fbpx
Freepik/wirestock

Live in Desa: Minimalisir Alih Fungsi Lahan Produktif Lewat Wisata Berkelanjutan

Melandainya kasus covid-19 di Indonesia mulai dari akhir Juli lalu hingga saat ini, menjadi kabar baik sekaligus membawa udara segar bagi pelaku sektor pariwisata. Satu setengah tahun sudah para pelaku pariwisata terpukul dengan dampak pandemi virus yang muncul pertama di negeri Tiongkok ini. Lockdown atau pembatasan wilayah yang menjadi salah satu syarat percepatan pengentasan masalah pandemi ini memaksa kegiatan pariwisata lumpuh. Pada awal September lalu, pemerintah memutuskan untuk uji coba membuka beberapa tempat wisata di wilayah yang berstatus level 3, sedangkan di beberapa daerah lain tempat wisata sudah mulai beroperasi sebelumnya.

Pandemi covid-19 memang membuat aktivitas pariwisata terhambat, tetapi hal tersebut dapat dijadikan momen bagi pelaku usaha wisata untuk sejenak berhenti atau mundur sedikit demi bisa melaju lebih jauh untuk memajukan wisatanya menjadi pariwisata yang berkelanjutan dan inklusif. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Menteri Parekraf, yang berharap masa penutupan objek wisata saat pandemi dapat dijadikan waktu untuk evaluasi dan penataan ulang bisnis pariwisata termasuk mulai menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan.

Di masa pandemi ini, sebagai bentuk inisiatif pemerintah untuk kembali membangun sektor pariwisata, utamanya desa wisata, Kementerian Parekraf menyerahkan sertifikat desa wisata berkelanjutan kepada 16 desa. Penetapan wisata berkelanjutan tersebut berpedoman pada Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Dalam peraturan tersebut terdapat empat pilar yaitu pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, pemanfaatan ekonomi untuk masyarakat lokal, pelestarian budaya bagi masyarakat dan pengunjung, dan pelestarian lingkungan. Dari keempat bagian kriteria tersebut, kemudian diperinci kembali menjadi kriteria, indikator, dan bukti pendukung.

Tren Wisata Alam dan Alih Fungsi Lahan

Seiring pelonggaran masa pembatasan wilayah, aktivitas wisata mulai menggeliat. Saat ini, wisata alam menjadi yang sedang digandrungi. Hal tersebut sejalan dengan penuturan Koordinator Pemasaran Pariwisata Regional I Area I Kemenparekraf, Taufik Nurhidayat, yang menyatakan bahwa berlibur di alam menjadi tren wisata saat pandemi. Tren wisata alam tersebut diamini oleh jenis wisata di Indonesia yang didominasi oleh wisata alam dan budaya yaitu hingga 90%.

Wisata alam yang umumnya berada di desa menjadi potensi bagi penduduk desa yang ingin memajukan desanya melalui sektor pariwisata. Pembangunan objek wisata tersebut umumnya dilakukan dengan membuka lahan. Taman, gazebo, ataupun gardu pandang beserta infrastruktur pendukungnya seperti lahan parkir dibangun. Ketika objek wisata tersebut sudah mulai ramai, biasanya juga akan dibangun fasilitas akomodasi  seperti hotel untuk tempat menginap wisatawan. Pembangunannya pun biasanya juga dilakukan dengan alih fungsi lahan pertanian atau perkebunan.

Alih fungsi lahan pertanian, perkebunan, ataupun hutan untuk wisata memang dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat jika masyarakat banyak terlibat dalam kegiatan wisata tersebut. Namun, di sisi lain alih fungsi lahan tentu membawa konsekuensi negatif jika dilakukan secara signifikan terlebih pada lahan produktif. Pertama adalah keseimbangan alam di lingkungan tersebut yang akan terusik. Hewan-hewan dan tumbuhan akan kehilangan tempat tinggalnya, rantai makanan akan terganggu, dan dapat berujung pada munculnya hama yang berasal dari overpopulasi suatu hewan atau tumbuhan.  Selain itu, berkurangnya wilayah resapan air akibat pembangunan juga dapat berdampak pada bencana kekeringan, banjir, hingga tanah longsor. Kedua, terkait dengan mata pencaharian masyarakat desa. Alih fungsi lahan untuk wisata membuat petani kehilangan lahan garapannya dan cenderung akan bergantung pada sektor wisata. Lalu, ketika ada sauatu hal yang membuat wisata tersebut sepi pengunjung, saat pandemi misalnya, mereka akan kehilangan pendapatan dan di sisi lain mereka sulit untuk kembali bertani. Mereka akan mudah untuk kembali terperosok dalam jurang kemiskinan. Tentu saja hal ini dapat menodai prinsip wisata yang berkelanjutan dan inklusif.

Konsep wisata Live in

Konsep wisata live in dapat menjadi salah satu solusi yang dapat meminimalisir dampak negatif alih fungsi lahan. Wisata live in adalah konsep wisata yang memberikan pengalaman hidup sebagai warga lokal bagi pengunjung. Pengunjung diajak untuk melakukan bergbagai aktivitas warga daerah tersebut seperti bertani, bercocok tanam, membuat gerabah, ataupun membatik. Pengunjung juga tidak menginap di hotel atau bangunan yang dikhususkan untuk pengunjung menginap, tetapi pengunjung diberi kesempatan untuk menginap atau tinggal bersama warga desa di rumah-rumah mereka. Untuk kebutuhan kuliner, warga dapat menyuguhkan makanan khas daerah atau makanan sederhana yang biasa dikonsumsi masyarakat daerah tersebut. Selain itu, pengunjung juga berkesempatan berinteraksi dengan warga sekitar berikut alam dan budaya yang ada.

