fbpx
Dok. Pribadi, 2020

Memulihkan Pariwisata Indonesia di Era Pandemi COVID-19 melalui Komunikasi Krisis dan Konsep CHSE

Tahun 2020-2021 merupakan salah satu periode paling berat yang tak disangka-sangka oleh siapapun di dunia. Pasalnya, sejak Desember 2019 lalu, Novel coronavirus disease of 2019 (COVID-19) telah mewabah di hampir seluruh negara di dunia. Sejak kasus pertama COVID-19 di Wuhan, China, hingga hari ini 27 September 2021 pukul 15.29 WIB, infeksi COVID-19 telah mencatat 230.418.451 kasus terkonfirmasi dan telah memakan korban jiwa sebanyak 4.724.876 di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah total kasus terkonfirmasi sebanyak 4.204.116 kasus dan korban jiwa sebanyak 141.258 jiwa (WHO, 2020).

Tingginya jumlah kasus harian membuat Indonesia terpaksa memberlakukan pengetatan melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 10 April 2020. Dampak PSBB pun dirasakan di hampir semua sektor di Indonesia, mulai dari sektor pendidikan, produksi barang, perdagangan, perekonomian, transportasi, hingga pariwisata. Sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor yang paling terdampak oleh pandemi COVID-19, pasalnya kebijakan PSBB yang membatasi kegiatan di tempat umum, membatasi kegiatan sosial budaya, pembatasan transportasi, dan memperketat mobilitas masyarakat dengan menjaga perbatasan antar kota dan provinsi membuat semua aspek pariwisata lumpuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kunjungan wisatawan khususnya mancanegara ke Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Perbandingannya, jika di awal tahun 2020 kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1.290.411 pengunjung, sedangkan di awal tahun 2021 hanya 137.230 orang (Kemenparekraf, 2021).

Gambar 1. Kunjungan Wisatawan Mancanegara 2020-2021
Gambar 1. Kunjungan Wisatawan Mancanegara 2020-2021 (Sumber: Kemenparekraf, 2021)

Beberapa daerah di Indonesia seperti Bali, menggantungkan lebih dari 50% perekonomian daerahnya melalui sektor pariwisata. Dampak pandemi begitu signifikan bahkan melampaui dampak fenomena erupsi Gunung Agung, bahkan melampaui tragedi Bom Bali I dan II (Purwahita et al., 2021). Selain memprihatinkan, hal ini tentunya juga membahayakan kehidupan sosial dan masyarakat di Bali, dan juga daerah lain yang tumpuan perekonomian daerahnya adalah pariwisata.

Kondisi ini pun diperparah dengan kemunculan gelombang kedua COVID-19 di Indonesia pada tanggal 3 Juli 2021 lalu (Tempo.co, 2021). Setelah angka positivity rate menurun dan kebijakan PSBB dilonggarkan, ternyata mobilitas masyarakat menjadi hampir tak terkontrol sehingga tingkat positivity rate meningkat tajam mencapai 14.5%, jauh di atas batas aman dari World Health Organization (WHO) yang tak lebih dari 5% (Regional.kontan.co.id, 2021). Pemerintah Indonesia pun terpaksa memberlakukan pengetatan yang disebut sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Serangan bertubi-tubi pandemi COVID-19 tentunya sangat merugikan sektor pariwisata. Kebangkitannya pun tak dapat diprediksi jika pemerintah dan stakeholders tidak bertindak cepat dan tepat. Mengapa harus tepat? Sebab kebijakan gegabah yang hanya berorientasi pada percepatan beresiko menimbulkan klaster-klaster baru, oleh karena itu kebijakan yang cepat namun tepat diperlukan untuk memulihkan pariwisata dengan kendali dan kontrol. Harapannya, sektor pariwisata dapat bertumbuh secara stabil dan sustainable. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, paper ini akan memberikan gagasan metode dalam membangun pariwisata Indonesia yang bersifat inklusif dan berkelanjutan di era pandemi COVID-19 melalui konsep komunikasi krisis dan konsep CHSE atau Cleanliness, Health, Safety, dan Environment yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI).

Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul “COVID-19 and the recovery of the tourism industry” oleh Assaf & Scuderi (2020: 731-733), disebutkan bahwa salah satu elemen penting dalam pemulihan pariwisata pasca pandemi adalah confidence atau tingkat kepercayaan wisatawan dalam hal kesiapan dan keamanan dalam berwisata, terlebih lagi mancanegara. Selain dari aspek higienitas, turis juga butuh kepastian mengenai regulasi seperti pra-syarat kedatangan (sertifikat vaksin, hasil swab PCR, durasi karantina, dll.). Pasalnya, ketidakjelasan regulasi mengenai pra-syarat ini banyak menjadi polemik. Bahkan sempat viral saat Bandara Internasional Soekarno-Hatta kacau pada 28 Desember 2020 lalu karena perubahan regulasi mendadak mengenai pendatang yang diwajibkan karantina selama lima hari tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Menurut kesaksian salah satu wisatawan yang terdampak, seluruh pendatang wajib karantina selama lima hari, tanpa ada pertanggung jawaban mengenai tiket penerbangan lanjutan, atau tiket destinasi wisata dan hotel yang telah dipesan sebelumnya (Coconuts.co, 2020).

Kondisi ini pun membuat wisatawan traumatis dan berpersepsi buruk kepada penentu kebijakan di Indonesia, sehingga wisatawan pun enggan datang ke Indonesia sejak kebijakan perjalanan diperketat (Cnnindonesia.com, 2020). Turunnya minat dan kepercayaan wisatawan terhadap pariwisata di Indonesia merupakan bentuk dari fenomena lack of trust destination. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan langkah tepat dalam mengembalikan confidence atau kepercayaan wisatawan melalui konsep komunikasi krisis, yaitu strategi komunikasi yang bertujuan untuk memperbaiki reputasi yang terdampak oleh sesuatu (Austin & Jin, 2017: 402). Dalam mengembalikan kepercayaan seseorang, maka pendekatan yang digunakan hendaknya bersifat informatif, persuasif, mengedepankan empati, dan transparan. Imbauan-imbauan yang sifatnya larangan, birokratif, dan berbelit hendaknya dihindari.

Konsep Komunikasi Krisis

Menyebarkan pesan bersifat informatif dan persuasif yang dapat menjangkau wisatawan khususnya turis, tentunya dibutuhkan medium tanpa batasan ruang dan waktu yang efektif dan efisien. Media sosial dengan karakteristiknya yang interaktif, berjangkauan luas, dan sifatnya cepat dirasa mampu menjawab tantangan tersebut. Selain itu berdasarkan penelitian, media sosial telah memberdayakan stakeholders dalam hal peningkatan paparan suatu isu, berpartisipasi dalam membentuk isu, serta transparansi perusahaan. Penggunaan media sosial dalam pemulihan krisis fokus pada tiga poin utama, yakni crisis responses, emotional coping, dan crisis framing  (Alexander dalam Austin & Jin, 2017: 403).

Fokus pertama adalah crisis response yang merupakan tanggapan dan sikap yang disampaikan dengan tujuan memberikan informasi yang akurat, menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat (Austin & Jin, 2017: 401). Dalam hal ini, instansi-instansi pemerintah diharapkan dapat menyampaikan fakta-fakta dan perkembangan penanganan kasus COVID-19 di Indonesia, status positivity rate, status vaksinasi, serta status kebijakan pariwisata di Indonesia. Dengan demikian, turis dapat memantau perkembangan dan memutuskan secara bijak kapan mereka bisa berwisata kembali di Indonesia.

Fokus kedua, emotional coping, yakni penggunaan media sosial dalam memengaruhi emosional publik atau audiens. Krisis biasanya menimbulkan kerugian, ancaman, atau keburukan lain kepada suatu kelompok yang terdampak. Sedangkan manusia memiliki tendensi dapat merasakan emosi (emotions) orang lain saat terkena musibah (Austin & Jin, 2017: 404). Dengan kata lain, menyoroti dampak pandemi COVID-19 pada pekerja, pegiat, dan masyarakat yang menggantungkan hidup di sektor pariwisata diharapkan dapat membentuk emotional coping bagi wisatawan. Sehingga, tujuan utama wisatawan bukan hanya datang untuk refreshing dan relaksasi, namun juga dengan tujuan mulia memutar roda ekonomi daerah pariwisata. Penerapannya pun bukan seperti menyoroti korban bencana alam yang membutuhkan bantuan berupa sembako ataupun obat-obatan, namun kisah-kisah inspiratif pekerja, pegiat, dan masyarakat dalam membangun pariwisata daerahnya masing-masing, bangkit dari keterpurukan pandemi, serta membagikan kisah bertahan selama pariwisata mati suri.

