Dwi Handriyani 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More “Aduh, tadi supir bis dari Tasik ke sini (Jakarta) ngomel-ngomel karena merasa diribetin diminta tolong ambilin kursi roda di bagasi dan bantuin saya turun dari bis,” keluh kakek Yosi terdengar di telingaku, ketika tengah berjemur diri dan berbicara dengan kakek Opan. Kedua lansia tetangga depan dan sampingku memang sedang asyik berbincang santai. Kedatangan kakek Yosi dari kampungnya di Tasik, ingin menengok rumah di Jakarta yang sudah lama tidak terisi untuk disewakan. “Yah, mau gimana. Namanya juga sudah tua, mana abis stroke,” ujar kakek Yosi kepada kakek Opan. “Ya udah disabarin ajah ya,” balas kakek Opan. Saya tertegun mendengarnya. Luar biasa ya kakek Yosi dengan segala keterbatasan dirinya bisa pergi ke Jakarta sendirian saja. Namun, kondisi yang berbeda pernah saya temui sewaktu menggunakan kereta api listrik (KRL) di stasiun Bogor. Pemandangan yang membuat hati tenteram tatkala melihat petugas keamanan di stasiun Bogor menawarkan seorang lansia yang tengah berjalan dengan tongkat, sekaligus mendorong kursi rodanya. “Masya Allah. Semoga Allah SWT memberkahi dan memberikan kecukupan rizki bagi mas itu ,” doaku di dalam hati sembari bertanya kepada diri sendiri ‘Bisakah saya menjadi pelayan publik yang bekerja dari hati, bukan sekedar sistem prosedur operasional (SPO)?’. Melayani Sepenuh Hati tanpa Kamuflase Lansia memasuki toko. Sumber: Pexels.com, Caroline Cagnin Sebagai pegawai yang bertugas melayani masyarakat, pelayanan publik yang sedang dijalani sekira semata-mata bukanlah sekedar rutinitas berdasarkan SPO, namun juga bagaimana membangun harmonisasi dinamika hubungan di antara sesama manusia. Kewajiban yang telah gugur karena beban pekerjaan, hakikatnya hati seorang pelayan publik perlu diketuk untuk menghadirkan keikhlasan dan kepedulian di dalamnya. Konteks pelayanan prima tidak hanya sebuah konsep saja, tetapi juga kiprah pelayanan publik yang bisa memuaskan masyarakat. “Pelanggan adalah Raja”, ungkapan yang bukan sekedar basa-basi dan perlu direalisasikan ini dengan tindakan untuk memberikan yang terbaik kepada publik terhadap apa yang mereka harapkan dan butuhkan. Ujung-ujungnya adalah implementasi budaya pelayanan prima dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat sebagai pelanggan. Boleh jadi itulah mengapa pada tanggal 27 Juli 2021 Presiden Joko Widodo meluncurkan core values (nilai-nilai dasar) aparatur sipil negara (ASN) BerAKHLAK dan employer branding ASN “Bangga Melayani Bangsa”. Core values ini pula yang mendasari pelaksanaan pelayanan prima yang dijalankan oleh BUMN/BUMD di negara tercinta ini. Apa saja yang termasuk nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK itu? Dilansir dari website menpan.go.id bahwa BerAKHLAK merupakan akronim dari nilai-nilai: Berorientasi Pelayanan, yaitu komitmen memberikan pelayanan prima demi kepuasan masyarakat; Akuntabel, yaitu bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan; Kompeten, yaitu terus belajar dan mengembangkan kapabilitas; Harmonis, yaitu saling peduli dan menghargai perbedaan; Loyal, yaitu berdedikasi dan mengutamakan kepentingan Bangsa dan Negara; Adaptif, yaitu terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan serta menghadapi perubahan; Kolaboratif, yaitu membangun kerja sama yang sinergis Dengan demikian, sekumpulan nilai-nilai di atas merupakan pondasi bagaimana ASN maupun pegawai BUMN/BUMD sebagai roda penggerak pelayanan publik di nusantara bangga untuk melayani bangsa dan negara. Sosialisasi core values itupun terus disuarakan oleh pemerintah.  Akan tetapi, di dalam pelayanan publik ada sejumlah orang yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena kerentanan dan keterbatasan fisik. Sebut saja lansia, anak-anak, ibu hamil, dan para penyandang disabilitas. Dan, para elemen fundamental public service di NKRI ini juga terus berupaya menyediakan fasilitas umum yang ramah anak, ramah disabilitas. Hal itu tampak di antara tempat-tempat publik telah disediakan ruangan khusus untuk kenyamanan dan kemudahan para kelompok rentan dan disabiltas. Contohnya bangku prioritas di bis Transjakarta, keberadaan escalator dan elevator di RS, stasiun, terminal bis, pelabuhan, bandara, serta bangku prioritas di ruang tunggunya. Slowly but surely, perlahan namun pasti itulah wajah dari penerapan ruang publik yang ramah anak, ramah disabilitas di Indonesia. Dimana pemerintah terus menggenjot untuk melaksanakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Adapun para penyelenggara negara juga harus terus menanamkan pada diri sendiri nilai-nilai “BerAKHLAK” di dalam melayani masyarakat. Jangan ada lagi kisah “Kakek Yosi” terus-menerus berulang terjadi di sekitar kita. Tidak ada lagi membeda-bedakan pelayanan yang menjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Semua berhak mendapatkan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif, khususnya bagi kelompok rentan dan disabilitas.  “5 S: Senyum, Sapa, Salam, Sopan, dan Santun”, menjadi wajah ramah di dalam menginternalisasi pelayan publik yang “BerAKHLAK”. 5S yang bisa diterapkan secara sederhana dengan 3M yang biasa disebut-sebut AA Gym, sang penceramah kondang dari Bandung. “3M: Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal terkecil, dan Mulai saat ini” yang bisa diterapkan di setiap pegawai di lingkungan kementerian/lembaga maupun BUMN/BUMD ketika menjalani tugas dan peranannya. Bukan sekedar menghapal apa itu “BerAKHLAK”, tetapi juga berupaya mengimplementasikan di dalam perilaku sehari-sehari. ASN BerAKHLAK. Sumber: Kementerian PAN dan RB