fbpx
Shutterstock/kram-9

Generasi Muda Indonesia, Generasi Restorasi

Bulan Juni lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah secara resmi menetapkan dekade kedua abad ke-21 (tahun 2021-2030) sebagai Dekade PBB untuk Restorasi Ekosistem. Berdasarkan literatur dan pandangan berbagai ahli, sepuluh tahun ke depan merupakan periode kunci untuk mencegah bencana akibat krisis iklim. Dalam konteks tersebut, mengembalikan ekosistem yang terdegradasi, baik di darat maupun di laut, serta memelihara keanekaragaman hayati sangat krusial.

Restorasi Ekosistem juga terkait erat dengan berbagai tujuan yang termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya Tujuan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), Tujuan 14 (Menjaga Ekosistem Laut), dan Tujuan 15 (Menjaga Ekosistem Darat). Dalam kaitannya dengan Tujuan 15, restorasi hutan dan bentang lahan (forest and landscape restoration) terus mendapatkan perhatian beberapa tahun terakhir ini.

Restorasi hutan dan bentang lahan merupakan upaya untuk memulihkan fungsi ekologis di area yang telah terdegradasi dan terdeforestasi, serta pada saat yang bersamaan meningkatkan penghidupan masyarakat. Ini berarti bahwa restorasi, bila berhasil, memiliki dampak ekonomi dan sosial yang juga besar.  Tak heran, tahun 2020 International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) mengeluarkan sebuah laporan bertajuk “Forest landscape restoration pathways for achieving the SDGs”. Laporan tersebut secara gamblang menyebutkan bahwa pencapaian SDGs hanya akan terlaksana melalui restorasi sebagai sebuah elemen kunci.

Peran Indonesia dalam restorasi hutan dan bentang lahan

Indonesia dapat memainkan peran krusial dalam upaya restorasi hutan dan bentang lahan di tingkat global. Sebagai salah satu negara dengan luasan hutan hujan tropis terbesar, termasuk di dalamnya ekosistem gambut dan mangrove, alam Indonesia menyimpan karbon yang amat besar jumlahnya. Deforestasi dan degradasi melepaskan karbon tersebut ke atmosfer dan menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dunia, misalnya ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi secara masif. Sebaliknya, ketika restorasi dan berbagai solusi berbasis alam (nature-based solutions) ditempuh, karbon di atmosfer dapat disekuestrasi. Pada saat yang bersamaan, berbagai bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang, longsor, dan kekeringan yang kerap menimpa beberapa daerah di Indonesia dapat berkurang.

Beberapa tahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya banyak berfokus pada upaya restorasi dan rehabilitasi hutan. Laporan Pembangunan Rendah Karbon yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan telah diarusutamakan dalam rencana pembangunan nasional telah juga menegaskan pentingnya restorasi bagi Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah mendirikan Badan Restorasi Gambut pada tahun 2016. Di akhir tahun 2020, mandat badan tersebut diperluas dan diganti namanya menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Pemerintah juga mencanangkan program penanaman 100 juta rumpun bambu di berbagai daerah aliran sungai. Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional akibat Covid-19, Pemerintah juga menggelar program padat karya rehabilitasi mangrove dan restorasi gambut dengan melibatkan masyarakat.

Berbagai langkah positif tersebut perlu diapresiasi sekaligus diperkuat. Meskipun laju deforestasi Indonesia telah menurun beberapa tahun terakhir ini, lahan yang terlanjur rusak perlu segera direstorasi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 mencatat masih terdapat lahan kritis dan sangat kritis seluas 14,01 juta hektare.

Peran generasi muda Indonesia

Terobosan dapat dilakukan guna mengakselerasi restorasi hutan dan bentang lahan di Indonesia, dengan menempatkan generasi muda sebagai pemain kunci. Statistik tahun 2020 menunjukkan bahwa lebih dari 63 juta penduduk Indonesia (sekitar seperempat dari total populasi) adalah generasi muda di bawah usia 30 tahun. Generasi muda Indonesia adalah agen perubahan yang dapat dimobilisasi untuk membantu pencapaian SDGs, termasuk di dalamnya restorasi ekosistem dan lebih spesifik lagi restorasi hutan dan bentang lahan.

Meningkatnya peran generasi muda beberapa tahun terakhir ini dalam advokasi untuk krisis iklim pada tingkat global menjadi indikator bahwa generasi muda layak diperhitungkan. Melalui berbagai bentuk aktivisme, generasi muda dengan gamblang menunjukkan bahwa kepentingan generasi mendatang sama pentingnya dengan generasi yang hidup sekarang ini. Media sosial juga telah membuat generasi muda cukup efektif membawa perubahan dan mengusulkan berbagai solusi inovatif terkait pembangunan berkelanjutan. Ini berarti, ketika generasi muda diperkuat dengan keterampilan dan diberikan kesempatan, dampak yang mereka hasilkan untuk keberhasilan pencapaian SDGs lewat restorasi hutan dan bentang lahan dapat berlipat ganda besarnya.

Seperti banyak inisiatif lainnya, restorasi hutan dan bentang lahan perlu memiliki perencanaan matang, implementasi efektif, serta pemantauan yang kompeten. Dalam konteks restorasi, ketiga hal ini menjadi amat penting karena restorasi ekosistem daratan sesungguhnya cukup kompleks dan memiliki banyak wujud. Restorasi bukan hanya berarti penanaman pohon. Restorasi misalnya mencakup regenerasi alami, regenerasi alami dengan bantuan (assisted natural regeneration), reklamasi lahan bekas tambang, penanaman secara tumpangsari atau agroforestri, dan lain sebagainya. Generasi muda dapat berperan dalam ketiga tahapan serta kesemua wujud restorasi tersebut.