Fokus ketiga yakni crisis framing atau pembentukan opini mengenai krisis (Austin, L & Jin, 2017: 405). Jika krisis digambarkan sebagai sesuatu yang destructive, maka persepsi masyarakat juga akan terbentuk ke arah perspektif yang mengerikan. Namun, jika krisis diinformasikan secara aktual, dibarengi dengan edukasi normatif dan harapan-harapan optimis, maka persepsi masyarakat juga akan terbentuk ke arah yang lebih positif.

Konsep CHSE

Selain membangun tingkat kepercayaan wisatawan melalui konsep komunikasi krisis, kebijakan protokol kesehatan ketat saat berwisata juga penting untuk diterapkan. Konsep CHSE atau Cleanliness, Health, Safety, dan Environment yang digagas oleh Kemenparekraf RI (Kemenparekraf, 2020) dapat menjadi solusi guna mewujudkan pariwisata yang aman dan adaptif.

Konsep cleanliness dapat diaplikasikan mulai dari menyediakan fasilitas no physical contact dari segi pembelian tiket, verifikasi data, hingga skema refund bagi wisatawan yang tak memenuhi syarat memasuki area wisata. Kemudian menerapkan disinfeksi berkala minimal setiap setengah jam, atau sesuai kebutuhan, dengan memerhatikan sudut-sudut yang sering berkontak dengan wisatawan, seperti gagang pintu, tiang, pembatas, dll. Lalu, memastikan tersedianya tempat cuci tangan dengan sabun, mewajibkan wisatawan mencuci tangan dengan benar sebelum masuk ke objek wisata.

Konsep health diaplikasikan mulai dari kewajiban vaksinasi lengkap (dua kali) bagi setiap wisatawan yang dibuktikan dengan scan melalui aplikasi Peduli Lindungi, Sedangkan bagi wisatawan yang tidak memiliki aplikasi tersebut, dapat menunjukkan sertifikat vaksinasinya atau menggunakan NIK KTP. Setelah diverifikasi melalui aplikasi, wisatawan wajib dicek suhu tubuh, mencuci tangan dengan sabun, dan menggunakan masker dengan benar. Selama berwisata, pengunjung wajib menerapkan 3M (menggunakan asker, menjaga jarak, mencuci tangan) dengan ketat dan disiplin, serta memerhatikan etika bersin, makan dan minum, juga berinteraksi satu sama lain.

Konsep safety diterapkan oleh pengelola dengan menyiapkan petugas di tiap-tiap sudut objek wisata guna memperingatkan jika terjadi kelalaian wisatawan, menerapkan pembatasan jumlah wisatawan, memberikan sosialisasi mengenai berwisata secara aman dan sehat, serta menyiapkan berbagai fasilitas kesehatan seperti ruang kesehatan, P3K, dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan serta Satgas COVID-19 setempat.

Konsep environment diterapkan dengan cara memastikan kondisi daerah setempat aman untuk dikunjungi, memastikan penggunaan peralatan kesehatan dan kebersihan dengan bahan yang ramah lingkungan, dapat di-reduce, reuse, replace, dan recycle, memastikan pemanfaatan air dan sumber energi lain seperti listrik dan gas secara efisien guna menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem.

Penerapan konsep komunikasi krisis dan konsep CHSE diharapkan dapat memulihkan sektor pariwisata Indonesia yang saat ini lumpuh dan mati suri akibat pandemi. Dengan adanya kemauan dan kerja sama dari semua pihak, tentunya upaya membangun pariwisata Indonesia yang bersifat inklusif dan berkelanjutan di era pandemi COVID-19 dapat terwujud sehingga ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup di sektor pariwisata dapat kembali meningkat dan adaptif selama pandemi masih menjangkit di Indonesia dan juga di dunia.