Bima Setyawan Jabatan Fungsional Tertentu 0shares Bermain Game Dan Belajar Bersama SDGs Read More Pada sebuah penelitian dengan tajuk Evaluating and Ranking the Vulnerability of Global Marine Ecosystems to Anthropogenic Threats, Halpern dan kawan-kawan memiliki kesimpulan bahwa hanya terdapat satu ancaman terbesar (memiliki skor dampak tertinggi) yang berbasis di laut yaitu penangkapan ikan. Masih dalam penelitian yang sama, para ahli menganggap ekosistem paling tidak tahan terhadap dan memiliki waktu pemulihan paling lama dari salah satunya penangkapan ikan. Melalui hasil penelitian tersebut, kita mengetahui dampak buruk terhadap laut yang diciptakan oleh penangkapan ikan sangat besar. Pertanyaannya kemudian adalah apakah harus kita berhenti mengonsumsi ikan? Dalam tujuan Sustainable Development Goals Nomor 14 juga dijelaskan mengenai penangkapan ikan terutama yang secara berlebihan. Secara khusus penangkapan ikan secara berlebihan dijelaskan pada target 14.4 dan 14.6. Target 14.4 memfokuskan kepada penghentian penangkapan ikan yang berlebihan, penangkapan ikan ilegal dan praktik penangkapan ikan yang merusak. Sementara target 14.6 lebih menjabarkan kepada pencabutan subsidi bagi yang yang melanggar sesuai target 14.4. Latar belakang yang sudah diuraikan menunjukkan bahwa ada yang salah terhadap bagaimana konsumsi ikan di dalam masyarakat global sehingga dijadikan salah satu fokus dalam tujuan nomor 14 Sustainable Development Goals. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berjudul The Second World Ocean Assessment: World Ocean Assessment II Volumen I diperkirakan penangkapan ikan secara global meningkat 3 persen menjadi 80,6 juta ton, senilai 127 miliar dolar Amerika Serikat (pada harga 2017), dalam rentang waktu 2012 hingga 2017. Dalam laporan tersebut disebutkan hanya sekitar 60 persen ikan ditangkap dengan menerapkan aspek berkelanjutan secara biologis. Sementara sekitar 33 persen stok ikan dunia di klasifikasi sebagai hasil tangkapan yang tidak memenuhi aspek berkelanjutan secara biologis. Masih dalam laporan yang sama, penangkapan ikan berlebihan diperkirakan menyebabkan kerugian tahunan sebesar 88,9 miliar dolar Amerika Serikat secara global menurut manfaat bersih. Dalam sebuah jurnal lainnya berjudul Wasted Cash: The Price of Waste in the U.S. Fishing Industry, Amanda dan kawan-kawan menyoroti bahwa setidaknya setiap tahun nelayan-nelayan di Amerika Serikat membuang 20 persen ikan tangkapan karena kualitasnya buruk dan tidak memenuhi standar pasar. Jumlah tersebut setara dengan 2 miliar ton per tahun atau 3,5 juta ekor ikan tuna sirip biru Atlantik yang rata-rata berat per ekor adalah 250 kilogram. Secara khusus dalam mengantisipasi penangkapan ikan yang berlebihan dan tidak memenuhi aspek berkelanjutan secara biologis, pemerintah Indonesia telah mengatur batasan tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Dalam Metadata Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang dirilis oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dijelaskan bahwa JTB adalah jumlah tangkapan sebesar 80% dari jumlah tangkapan lestari (maksimum sustainable yield) yang diperbolehkan untuk dilakukan penangkapan. Setiap tahunnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah pihak yang bertanggung jawab untuk memonitor JTB dan melaporkan situasi terkait pembatasan ini menurut metadata tersebut. Saat ini isu penangkapan ikan secara berlebihan secara khusus pemberitaannya masih kalah dengan isu lain seperti isu pemanasan global, pencemaran dan sampah plastik dalam konteks menjaga ekosistem laut. Lebih jauh, George Monbiot, seorang jurnalis dan environmentalist, berpendapat jika meskipun tidak ada sampah plastik satu gram sekalipun masuk ke laut hari ini dan kedepannya, ekosistem di laut tetap akan rusak akibat dari penangkapan ikan khususnya yang bersifat komersial. Pendapat lain juga diberikan oleh Callum Roberts penulis buku The Ocean of Life: The Fate of Man and the Sea, yang berkomentar bahwa terbunuhnya hewan laut akibat kebocoran minyak tiga juta barel di Teluk Meksiko pada 2010 jumlahnya masih kalah dengan penangkapan ikan di lokasi yang sama. Callum menambahkan bahwa jumlah ikan yang mati akibat penangkapan ikan dalam satu hari jumlahnya sama dengan hewan laut yang mati selama tiga bulan akibat tumpahan minyak pada 2010 tersebut. Melalui fakta tersebut menunjukkan bahwa penangkapan ikan komersial atau berlebihan nampaknya jauh lebih berbahaya daripada isu pencemaran air laut akibat tumpahan minyak di Teluk Meksiko pada tahun 2010. Pada 2006, The New York Times pernah membahas persoalan penangkapan ikan secara berlebihan yang mengancam kelangsungan laut. Dalam pemberitaan yang ditulis oleh Cornelia Dean tersebut, dikatakan apabila penangkapan ikan di seluruh dunia berlanjut dengan kecepatannya saat ini maka pada 2048 kita akan melihat laut kita akan kosong. Pemberitaan