fbpx
Antara

Kampus Inklusif: Ruang Publik Ramah Disabilitas Berawal dari Sini

Pembaca mungkin ingat, bahwa pada gelaran Paris Fashion Week 2022 lalu, dunia media sosial dihebohkan dengan pembicaraan local brand yang mampu mengikuti ajang bergensi itu. Salah satu dari brand itu adalah Sean Sheila. Untuk diketahui, bahwa Sean Sheila dikenal dengan julukan the disabled garment company. Sejak berdiri pada 2014, brand ini selalu mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam perjalanan produknya. Salah satu modelnya adalah Angkie. Seorang penyandang disabilitas yang menjadi staf khusus presiden dan aktif menyuarakan terwujudnya kesempatan dan ruang aman bagi penyandang disabilitas. Namun nyatanya di sekitar kita, apakah penyandang disabilitas cukup dapat beraktivitas dengan layak dan dipandang dengan tatapan yang wajar dari orang-orang sekelilingnya? Tidak.

Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di dalam publikasinya yang berjudul “Good Practices of Accessible Urban Development” mengungkap bahwa penyandang disabilitas diperkirakan akan mencapai 940 juta orang, atau 15% dari sekitar 6,25 miliar total penduduk perkotaan pada 2050. Menyoroti pengalaman utama dan pelajaran dari 24 studi kasus, publikasi ini berkontribusi pada wacana yang sedang berlangsung seputar pembangunan perkotaan yang inklusif untuk semua. PBB juga telah menetapkan Hari Disabilitas Internasional setiap tanggal 3 Desember sejak tahun 1992. Ini betujuan untuk memobilisasi dukungan untuk isu-isu kritis yang berkaitan dengan para penyandang disabilitas dan meningkatkan kesadaran tentang isu disabilitas.

Sayangnya, sependek yang Saya tahu, disabilitas yang bicarakan saat ini baru sekedar disabilitas fisik semata. Sehingga akses bagi disabilitas difokuskan pada fasilitas umum yang ramah bagi kursi roda, lift, dan toilet. Bahkan terkesan ‘sekedar biar ada’ seperti pembangunan guiding block yang tengah berlangsung di kota Saya. Sementara itu, bagi para penyandang disabilitas belajar atau mereka yang memiliki spektrum autis belum banyak terfasilitasi.

Menurut Saya ini karena memang perencanaan pembangunan belum mengarusutamakan isu keberlanjutan. Sehingga program-program pembangunan berjalan tanpa memandang penting adanya akses bagi penyandang disabilitas di ruang publik. Artinya, yang perlu diubah pertama kali adalah pola pikir yang memandang bahwa penyandang disabilitas itu ada dan perlu diakomodasi juga kepentingannya.

Pola pikir penyelenggara negara hingga ke daerah-daerah ini dibentuk sejak di dalam keluarga dan diperkuat di institusi pendidikan. Setidaknya, seseorang akan berada di institusi pendidikan selama sembilan sampai tiga belas tahun. Selama itu pula, kesempatan untuk pembentukan karakter dengan fokus-fokus isu keberlanjutan penting untuk diberikan.

Negara sebenarnya sudah menjamin adanya hak penyandang disabilitas Pasal 31 UUD 1945, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2022 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga sebenarnya telah disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Artinya, jauh sebelum adanya deklarasi SDGs untuk mewujudkan dunia yang inklusif dan tidak ada seorang pun yang tertinggal, Indonesia sudah peduli dengan hal itu.

Secara teknis, aturan itu diperinci dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Urgensi Penyediaan Fasilitas Kampus yang Inklusif

Penyediaan fasilitas kampus yang inklusif tidak dapat ditunda lagi. Meski pun pada kenyataannya, dalam penyediaan kampus yang inklusif pasti terdapat tantangan. Terberat adalah terkait stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas kerap dikaitkan dengan masa depan yang suram, dunia yang inferior, dan bahkan menjadi aib keluarga. Itu sebabnya penyandang disabilitas masih jarang mendapat prioritas pendidikan yang memadai. Terlebih jika alasannya adalah sekolah-sekolah bagi penyandang disabilitas sulit diakses masyarakat kalangan ekonomi menengah kebawah.

Sementara kita tahu bahwa penyandang disabilitas juga merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang setara. Mereka berhak dan wajib dihormati, dilindungi, dan mengakses fasilitas dari negara, termasuk pendidikan yang layak.

Kondisi ini didukung dengan kebijakan yang belum mengarusutamakan inklusifitas dalam penyediaan fasilitas umum. Sehingga pemenuhan fasilitas dan para pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan sangat tidak siap untuk menerima penyandang disabilitas sebagai peserta didik mereka.

Sebagai tempat belajar manusia dewasa, kampus harus mampu melayani ragam disabilitas  mahasiswa seperti tuli, penyandang disabilitas wicara, penyandang disabilitas daksa, penyandang disabilitas netra, penyandang disabilitas mental dan psikososial, penyandang disabilitas intelektual. Mereka dapat mengikuti proses belajar dengan pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan. Guiding block adalah fasilitas utama yang kerap dianggap sepele. Selain itu juga perlu disediakan lift, toilet disabilitas, sampai fasilitas non fisik seperti pendampung, konsultasi, bahasa isyarat, buku digital. Tak kalah penting adalah bagaimana kampus dapat menyediakan tenaga pendidik dan non pendidik yang mampu melayani seluruh mahasiswa dan masyarakat secara inklusif.

