fbpx
Freepik/hendywilliamsino

HARUS KEMANA PEREMPUAN MENCARI TEMPAT BERLINDUNG?

“Kekerasan terhadap perempuan bukanlah budaya, itu kriminal. Kesetaraan tidak bisa datang pada akhirnya, itu adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan saat ini” – Samantha Power

Menjadi wanita memang bukanlah hal yang mudah. Wanita seringkali dianggap remeh oleh kaum laki-laki dengan embel-embel “kaum lemah”. Selama ini stigma bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan sudah menyebar luas di masyarakat. Alhasil, keberadaan stigma tersebut menyebabkan banyak terjadinya kasus kepada pihak perempuan. Pada kesempatan ini, akan ada banyak pengalaman yang ingin saya tuangkan kepada para membaca terkait pelecehan dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Disini cerita ini dimulai.

Masa Sekolah Dasar (SD) merupakan fase awal menuju dewasa dimana saya selalu ingin tau hal-hal baru. Kala itu saya berusia 8 tahun dan menduduki bangku kelas 2 SD. Saya sendiri merupakan tipikal pribadi yang suka bermian bersama teman-teman. Pada saat itu, perbedaan usia dan gender tidak membatasi saya dan teman-teman untuk bermain. Bahkan banyak dari teman-teman saya yang usianya lebih tua dibandingkan saya, sebagian besar dari mereka sedang duduk di bangku kelas 6 SD.

Sekitar 12 tahun yang lalu, terdapat lahan kosong di sebelah rumah saya dimana lahan tersebut biasa digunakan anak-anak seusia saya bermain layang-layang, sepak bola, petak umpet, dan hal-hal kecil lainnya. Di tempat itulah saya bermain dan mengukir banyak pengalaman masa kecil bersama teman-teman.

Adapun salah satu teman saya, seorang anak laki-laki sebut saja X. Ia merupakan tetangga sekaligus kakak kelas saya di bangku Sekolah Dasar. Terdapat sebuah cerita yang hingga kini masih melekat pada ingatan saya. Suatu siang sekitar jam 2, saya pergi ke lahan kosong tersebut untuk bertemu dengan teman-teman. Sesampainya disana, saya tidak menemukan siapa-siapa melainkan si X. Disana, X menawariku permainan yang sedang populer pada zamannya. Tidak cukup sampai disitu, dia memberikan syarat kepada saya bahwa untuk mengikuti permainan tersebut maka saya harus memenuhi permintaannya. Syarat yang diberikan X ialah saya harus duduk di pangkuannya. Pada saat itu saya hanyalah seorang anak kecil yang lugu dan polos serta belum dibekali pengetahuan tentang proteksi diri seorang wanita oleh orang tua saya. Tidak lama kemudian, maka saya menyetujui permintaannya dan duduklah saya dipangkuannya.

Sejak kejadian tersebut, rasa takut dan trauma bercampur aduk setiap kali saya bertemu dengan X. Namun saya tidak tahu mengapa rasa takut tersebut selalu muncul. Hingga akhirnya pada usia 19 saya tersadar bahwa perilaku tersebut merupakan bentuk pelecehan seksual. Sampai detik ini, saya masih menyimpan cerita itu rapat-rapat. Saya tidak menceritakan kejadian ini kepada siapapun sekalipun lingkungan terdekat saya, yakni keluarga. Mungkin jika saya bercerita ke ibu, sudah pasti beliau bilang “Itu kejadian lama, biarkan saja. Lain kali jangan sampai terulang lagi”. Itulah alasan mengapa saya menyimpan pengalaman ini rapat-rapat. Hingga akhirnya, kini saya memberanikan diri untuk menceritakan pengalaman tersebut melalui tulisan ini.

Sudah bertahun-tahun saya tenggelam dalam rasa ketakutan pasca kejadian tersebut. Cerita kelam sudah berlalu. Kini saya sudah beranjak SMA, masa-masa dimana remaja dituntut untuk mengetahui hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Pada saat penjurusan, saya masuk jurusan IPA dengan notabene kelas unggulan. Kelas yang terdiri dari anak-anak cerdas, bukan sekadar hasil nilai rapor namun bisa dibuktikan dengan kecepatan menjawab soal matematika, kimia, dan fisika yang sulit dengan waktu singkat. Saya pribadi bukanlah kategori siswa seperti itu, namun saya selalu berusaha untuk bisa mengimbangi mereka. Salah satunya adalah dengan cara meminta bantuan akan pemahaman materi kepada salah seorang teman. Sebut saja namanya Yani, seorang teman yang saya percaya untuk membantu saya dalam mengerjakan soal dan memahami materi baru.

