fbpx

Membangun Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual, Melalui Pendidikan dan Kesadaran Oleh : Suvi Elvirawati Zebua

Membangun Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual,

Melalui Pendidikan dan Kesadaran

Oleh : Suvi Elvirawati Zebua

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk kekerasan fisik yang tergolong sebagai tindakan kriminal. Pada tahun 2013, Indonesia dinyatakan dalam kondisi darurat kekerasan seksual, yang terus meningkat setiap tahunnya. Korban kekerasan seksual tidak hanya terdiri atas orang dewasa, tetapi juga remaja, anak-anak, bahkan balita. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga meluas ke berbagai negara di dunia. Peningkatan jumlah kasus ini tidak hanya mencakup kuantitas, tetapi juga kualitas tindakannya(Ivo, 2015).

Pelaku kekerasan seksual biasanya melakukan tindakan ini secara paksa untuk memenuhi hasrat pribadinya. Kekerasan seksual tidak terbatas pada hubungan seksual paksa, tetapi juga mencakup aktivitas lain, seperti meraba atau bahkan sekadar memandangi korban secara tidak pantas(Sari et al., 2015). Maraknya pemberitaan mengenai kekerasan seksual mencerminkan bahwa masalah ini merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Anak-anak adalah kelompok yang sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual karena mereka sering dipandang lemah, tidak berdaya, dan bergantung pada orang dewasa di sekitarnya.

Pendapat oranye dan Brodwin dalam jurnal Psychology Early Prevention Toward Sexual Abuse ons Children menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah bentuk pemaksaan, ancaman, atau manipulasi yang melibatkan anak dalam aktivitas seksual. Aktivitas tersebut dapat meliputi melihat, meraba, penetrasi, pencabulan, hingga pemerkosaan. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada tahun 2019 tercatat 6.454 anak menjadi korban kekerasan seksual, meningkat menjadi 6.980 anak pada tahun 2020, dan melonjak 25,07% menjadi 8.730 anak pada tahun 2021. Sepanjang Januari 2022 saja, tercatat sebanyak 797 anak menjadi korban kekerasan seksual(Susilowati & Ratnaningrum, 2023).

Maraknya Kekerasan Seksual pada Anak Laki-Laki: Realitas yang Sering Terabaikan

Salah satu kasus yang mengejutkan adalah pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang petugas kebersihan terhadap lima remaja laki-laki di Solo. Berdasarkan informasi dari laman Detik.com, para korban masih berusia di bawah umur. Kekerasan seksual terhadap anak laki-laki sering kali kurang mendapatkan perhatian. Pandangan masyarakat terhadap pelecehan atau kekerasan seksual pada laki-laki cenderung sangat terbatas, diperburuk oleh kecenderungan pemberitaan yang lebih menyoroti kekerasan terhadap perempuan. kekerasan seksual terhadap anak laki-laki jarang dilaporkan, sulit dikenali, dan jarang ditangani. Kondisi ini dipengaruhi oleh ketidaknyamanan masyarakat dalam membahas isu tersebut, terganggunya peran tradisional akibat viktimisasi laki-laki, serta adanya homofobia. Mitos yang berkembang, seperti anggapan bahwa anak laki-laki jarang mengalami kekerasan seksual atau dampaknya tidak serius, turut memperburuk situasi ini. Berdasarkan data, dari 4.116 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat, 2.556 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, 56,46% korban adalah anak laki-laki, sedangkan korban perempuan hanya sebesar 43,54%(Rahman & Urbayatun, 2022).