Dengan konsep wisata live in ini, selain kebutuhan lahan untuk objek wisata dan akomodasi akan berkurang, masyarakat juga akan lebih banyak ikut andil dan tentu akan bisa mendapat manfaat yang lebih banyak. Manfaat yang didapat bukan hanya terbatas manfaat dalam bentuk ekonomi. Namun, juga dapat berupa suatu hal yang intangible seperti ilmu yang didapat dari transfer of knowledge pengunjung yang banyak berinteraksi dengan penduduk desa. Tak hanya itu, wisata live in juga membuat budaya serta nilai-nilai masyarakat desa semakin banyak dikenal dan akan lebih lestari keberadaannya.

Tidak menampik jika live in juga memiliki dampak negatif ataupun kekurangan. Yang pertama adalah masuknya hal negatif yang bertentangan dengan budaya di desa tersebut dan akan mengikis nilai-nilai baik yang telah tertanam sebelumnya. Aturan desa yang berisi anjuran dan larangan bagi wisatawan dapat menjadi mitigasinya. Selain itu, sayangnya, wisata live in ini biasanya baru diminati oleh wisatawan yang berasal dari kota ataupun pelajar yang berwisata untuk mendapatkan pengetahuan. Dengan kata lain, wisata live in ini belum dapat menggaet seluruh lapisan masyarakat meskipun umumnya produk wisata live in ini dijual dengan harga terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah.

Saat ini, konsep live in sudah banyak digunakan oleh beberapa desa wisata  di Indonesia. Aktivitas atau kegiatannya umunya disesuaikan dengan ciri khas desa tersebut. Sebagai contoh adalah Desa Wisata Nglanggeran yang terkenal salah satunya sebagai daerah penghasil coklat. Dalam kegiatan live in, pengunjung tidak hanya disuguhi berbagai hidangan olahan cokelat, tetapi juga diajak memanen kakao dan mengolah dengan kearifan lokalnya. Hal tersebut tentu sejalan dengan konsep wisata yang berkelanjutan karena tidak hanya berfokus dengan ekonomi, produk wisata yang menjual. Akan tetapi, juga memperhatikan faktor sosial, budaya, juga lingkungannya.

Wisata Live in dan Pencapaian Tujuan SDGS

Berdasarkan data dari BPS oleh republic.co.id bulan September tahun 2020 tingkat kemiskinan di desa lebih besar daripada di kota yaitu sebesar 13,2% di desa dan 7,88% di desa. Meskipun peningkatan angka kemiskinan di desa saat pandemi covid-19 lebih rendah, tetapi indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan di desa lebih tinggi ketimbang di kota. Hal tersebuut mengindikasikan bahwa pengentasan kemiskinan di desa menjadi PR besar yang cukup berat bagi pemerintah. Adanya ketimpangan masalah kemiskinan antara masyarakat desa dan kota menunjukkan perlu adanya redistribusi pendapatan juga dari kota ke desa yang salah satunya dapat dilakukan dengan wisata live in di desa. Penduduk di kota akan membeli produk wisata seperti jasa akomodasi ataupun hasil industri kreatif pada penduduk desa secara langsung. Roda perekonomian di desa akan tergerakkan dan masalah kemiskinan di desa sedikit demi sedikit dapat dientaskan. Ketika kemiskinan dapat diatasi, masalah kelaparan pun akan menemukan jalan keluarnya. Oleh karena itu, konsep wisata live in di desa dapat mendukung pencapaian tujuan SDGs pertama yaitu penghapusan kemiskinan, kedua mengakhiri kelaparan, serta SDGs kesepuluh yaitu mengurangi ketimpangan, utamanya antara masyarakat desa dan kota.

Redistribusi pendapatan juga akan membuka peluang munculnya lowongan pekerjaan baru yang lebih layak bagi penduduk dalam usia produktif. Urbanisasi juga mungkin dapat sedikit tertahan dengan adanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata di desa. Dengan pekerjaan dan pendapatan layak, mereka dapat meningkatkan akses mereka terhadap kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh lagi, ketika yang diterapkan adalah konsep wisata live in di desa yang dapat meminimalisir alih fungsi lahan, lingkungan dan alam sekitar akan lebih terjaga dan lestari. Maka dari itu, tujuan SDGs ketiga, keempat, kedelapan juga yang kelima belas, dapat dicapai melalui kontribusi wisata berkelanjutan dengan konsep live in ini.

Pada akhirnya, berwisata merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk menjaga kesehatan jiwa raga. Bagaimana cara untuk berwisata, menikmati, dan mengambil pelajaran dari berwisata menjadi pilihan bagi wisatawan. Wisata live in hadir sebagai tambahan preferensi konsep wisata utamanya wisata berkelanjutan bagi pengunjung yang juga meminimalisir alih fungsi lahan. Maka dari itu, mari bijak dalam berwisata jangan sampai generasi mendatang hanya diwariskan foto terbaik saat vakansi di tempat wisata tanpa wujud nyata tempat wisatanya.

Sumber Referensi :