan, tetapi juga mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam mengelola serta memanfaatkan potensi limbah pangan untuk menutupi kekurangan stok pangan dan perbaikan gizi nasional. Konsep ekonomi sirkular telah lama diterapkan oleh negara-negara maju sebagai bentuk tindakan nyata dalam penanganan kehilangan dan pemborosan pangan, namun konsep tersebut baru masuk di Indonesia pada tahun 2019. Artinya, sejak diperkenalkan pada tahun 2009, konsep ekonomi sirkular membutuhkan waktu selama sepuluh tahun untuk masuk ke Indonesia. Faktanya, adaptasi konsep ekonomi sirkular ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan serta kebijakan pengelolaan sampah pangan di Indonesia, masih sangat minim dan baru mengarah ke tahapan uji materiel (Waluyo & Kharisma, 2023). Keadaan ini memperburuk pelaksanaan strategi yang selama ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia, yang hanya terfokus pada distribusi sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), akibatnya akumulasi sampah yang bertumpuk terus meningkat. Indonesia menghasilkan timbulan sampah sebanyak 35 juta ton pertahunnya yang terdiri atas 40,5% sampah sisa pangan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022), sementara total produksi pangan nasional pada tahun 2022 mencapai 55 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2022a). Artinya, sampah sisa pangan mencakup sekitar 63,64% dari total produksi pangan nasional. Ironisnya, prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan yang terjadi pada tahun 2022 hanya berkisar 10,21% populasi penduduk (Badan Pusat Statistik, 2022b), sehingga apabila sampah sisa pangan tersebut dapat dikelola dengan optimal oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan, maka akan dapat menutupi ketidakcukupan konsumsi pangan yang terjadi. Mayoritas sampah yang tertimbul berasal dari sampah rumah tangga sebanyak 1 juta ton, pasar tradisional sebesar 852 ribu ton, dan pusat perbelanjaan sebanyak 443 ribu ton, di mana sampah tersebut adalah sampah pangan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Wajar apabila Indonesia berkontribusi terhadap kehilangan pangan global dengan skor mencapai 86%, disusul dengan banyaknya sampah pangan dengan skor sebesar 69%, hal ini menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke-44 dari 78 negara dengan kehilangan dan pemborosan pangan tertinggi (Economist Impact, 2023). Kehilangan dan pemborosan pangan menghasilkan tumpukan sampah berskala besar yang juga menjadi penyumbang emisi karbon seperti Karbon Dioksida (CO2), Dinitrogen Oksida (N2O), Amonia (NH3), dan Metana (CH4) (Cao et al., 2023). Rilis data terbaru terkait emisi karbon yang dihasilkan dari timbunan sampah di Indonesia adalah 154,3 Megaton CO2 Ekuivalen atau sebesar 10,49% dari 3,11% emisi global, dengan konfigurasi kalori per pasokan pangan sebanyak 1,75 Kilogram CO2 Ekuivalen/1000 Kilolakori (Climate Watch, 2023). Akibat yang ditimbulkan oleh emisi karbon adalah perubahan iklim ekstrem serta kompleksitas efek El-Nino dan La-Nina yang sulit dikendalikan karena transformasi negatif lapisan atmosfer bumi. Selain itu, emisi yang berlebih menyebabkan sektor ketahanan pangan terganggu karena efek yang ditimbulkan menyulitkan masyarakat lokal untuk menentukan masa panen sehingga komoditas yang telah dipanen sebelum matang tidak layak didistribusikan dan dikonsumsi. Apabila hal tersebut terjadi, maka pangan yang telah dipanen hanya akan kembali menjadi sampah sehingga siklus rantai sampah pangan di Indonesia akan terus berlanjut dan makin meningkat. Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan meningkatkan fokus pengkajian terhadap isu-isu Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya isu kehilangan dan pemborosan pangan. Gerakan kampanye pasif anti kehilangan dan pemborosan pangan nasional telah bermunculan pada organisasi pemerintah, swasta maupun mahasiswa dengan tujuan untuk mengarahkan paradigma masyarakat terhadap pentingnya mengelola pangan secara produktif dan konsumtif yang bertanggung jawab. Indonesia berkontribusi dalam menyumbangkan sampah pangan global dengan rincian komposisi tertinggi berupa sayuran sebesar 62,8%, buah-buahan sebanyak 45,5%, daging sebanyak 30,7%, dan ikan sebesar 29,9% dari total 1,3 miliar ton sampah pangan global yang diproduksi manusia (Low Carbon Development Indonesia, 2021). Pemerintah Indonesia dapat meminimalisir dampak dari sampah pangan tersebut dengan mengambil tindakan konkret seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju dengan memberikan fasilitas lemari pendingin ataupun transportasi rantai dingin bahkan pendirian koperasi pemasaran untuk sisa pangan yang masih layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa strategi tersebut khusus untuk sisa pangan yang memiliki kualitas kesegaran tinggi, pemerintah harus visioner dengan memanfaatkan sisa pangan yang berada pada tingkat kesegaran rendah melalui pengolahan sampah pangan menjadi pakan hewan peliharaan berbasis home made dengan menerapkan mekanisme penjualan ekonomi sirkular. Populasi hewan peliharaan di Indonesia berjumlah 280 miliar atau 67% dari populasi hewan peliharaan global, di mana persentasi jenis hewan sekitar 47% kucing, 18% burung, 10% anjing (Gray, 2023). Populasi hewan peliharan yang makin bertambah mengakibatkan lonjakan kebutuhan pasar nasional terkait pangan hewan. Ironisnya, pangsa pasar demostik pangan hewan peliharaan didominasi oleh 95% merek internasional dan hanya 5% merek nasional, padahal diproyeksikan pada tahun 2023 hingga 2028 tingkat pertumbuhan pasar pangan hewan di Indonesia sebesar 5,20% per tahun dengan konsentrasi pasar yang tinggi (Mondor Intelligence, 2023). Sebaliknya, pemain utama pasar domestik di Indonesia merupakan perusahaan swasta yaitu Hill’s Pet Nutrition, J.M Smucker, Nestle Purina Petcare Company, Diamond Pet Foods, dan Mars Inc. Artinya, tidak satu pun dari pemain utama pasar domestik yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) padahal kebutuhan akan pangan hewan peliharaan nasional dapat dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan sektor ekonomi nasional. Jika pemerintah Indonesia memang memiliki keseriusan dalam mengatasi masalah kehilangan dan pemborosan sampah, maka pemerintah harus memikirkan strategi pengelolaan sampah sisa pangan tingkat kesegaran rendah dengan memproduksi pangan hewan yang dapat disubsidikan kepada masyarakat, ini merupakan langkah yang baik untuk menekan ekspansi merek internasional sehingga pasar domestik didominasi kembali oleh merek nasional. Selain itu, potensi pasar pangan hewan peliharaan dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendorong masyarakat agar aktif mengelola sampah sisa pangan yang tidak layak konsumsi menjadi pangan hewan berbasis home made, hal ini bernilai ekonomis bagi masyarakat karena sampah sisa pangan dapat diolah dan dikomersilkan. Langkah ini juga selaras dengan Gerakan UMKM Maju yang diinisiasi oleh pemerintah untuk menguatkan perekonomian nasional. Produksi pangan hewan peliharaan berbasis home made ini, harus dibarengi dengan penggunaan “Palatant” yaitu bahan khusus untuk menambah aroma dan rasa pada pangan hewan. Kebanyakan produksi palatant saat ini berbasis protein hewani konvensional seperti jeroan hewan dan sejenisnya, yang juga dapat berkontribusi menghasilkan emisi karbon dengan tipikal penggunaan sekitar 0,5% hingga 3,0% (Moore, 2023). Untuk meminimalisir dampak penggunaan palatant hewani, pemerintah Indonesia dapat menggunakan palatant yang terbuat dari serangga seperti jangkrik, ulet grayak dan belalang, yang selama ini hanya menjadi hama pertanian. Penelitian tentang penggunaan palatant berbahan dasar serangga pada pangan hewan yang melibatkan 50 hewan peliharaan, menyatakan bahwa 90% dari hewan peliharaan tersebut menunjukkan daya tarik yang cukup kuat (Siddiqui et al., 2023). Palatant berbasis serangga terbukti efektif untuk mengurangi emisi karena serangga mengeluarkan amonia (NH3) yang lebih rendah daripada hewan lainnya (Valdés et al., 2022). Artinya, dengan menggunakan palatant serangga sebagai bahan dasar pembuatan pangan hewan dapat meminimalisir serangan hama per kapita di seluruh wilayah Indonesia. Kompleksitas manfaat dari penggunaan sampah pangan menjadi pangan hewan berbahan dasar palatant serangga dapat menjadi stategi efektif untuk pemerintah Indonesia dalam meminimalisir kehilangan dan pemborosan pangan. Selain itu, strategi ini merupakan langkah awal yang baik untuk mempromosikan konsep ekonomi sirkular kepada masyarakat awam. Refrensi Badan Pusat Statistik. (2022a). Produksi Pangan Nasional Tahun 2022. https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/03/01/2036/pada-2022–luas-panen-padi-mencapai-sekitar-10-45-juta-hektar-dengan-produksi-sebesar-54-75-juta-ton-gkg-. Badan Pusat Statistik. (2022b). Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan. https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1473/sdgs_2/1 Cao, X., Williams, P. N., Zhan, Y., Coughlin, S. A., McGrath, J. W., Chin, J. P., & Xu, Y. (2023). Municipal solid waste compost: Global trends and biogeochemical cycling. Soil & Environmental Health, 1(4), 100038. https://doi.org/10.1016/j.seh.2023.100038 Climate Watch. (2023). Indonesia Emitted. Climate Watch Data of Indonesia National Context. https://www.climatewatchdata.org/countries/IDN?end_year=2020&start_year=1990 Economist Impact. (2023). The Food Sustainability (FSI) Measures The Sustainability of Food Systems in Countries. The Economist Newspaper Limited. https://impact.economist.com/projects/foodsustainability/interactive-world-map/ European Parliament. (2021). Circular Economy: Definition, Importance and Benefits. European Parliament News; Retrieved from European Parliament: https://www. europarl. europa. eu/news Global Food Security Index. (2022). World Global Food Security Index. https://impact.economist.com/sustainability/project/food-security-index/ Gray, E. (2023). Which Country Has The Highest Percentage of Pet Ownership in 2023?. Hepper Pet Blog. https://www.hepper.com/which-country-has-highest-percentage-of-pet-ownership/#:~:text=Argentina,-Percentage of pet&text=Argentina has the highest percentage,households owning at least one Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah Tahun 2022. https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/ Low Carbon Development Indonesia. (2021). Study Report Food Loss and Waste in Indonesia: Supporting The Implementation of Circular Economy and Low Carbon Development. https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2021/07/Report-Kajian-FLW-ENG.pdf Mondor Intelligence. (2023). Pet Food Indonesia Market Size and Share Analysis: Growth Trends and Forecasts 2023-2028. Pet Food Market Indonesia. https://www.mordorintelligence.com/industry-reports/indonesia-pet-food-market Moore, N. (2023). Platability Approaches for Performance and Profit. American Food and Beverage International. https://www.afbinternational.com/blog/white_paper/palatability-approaches-for-performance-and-profit/ Munir, A., & Fadhilah. (2023). Climate Change and Food Insecurities: The Importance of Food Loss and Waste Reduction in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1134(1), 12040. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1134/1/012040 Siddiqui, S. A., Brunner, T. A., Tamm, I., van der Raad, P., Patekar, G., Alim Bahmid, N., Aarts, K., & Paul, A. (2023). Insect-based dog and cat food: A short investigative review on market, claims and consumer perception. Journal of Asia-Pacific Entomology, 26(1), 102020. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.aspen.2022.102020 Valdés, F., Villanueva, V., Durán, E., Campos, F., Avendaño, C., Sánchez, M., Domingoz-Araujo, C., & Valenzuela, C. (2022). Insects as Feed for Companion and Exotic Pets: A Current Trend. In Animals (Vol. 12, Issue 11). https://doi.org/10.3390/ani12111450 Waluyo, , & Kharisma, D. B. (2023). Circular economy and food waste problems in Indonesia: Lessons from the policies of leading Countries. Cogent Social Sciences, 9(1), 2202938. https://doi.org/10.1080/23311886.2023.2202938 You, S., Sonne, C., Park, Y.-K., Kumar, S., Lin, K.-Y. A., Ok, Y. S., & Wang, F. (2022). Food loss and waste: A carbon footprint too big to be ignored. Sustainable Environment, 8(1), 2115685. https://doi.org/10.1080/27658511.2022.2115685