ini tentu harus menjadi perhatian kita semua mengingat laut kita hari ini adalah titipan dari generasi-generasi selanjutnya. Selain alasan tersebut, United Nations Environment Programme menuturkan bahwa lautan, dan semua kehidupannya yang hidup di bawah dan di atas air, memainkan peran sentral dalam menstabilkan iklim di bumi. Mereka menyediakan sumber makanan penting bagi sejumlah besar spesies tanah dan air serta mengatur jumlah CO2 yang tinggal di atmosfer dengan menyerap 30 persen emisi global. Fakta tersebut menunjukkan bahwa fungsi ikan sebagai hewan laut sangat besar, tidak hanya menjadi makanan namun juga membantu manusia dalam menjaga bumi dari emisi karbon. Kita semua tentu tidak bisa membayangkan apabila ikan atau hewan laut lainnya hilang karena hal tersebut akan menganggu kestabilan bumi. Banyak sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pengambil keputusan dalam merespons persoalanan penangkapan ikan secara berlebihan ini. Sebagai contoh adalah dengan pelarangan penggunaan cantrang atau pukat yang bisa menangkap ikan hingga dasar perairan. Penggunaan alat penangkap ikan seperti cantrang dan pukat dapat menyebabkan deforestasi dasar laut. Dalam penelitian berjudul Bottom Trawling Impacts On Ocean, Clearly Visible From Space karya Dr Les Watling dan Dr Elliot Norse, dijelaskan bahwa setiap tahunnya 3,9 miliar hektare dasar laut mengalami deforestasi akibat penggunaan cantrang dan pukat. Luas tersebut sama dengan luas dua kali Rusia ditambah dua kalinya luas wilayah Indonesia. Deforestasi dasar laut tentu akan menganggu ekosistem laut di mana ikan-ikan tidak memiliki tempat untuk bertelur karena banyak terumbu karang yang rusak dan memengaruhi populasi ikan. Sejalan dengan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan cantrang atau pukat, secara khusus pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 24 peraturan tersebut disebutkan bahwa cantrang dan pukat dilarang digunakan di perairan Indonesia. Peraturan tersebut juga merupakan wujud dari penguatan pelaksaan undang-undang Nomor 45/2009 tentang Perikanan. Pasal 25B peraturan tersebut menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usaha perikanan yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggunaan cantrang dan pukat yang biasanya digunakan oleh industri besar penangkapan ikan juga tidak ramah terdahap iklim usaha di mana nelayan-nelayan kecil akan sulit bersaing karena keterbatasan modal dan alat. Memahami kompleksitas industri perikanan tidak bisa dilepaskan dari tingkat permintaan konsumen terhadap ikan yang sangat tinggi. Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu ekonomi bahwa permintaan akan memengaruhi penawaran, kemudian penawaran tersebut akan membentuk pola menuju sebuah industrialisasi. Industrialisasi selayaknya harus bisa berjalan bersamaan dalam pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Meskipun pengambil keputusan juga telah mengeluarkan sejumlah aturan agar industrialisasi dapat ramah terhadap lingkungan, peran kita sebagai konsumen juga memegang pernanan penting dalam pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai masyarakat global kita juga dapat berpartisipasi dalam menjaga ekosistem laut terutama dengan menyesuaikan konsumsi kita terhadap produk laut seperti ikan. Pada umumnya, sangat sulit bagi kita untuk tidak mengonsumsi hasil laut namun budaya kita selama ini telah menciptakan penangkapan ikan secara berlebihan atau komersial. Marine Stewardship Council memberikan 3 rekomendasi bagi kita sebelum mengonsumsi ikan. Pertama, memastikan bahwa ikan yang kita konsumsi merupakan populasi ikan yang masih produktif dan sehat. Kedua, ikan yang kita makan didapatkan melalui kegiatan penangkapan ikan yang dikelola dengan hati-hati agar spesies dan habitat lain dalam ekosistem tetap sehat. Terakhir, apakah ikan tersebut didapatkan melalui operasi yang dikelola dengan baik dan mematuhi undang-undang serta mampu beradaptasi dengan perubahan keadaan lingkungan. Merujuk kepada 3 rekomendasi yang diberikan, rasanya sangat panjang proses bagi kita untuk menyeleksi ikan mana yang dapat dikonsumsi. Namun budaya kita selama ini yang mungkin bisa dikategorikan berlebihan dan tidak mempedulikan aspek berkelanjutan, telah menyebabkan sejumlah spesies ikan terancam punah. Kita harus sadar bahwa ketidakpedulian dan keserakahan kita tidak hanya mengancam spesies ikan tertentu namun juga generasi selanjutnya. Kurang dari 30 tahun ke depan, dengan masih budaya yang masih sama seperti saat ini, generasi selanjutnya terancam tidak dapat mengonsumsi ikan laut. Mengingat kembali salah satu pesan Mahatma Gandhi bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia namun tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. Mengonsumsi ikan seyogianya tidak berlebihan dan serakah agar populasi ikan kita tetap aman dan bisa dinikmati bagi generasi selanjutnya.