Kekerasan Seksual di Panti Asuhan dan Kisah Pilu Balita Korban Kekerasan Seksual oleh ayah kandung

Kekerasan seksual juga kerap terjadi di panti asuhan. Berdasarkan laporan dari Liputan6.com, beberapa kasus melibatkan pengurus dan ketua yayasan, yang seharusnya bertanggung jawab melindungi anak-anak. Selain itu, kekerasan seksual terhadap anak usia balita juga menjadi perhatian serius. Laporan dari Kompas.id menyebutkan bahwa seorang balita berusia 3,5 tahun menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri. Kasus ini sangat memilukan karena pelaku berasal dari keluarga inti, yang seharusnya menjadi pelindung utama bagi anak. masa kanak-kanak adalah tahap penting dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Oleh karena itu, anak harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, yang harus dilakukan secara menyeluruh, holistik, dan tidak memihak. Perlindungan ini harus mengutamakan kepentingan terbaik anak, menjaga haknya untuk hidup dan berkembang, serta menghargai pendapatnya.

Berdasarkan data dari KPPPA, kekerasan seksual paling banyak terjadi dalam rumah tangga dan pada remaja usia 13–17 tahun. Remaja sering kali menjadi korban di sekolah, baik oleh guru, teman, maupun pasangan mereka. Pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, seperti perundungan, dapat berujung pada kematian. Laporan dari Detik.com menyebutkan bahwa kasus-kasus ini sering terjadi di institusi pendidikan. Selain itu, media sosial menjadi salah satu ruang di mana kekerasan seksual kerap terjadi. Berdasarkan informasi dari laman TBS Fight for Sisterhood, kekerasan seksual di media sosial biasanya melibatkan penyebaran foto atau video tanpa izin. Tindakan ini tidak hanya merusak secara emosional, tetapi juga dapat mendorong korban melakukan tindakan ekstrem, seperti bunuh diri.

Akibat kekerasan yang dialami, anak sangat mungkin mengalami gangguan psikologis yang meliputi gangguan emosional, perilaku, dan kognisi. Gangguan emosional pada anak biasanya terlihat dari ketidakstabilan emosi, seperti mudah marah, cemas, atau sedih tanpa sebab yang jelas, yang dapat berdampak pada suasana hati mereka menjadi buruk. Gangguan perilaku dapat muncul dalam bentuk perubahan negatif, seperti enggan beraktivitas, menjadi malas berlebihan, atau menunjukkan perilaku agresif. Sementara itu, gangguan kognisi dapat memengaruhi pola pikir anak, seperti sulit berkonsentrasi, sering melamun, atau mengalami kebingungan dalam memahami pelajaran di sekolah(Kurniasari, 2019).

Dampak Psikologis Kekerasan Seksual pada Anak: Luka yang Sulit Terobati

Dampak psikologis akibat kekerasan pada anak tidak sesederhana yang sering dianggap oleh masyarakat. Ketika aspek psikologis anak terganggu, pola pikir mereka perlahan berubah, memengaruhi berbagai hal, mulai dari cara mereka memahami lingkungan sekitar, kestabilan emosi yang menjadi rentan, hingga potensi berkembangnya gangguan mental seperti depresi. Gangguan psikologis ini sering kali dikategorikan sebagai trauma pasca-kejadian (post-traumatic stres). Trauma ini sangat berpengaruh pada kehidupan anak, terutama menimbulkan rasa takut dan kecemasan berlebihan akibat ingatan yang terus kembali (flashback) pada peristiwa kekerasan yang pernah dialami. anak yang mengalami trauma biasanya menunjukkan rasa cemas, waspada, atau ketakutan yang luar biasa saat dihadapkan pada situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian kekerasan sebelumnya. Hal ini menjadi salah satu dampak psikologis yang sulit dihindari. Untuk mengurangi tekanan psikologis akibat trauma, anak sering kali mencari dukungan dari orang tua, guru, atau orang terdekat lainnya dengan meluapkan perasaan dan pikirannya, berharap mendapatkan rasa aman dan ketenangan.