Yani merupakan anak yang pintar. Setiap hari ia selalu diantarkan oleh ibunya ke sekolah dengan berjalan kaki karena jarak dari sekolah ke rumahnya cukup dekat. Saat itu saya dapat menyimpulkan bahwa keluarga Yani merupakan keluarga yang harmonis. Terlihat dari kasih sayang seorang ibu, sampai ia harus mengantarkan Yani berjalan kaki ke sekolah setiap hari.

Suatu hari, saya dan Yani mengikuti olimpiade kimia yang diselenggarakan di salah satu kampus. Lalu, Yani menawari saya untuk menginap di rumahnya dan saya terima tawaran tersebut. Semenjak orang tuanya bercerai, ayah Yani sudah tidak tinggal bersama di rumahnya sehingga Yani hanya tinggal bertiga yaitu bersama ibu dan pamannya. Paman Yani sendiri memiliki sifat temperamental dan keterbelakangan mental sehingga sangat mudah emosi. Awal saya menginap disana, tidak ada masalah yang berarti. Sesaat ketika saya dan Yani akan berangkat ke olimpiade, Paman Yani sedang berada diluar rumah sehingga saya dan Yani  hanya pamit dengan ibunya saja. Hingga olimpiade selesai, pulanglah saya dan Yani ke rumahnya. Sesampainya kami di rumah, Paman Yani marah kepada Ibu Yani dengan alasan kami tidak pamit kepada Paman Yani sebelum berangkat ke olimpiade. Dengan nada tinggi, Paman Yani membentak dan membanting gelas-gelas yang ada di hadapannya.

Melihat kejadian tersebut dengan mata saya sendiri, saya cukup terkejut dan ketakutan. Saat itu keadaan di sekitar rumah sedang sepi dan saya takut akan terjadi hal-hal buruk yang menimpa saya, Yani, dan Ibunya. Apalagi kami bertiga adalah seorang perempuan yang tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu. Di suatu titik, paman Yani kehilangan emosinya dan terjadilah hal yang kami takut-takutkan. Sontak, Paman Yani memukul kepala Ibu Yani. Kami semua ketakutan dan rasanya ingin sekali pergi dari rumah tersebut. Saya bergegas membawa tas bersama Yani dan Ibunya untuk segera mencari tempat yang aman dari kejadian yang baru saja terjadi. Kami melaporkan kejadian tersebut kepada RT setempat, namun tidak ada respon untuk menanganinya karena Paman Yani ini sudah dikenal seperti itu di lingkungan perumahannya.

Lantas bagaimana kondisi Yani dan Ibunya yang terperangkap dalam ruangan yang tidak memiliki udara agar dapat bernapas dengan lega. Yani dan ibunya terpaksa harus tinggal dengan Paman Yani karena tidak memiliki pilihan lain untuk lepas dari kondisi ini. Ingin melapor saja tetap tidak membuahkan jalan keluar. Seakan-akan hal tersebut sudah dinormalisasi oleh masyarakat setempat hanya karena mereka tidak ingin ikut campur dan menghindari hal-hal yang akan terjadi diluar dugaan mereka. Lantas dimana kaum perempuan mencari tempat berlindung? Apakah ada tempat berlindung bagi kami?

Masyarakat seharusnya lebih aware terhadap kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Payung hukum harus dibuat dan ditegakkan kepada kaum kami. Tidak ada tindakan lebih lanjut dari laporan kekerasan yang terjadi, melainkan hanya sebuah respon yang acuh dengan dalil diselesaikan secara kekeluargaan saja. Lantas kami harus bagaimana? Ingin rasanya melarikan diri namun saya sadar, kita sebagai kaum perempuan dan generasi muda harus menegakkan keadilan terhadap kesetaraan gender.

Tidak ada lagi stigma yang berkembang di lingkungan masyarakat tentang “perempuan dirumah saja, mengurus anak”, “kaum laki-laki lebih kuat daripada kaum perempuan”, serta “perempuan seharusnya nurut saja dengan laki-laki”. Mari kita hilangkan pemikiran kuno tersebut. Ciptakanlah ruang yang aman bagi kaum perempuan agar bisa bebas merasakan keindahan dunia ini tanpa merasakan kekerasan dari kaum laki-laki. Kami hanyalah sebatas korban yang hanya bisa menuntut keadilan. Untuk para orang tua, didiklah anak laki-laki kalian akan pentingnnya kesetaraan gender. Hal tersebut harus ditanamkan sejak dini guna menghindari kekerasan yang selama ini telah terjadi. Mari bersama-sama kita tegakkan kesetaraan gender. Indonesia bisa!

#IndonesiaBisa #CiptakanRuangAmanPerempuan #PerempuanBisa