Alexander Bryan Mahasiswa Jurusan Food Business Technology, Universitas Prasetiya Mulya 0shares Agroforestri: Sistem Ketahanan Pangan terhadap Perubahan Iklim Read More Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menganggap perluasan kebun kelapa sawit sebagai langkah strategis, tanpa mempertimbangkan isu deforestasi, patut dipertanyakan. Gagasan bahwa kelapa sawit bisa menggantikan fungsi hutan dengan alasan sama-sama menyerap karbon dioksida adalah argumen yang keliru dan berisiko tinggi. Pendekatan ini mengabaikan kompleksitas ekosistem hutan serta perannya yang jauh lebih luas daripada sekadar penyerap karbon. Hutan dan Kelapa Sawit: Fungsi yang Berbeda Hutan adalah rumah bagi keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka seperti orangutan, harimau sumatra, dan berbagai flora endemik. Hutan tropis Indonesia juga berperan sebagai penyangga iklim global, pengatur siklus air, dan pelindung tanah dari erosi. Menggantikan hutan dengan kebun kelapa sawit adalah langkah mundur secara ekologis. Meskipun sawit memiliki daun dan menyerap karbon, ia tidak mampu menyediakan habitat yang sama atau menjaga keseimbangan lingkungan seperti yang dilakukan hutan. Mengabaikan fakta ini, seperti yang terlihat dari pernyataan Presiden, menunjukkan kurangnya pemahaman akan pentingnya ekosistem hutan. Ungkapan bahwa “kelapa sawit ya pohon” meremehkan kerusakan permanen yang terjadi ketika hutan ditebang dan digantikan oleh monokultur sawit. Padahal, ekspansi kebun kelapa sawit secara langsung berkontribusi pada hilangnya ekosistem hutan primer yang tak tergantikan. Dampak Ekologis dan Global Deforestasi untuk kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya jutaan hektare hutan Indonesia. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara lokal, tetapi juga global. Emisi karbon dari pembukaan lahan dan pengeringan lahan gambut turut memperparah perubahan iklim. Lahan monokultur sawit, dengan keanekaragaman hayati yang sangat rendah, tidak mampu mendukung regenerasi ekologis yang seimbang. Pernyataan Presiden ini juga kontraproduktif terhadap upaya Indonesia dalam merespons European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). EUDR menuntut transparansi rantai pasok dan mendorong negara produsen untuk menghentikan deforestasi. Dengan memperluas lahan sawit, Indonesia justru memberi amunisi bagi para pengkritik internasional. Kebijakan yang Lebih Bijak Alih-alih memperluas lahan kelapa sawit, ada beberapa langkah yang lebih strategis dan berkelanjutan yang bisa diambil: Moratorium Perluasan Sawit: Presiden Joko Widodo sebelumnya telah menerapkan moratorium sawit yang membatasi izin pembukaan lahan baru. Kebijakan ini perlu diperkuat dan diperluas untuk memastikan tidak ada hutan yang dikorbankan demi ekspansi sawit. Intensifikasi dan Produktivitas: Meningkatkan produktivitas di lahan sawit yang sudah ada adalah solusi yang lebih bijaksana. Dengan teknologi pertanian modern dan pelatihan bagi petani, hasil produksi bisa ditingkatkan tanpa perlu membuka lahan baru. Pemutakhiran Peta Batas: Memperbarui peta batas antara hutan dan lahan sawit adalah langkah penting untuk mencegah tumpang tindih lahan dan klaim ilegal. Peta yang akurat akan membantu penegakan hukum serta melindungi hutan dari eksploitasi. Diversifikasi Komoditas: Ketergantungan pada kelapa sawit bisa dikurangi dengan mendukung pengembangan komoditas lain yang lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Komitmen pada Sertifikasi Berkelanjutan: Memperluas sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) untuk memastikan produksi sawit yang bertanggung jawab. Penutup Perluasan kelapa sawit dengan mengorbankan hutan bukanlah solusi bagi tantangan ekonomi dan lingkungan Indonesia. Langkah ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga merusak reputasi negara di panggung internasional. Pemimpin negeri ini seharusnya tidak meremehkan isu deforestasi. Sebaliknya, mereka harus menunjukkan komitmen nyata untuk melindungi hutan tropis Indonesia, aset tak ternilai yang kita warisi dan wajib dijaga untuk generasi mendatang.