Namun, pada kasus tertentu, anak yang mengalami trauma juga rentan terhadap depresi. Depresi pada anak tidak dapat diremehkan karena risiko terburuknya adalah adanya pikiran untuk melukai diri sendiri atau bahkan percobaan bunuh diri. Dalam kondisi depresi, anak dapat menunjukkan tanda-tanda self-harm, seperti menggores kulit dengan benda tajam, mencubit, atau memukul diri sendiri. Tindakan ini menunjukkan bahwa anak merasa kesakitan secara emosional, dan hal tersebut membutuhkan perhatian serta penanganan khusus dari keluarga, pendidik, dan profesional di bidang kesehatan mental(Anindya et al., 2020).

Kekerasan seksual terhadap anak sering terjadi karena pelaku memandang anak sebagai individu yang lemah dan polos. Anak-anak berada pada tahap perkembangan yang masih rentan, dengan pemahaman yang terbatas tentang dunia di sekitarnya, sehingga sering kali menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan seksual pada anak juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan pelaku dalam memenuhi kebutuhan seksualnya dengan cara yang sehat, serta kurangnya penghormatan terhadap privasi orang lain.

Faktor Lingkungan Sosial yang Mendorong Kekerasan Seksual terhadap Anak

Beberapa penyebab kekerasan seksual terhadap anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari lingkungan sosial maupun kondisi internal pelaku. Salah satu faktor utama adalah perubahan hormonal yang dialami oleh pelaku, yang sering kali memengaruhi perilaku mereka secara negatif. Selain itu, perkembangan teknologi juga menjadi pemicu, karena mempermudah akses terhadap konten tidak sehat yang dapat mendorong perilaku menyimpang. Perubahan gaya hidup modern, yang terkadang mengabaikan nilai-nilai moral, turut berkontribusi terhadap meningkatnya risiko kekerasan seksual. Pengaruh sosial budaya juga memengaruhi, di mana norma atau nilai tertentu dapat memperkuat stigma atau ketidakpedulian terhadap perlindungan anak. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kekerasan seksual dan dampaknya juga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kasus ini(Octaviani & Nurwati, 2021).

Di sisi lain, faktor lain yang memperbesar risiko kekerasan seksual pada anak mencakup budaya patriarki yang menempatkan anak sebagai individu subordinat yang mudah dimanipulasi. Konflik antar budaya juga dapat memicu ketegangan sosial, yang pada akhirnya memengaruhi perilaku individu. Selain itu, faktor internal pada pelaku, seperti gangguan psikologis atau kurangnya kontrol diri, menjadi salah satu penyebab penting. Rendahnya tingkat pengawasan masyarakat terhadap individu yang rentan dan adanya patologi dalam keluarga, seperti kekerasan domestik atau hubungan keluarga yang tidak harmonis, turut menjadi pemicu kekerasan seksual terhadap anak.

Pentingnya Pencegahan Kekerasan Seksual Berdasarkan Tahapan Perkembangan Anak

Pencegahan kekerasan seksual terhadap anak memerlukan pendekatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mengingat setiap tahap memiliki karakteristik unik yang memengaruhi cara anak berinteraksi dengan dunia di sekitarnya. Pemahaman mendalam tentang perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional anak menjadi landasan utama dalam melaksanakan upaya perlindungan ini(Rahmawati & Hertati, 2023).

Berdasarkan pembelajaran yang saya peroleh di kampus mengenai perkembangan peserta didik, terdapat beberapa cara untuk melakukan penanganan dan pemahaman terhadap anak-anak, yang berlandaskan pada teori-teori yang dipelajari dalam perkembangan peserta didik. Pada tahap prasekolah (usia 4–6 tahun), anak mulai mengembangkan pemahaman dasar mengenai tubuh mereka. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap praoperasional, di mana mereka mampu mengenal dan menyebutkan bagian tubuh mereka dengan cara yang sederhana. Pada tahap ini, anak-anak dapat dikenalkan dengan konsep tubuh pribadi, seperti bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Penggunaan bahasa yang sederhana dan jelas sangat penting agar anak dapat memahami konsep ini dengan baik. Sebagai contoh, anak dapat diajarkan untuk menyebutkan bagian tubuh yang bersifat pribadi dan memahami hak untuk melindunginya.