Kampus memang hanyalah bagian dari proses pendidikan di masyarakat. Namun, penyediaan fasilitas umum yang inklusif tidak hanya penting untuk pengembangan kampus berkelanjutan, tapi juga penting bagi pengembangan area yang lebih luas lagi. Cikal bakal generasi pengelola suatu kota bahkan negara lahir dari kampus. Inovasi-inovasi pemecah masalah di muka bumi, juga muncul dari kampus. Pelibatan kampus dalam pengelolaan negara juga tidak dapat dielakkan lagi. Oleh karena itu, ideologi yang tumbuh dan berakar di dalam kampus haruslah benar-benar mengarusutamakan isu-isu keberlanjutan.

Untuk itu, UI Greeenmetric yang semua fokus pada pemeringkatan kampus berkelanjutan melalui World University Ranking-nya, saat ini sudah berinovasi dengan melakukan penilaian Kota/Kabupaten berkelanjutan di Indonesia melalui UI GreenCityMetric. Jika pada pemeringkatan kampus UI GreenMetric berlandaskan pilar equity, economy, dan environment, tapi untuk pemeringkatan kota/kabupaten pertama di Indonesia ini dilandasi atas tiga pilar yakni environment, economy, dan social yang kerap juga disebut sebagai triple bottom line. Dengan demikian, isu keberlanjutan dapat menjadi isu nyata yang dapat mulai dibicarakan dan diperhatikan oleh pemerintah daerah dan pusat di Indonesia.

Kampus yang berpartisipasi dalam UI GreenMetric World University Rangking bisa mendapatkan pengakuan secara internasional bahwa kampus tersebut peduli dengan isu-isu keberlanjutan, perubahan dan aksi sosial, dan juga berjejaring dengan kampus-kampus di seluruh dunia dengan pandangan yang sama. Partisipasi ini dapat membantu meningkatkan kesadaran di universitas dan sekitarnya tentang pentingnya isu keberlanjutan. Kita menyadari bahwa pendidikan tinggi memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan dunia global. Bagaimana menyiapkan generasi diantara dinamika populasi, pemanasan global, eksploitasi sumberdaya alam, energi kotor, air dan sanitasi yang tidak layak, kekurangan pangan, dan sebagainya.

Tak sekedar menilai bagaimana kampus dapat mewujudkan bangunan hijau, dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan kuesioner UI GreenMetric juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur, memonitor dan mengevaluasi rencana strategis keberlanjutan suatu kampus. Di dalam salah satu kriterianya, UI GreenMetric memasukkan indikator ketersediaan fasilitas kampus untuk penyandang disabilitas, orang berkebutuhan khusus, maternity care, dan juga penyediaan jalur pedestrian yang aman, nyaman, dan ramah disabilitas.

Faktanya belum banyak kampus yang telah memiliki semacam Unit Layanan Difabel. Misalnya seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Semarang, dan beberapa kampus lainnya. Pembentukan unit ini untuk memenuhi amanat Undang-undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Bahkan sejak tahun 2022 lalu, Universitas Sebelas Maret (UNS) telah meluncurkan UNS Inclusion Metric untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan terhadap penyandang disabilitas di tingkat internasional. Harapannya tentu dengan adanya pemeringkatan kampus inklusif akan mendorong perhatian pengelola kampus untuk dapat memberikan kesempatan untuk melayani mahasiswa dan pegawai disabilitas.

UI GreenMetric dan UNS Inclusion Metric sepertihalnya THE impact ranking perlu didukung untuk dapat menjadi indikator penilaian kinerja perguruan tinggi yang peduli dengan isu-isu keberlanjutan. Bagaimana mewujudkan dunia yang inklusif secara ekonomi dan sosial diwujudkan mulai dari kampus. Tempat dimana generasi muda ditempa, juga kontribusi akademisi melalui inovasi-inovasi teknologi dan pengabdian masyarakat menjadi pusat perubahan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Perangkingan itu memang hanya tools. Namun disadari atau tidak, dengan fokus pada indikator-indikator pada penilaian kampus berkelanjutan dapat meningkatkan kesadaran pengelola kampus untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan, penelitian berkelanjutan, penyediaan ruang terbuka hijau, dan bagaimana mewujudkan keadilan sosial dengan tidak ada satu orang pun yang tertinggal (no one left behind). Perangkingan itu akan mendorong pengelola kampus untuk mengarusutakan isu-isu keberlanjutan termasuk penyediaan akses yang sama bagi penyandang disabilitas. Kampuslah yang semestinya memunculkan urgensi penyediaan fasilitas di Ruang publik yang Ramah disabilities. Kampuslah yang kelak melahirkan generasi-generasi yang peduli bahwa di dunia ini tidak boleh lagi ada kesenjangan, apalagi di dunia pendidikan.