Seiring berjalannya waktu, pada usia sekolah dasar (6–12 tahun), anak-anak mulai memasuki tahap operasional konkret menurut Piaget, yang memungkinkan mereka untuk lebih memahami konsep-konsep abstrak, termasuk hak pribadi dan batasan. Pada tahap ini, anak-anak mulai lebih mudah memahami makna hak atas tubuh mereka dan dapat mulai mengenali serta menanggapi perilaku yang tidak pantas. Pendidikan mengenai hak pribadi, batasan, dan kesetaraan gender menjadi sangat penting, agar anak-anak tidak hanya mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi juga memahami pentingnya menghormati hak orang lain.

Dalam perkembangan sosial dan emosional, yang menurut Erik Erikson terjadi pada tahap inisiatif vs rasa bersalah pada usia prasekolah, serta tahap industri vs inferioritas pada usia sekolah dasar, anak-anak mulai mengembangkan keterampilan sosial yang lebih kompleks. Mereka mulai berinteraksi lebih intens dengan teman sebaya, sehingga penting untuk mengajarkan mereka nilai-nilai hubungan yang sehat, seperti saling menghormati dan bekerja sama. Melalui proses ini, anak-anak belajar mengenali dan menanggapi perilaku yang tidak sehat, termasuk kekerasan seksual. Pendidikan yang menanamkan kesetaraan gender juga dapat mencegah anak menginternalisasi norma patriarki yang dapat membenarkan kekerasan atau ketidaksetaraan dalam hubungan.

Teori perkembangan sosial-emosional Erikson juga menekankan bahwa anak membutuhkan rasa aman dan percaya diri yang terbangun dalam lingkungan yang mendukung. Oleh karena itu, sangat penting bagi lingkungan sekitar—baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat—untuk menciptakan ruang aman bagi anak agar mereka dapat berbicara dan berbagi pengalaman tanpa rasa takut akan stigma atau hukuman. Rasa aman ini memungkinkan anak merasa dihargai dan diberdayakan, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan kepercayaan diri mereka dalam mengenali dan melaporkan potensi bahaya.

Selain itu, perkembangan moral anak, yang dijelaskan dalam teori Kohlberg, juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah dan norma masyarakat. Sosialisasi mengenai bahaya kekerasan seksual perlu dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Misalnya, pada anak usia prasekolah dan sekolah dasar, materi tentang kekerasan seksual bisa disampaikan melalui cerita atau media yang menarik dan mudah dipahami. Untuk remaja, diskusi yang lebih terbuka dan berbasis pada nilai-nilai moral yang lebih kompleks dapat dilakukan. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap anak akan memperkuat sistem pendukung yang membantu anak tumbuh secara optimal.

Keterlibatan orang tua juga memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan anak. Dalam teori perkembangan keluarga, pola asuh orang tua yang mendukung dapat memberikan pengaruh positif dalam mengenalkan anak pada konsep-konsep dasar tentang tubuh dan hak pribadi mereka. Anak yang mendapatkan pendidikan tentang hak-hak pribadinya di rumah akan lebih mampu mengenali tanda-tanda bahaya dan melindungi diri mereka dari kekerasan seksual. Orang tua diharapkan aktif memberikan edukasi sesuai dengan tahapan perkembangan anak, seperti melalui permainan edukatif untuk anak prasekolah atau diskusi terbuka untuk remaja.

Secara keseluruhan, menyelaraskan pencegahan kekerasan seksual dengan tahapan perkembangan peserta didik tidak hanya membantu anak-anak mengenali dan menghindari risiko kekerasan, tetapi juga mendukung perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka secara utuh. Dengan pendekatan holistik yang berdasarkan teori-teori perkembangan anak, pencegahan kekerasan seksual dapat dilaksanakan secara lebih efektif, memberikan perlindungan maksimal bagi anak-anak, dan mendukung mereka untuk tumbuh menjadi individu yang sehat dan aman.

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan masalah serius yang memengaruhi banyak aspek kehidupan anak, baik fisik maupun psikologis. Tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak laki-laki, yang sering kali kurang mendapatkan perhatian. Kekerasan ini dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk rumah tangga, sekolah, panti asuhan, dan bahkan di dunia maya. Dampak psikologis yang ditimbulkan sangat besar, seperti gangguan emosional, perilaku, dan kognisi, yang dapat berlanjut menjadi trauma psikologis yang mendalam, seperti depresi dan gangguan kecemasan.

Pencegahan kekerasan seksual terhadap anak perlu dilakukan dengan pendekatan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai teori perkembangan, seperti Piaget, Erikson, dan Kohlberg. Pendidikan yang mengajarkan anak tentang hak pribadi, batasan tubuh, serta nilai kesetaraan gender harus diberikan secara dini dan terus-menerus. Selain itu, lingkungan yang aman, dukungan dari orang tua, dan keterlibatan masyarakat serta kebijakan yang tepat sangat berperan dalam melindungi anak dari kekerasan seksual.

Sebagai pengingat tegas, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan seksual, dan tanggung jawab kita bersama untuk menciptakan dunia yang aman bagi mereka. Tidak ada tempat untuk toleransi terhadap kekerasan seksual dalam bentuk apa pun, dan kita harus bergerak dengan komitmen penuh untuk mengedukasi dan melindungi anak-anak, memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan penuh kasih sayang. Jangan biarkan kekerasan seksual menjadi sesuatu yang diterima atau dibungkam; perjuangkan hak anak untuk hidup tanpa rasa takut dan tanpa kekerasan.

Daftar pustaka

Anindya, A., Dewi, Y. I. S., & Oentari, Z. D. (2020). Dampak psikologis dan upaya penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan. Terapan Informatika Nusantara, 1(3), 137–140. https://ejurnal.seminar-id.com/index.php/tin/article/view/394

Ivo, N. (2015). Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Impact and Hendling. Sosio Informa, 01(200), 13–28.

Kurniasari, A. (2019). Dampak Kekerasan Pada Kepribadian Anak. Sosio Informa, 5(1), 15–24. https://doi.org/10.33007/inf.v5i1.1594

Octaviani, F., & Nurwati, N. (2021). Analisis Faktor Dan Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS, 3(II), 56–60. https://doi.org/10.23969/humanitas.v3iii.4118

Rahman, A., & Urbayatun, S. (2022). Kajian Literatur Kekerasan Seksual Pada Anak Laki-Laki. Jurnal Sosio Informa, 8(2), 131–156.

Rahmawati, C. P., & Hertati, D. (2023). Collaborative Governance Dalam Penanganan Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kota Surabaya. Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial, 9(1), 1–10. https://doi.org/10.33506/jn.v8i2.2444

Sari, R., Nulhaqim, S. A., & Irfan, M. (2015). Pelecehan Seksual Terhadap Anak. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(1), 14–18. https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13230

Susilowati, E., & Ratnaningrum, S. (2023). PELAYANAN BAGI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Studi di DKI Jakarta). Pekerjaan Sosial, 22(2), 148–163. https://doi.org/10.31595/peksos.v22i2.1110

 Liputan6.com. (2022, Mei 12). Kasus kekerasan seksual di panti asuhan: Tantangan dalam perlindungan anak. Liputan6.com. Retrieved from https://www.liputan6.com

Detik.com. (2022, Januari 15). Pelecehan seksual terhadap remaja laki-laki di Solo: Fenomena yang jarang dibahas. Detik.com. Retrieved from https://www.detik.com

Kompas.id. (2022, Februari 3). Kekerasan seksual terhadap balita: Kasus tragis yang terjadi dalam keluarga. Kompas.id. Retrieved from https://www.kompas.id

Â