Pada tataran perencanaan, baru-baru ini terdapat sebuah inisiatif dengan fokus pada keterlibatan generasi muda dalam kampanye sains khalayak (citizen science) untuk memverifikasi data lahan terdegradasi. Melalui inisiatif bernama Urundata tersebut, diharapkan perencanaan lahan untuk direstorasi akan semakin akurat. Selain itu, inisiatif Urundata juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran generasi muda akan pentingnya merestorasi hutan Indonesia.

Dikutip dari laman web inisiatif tersebut (urundata.id), hingga tengah tahun 2021 telah terdapat lebih dari 1000 orang kontributor, yang sebagian besar didominasi oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Mahasiswa-mahasiswa tersebut menggunakan aplikasi permainan Urundata yang diunduh di gawai mereka. Melalui aplikasi tersebut, mereka dapat berkompetisi untuk mengidentifikasi citra satelit tutupan lahan yang dimunculkan saat mereka bermain. Mereka juga bisa membandingkan citra di lokasi sama untuk tahun yang berbeda. Terdapat hadiah bagi pengguna aplikasi yang meraih skor tinggi. Dengan bantuan para mahasiswa, para ilmuwan penggagas Urundata dapat lebih cepat mengklasifikasi dan memvalidasi peta lahan terdegradasi di Indonesia. Kampanye ini awalnya dilakukan untuk membantu memvalidasi tutupan lahan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, namun kini telah juga mencakup data tutupan lahan dari seantero Indonesia.

Kampanye lain yang dilakukan oleh tim Urundata ialah meminta pengguna aplikasi permainan untuk datang ke lokasi tertentu, dimana mereka kemudian dapat memberikan informasi terkait tutupan lahan dan indikasi degradasi lahan di lokasi tersebut, juga lewat aplikasi yang sama. Dengan menggunakan metode tersebut, data lapangan yang lebih lengkap mengenai area yang perlu direstorasi dapat diperoleh. Penggunaan aplikasi Urundata ini menjadi bukti nyata bahwa generasi muda Indonesia bisa berperan dalam perencanaan restorasi Indonesia, misalnya dengan memanfaatkan teknologi.

Pada tataran implementasi, peran generasi muda sudah sangat jelas. Tidak terhitung banyaknya kelompok maupun lembaga swadaya masyarakat beranggotakan anak-anak muda yang aktif dalam gerakan penanaman pohon di berbagai tempat di Indonesia. Kegiatan penanaman pohon sering diinisiasi tidak hanya pihak sekolah dan kampus, tetapi juga oleh para pelajar dan mahasiswa itu sendiri. Ini sejalan juga dengan kampanye Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan supaya setiap orang menanam paling tidak 25 pohon sepanjang hidup, yakni 5 pohon saat SD, 5 pohon saat SMP, 5 pohon ketika SMA, 5 pohon saat kuliah, dan 5 pohon saat dewasa.

Kegiatan penanaman pohon oleh generasi muda ini perlu ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dua puluh lima pohon mungkin tidak mencukupi, apalagi bila kita menghitung jejak karbon yang dihasilkan dari aktifitas sehari-hari. Penanaman pohon bisa menjadi cara bagi untuk “melunasi” emisi karbon (carbon offset). Alangkah baiknya jika sedari kecil, generasi muda sudah mendapatkan pengetahuan bagaimana mengkalkulasi jejak karbon di tingkat rumah tangga maupun individual. Pengetahuan tersebut menjadi dasar untuk memilih gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, termasuk dengan menanam pohon untuk carbon offset.

Dari segi kualitas, penanaman pohon tentu perlu mempertimbangkan potensi tingkat keberhasilan. Tidak semua pohon yang ditanam akan tumbuh hingga dewasa disebabkan berbagai faktor teknis maupun nonteknis. Inilah mengapa perencanaan menjadi penting. Apakah penanaman pohon secara aktif adalah metode yang paling tepat untuk lokasi tersebut? Spesies-spesies apa yang paling tepat ditanam di lokasi tersebut? Darimana bibitnya diperoleh? Bagaimana kualitasnya? Bagaimana masyarakat lokal dapat dilibatkan supaya manfaat ekonomi dan sosialnya terasa? Apakah ada rencana penyulaman untuk menggantikan tanaman yang rusak? Sumber daya apa saja yang diperlukan untuk kegiatan sesudah penanaman? Generasi muda perlu mempertimbangkan berbagai pertanyaaan tersebut untuk memastikan efektifitas penanaman pohon yang dilakukan.

Terakhir, terkait dengan pemantauan. Alangkah baiknya sekiranya pohon yang ditanam di area restorasi terinventarisir dengan baik, misalnya dengan menggunakan geotagging, drone, dan teknologi lainnya. Generasi muda biasanya cukup akrab dengan teknologi semacam ini. Data-data tersebut dapat dikumpulkan dalam suatu basis data yang memudahkan pemantauan. Penanam dan pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengecek perkembangan pascatanam dan menyediakan dukungan lanjutan sekiranya diperlukan.

Inisiatif semacam ini sudah ada, misalnya seperti yang sempat dilakukan oleh WWF Indonesia melalui program NEWtrees. Akan tetapi, inisiatif tersebut perlu diperluas dengan mengintegrasikan berbagai basis data yang ada ke dalam suatu sistem pemantauan nasional yang digawangi oleh pemerintah. Generasi muda dapat dilibatkan, misalnya melalui inisiatif sains khalayak serupa dengan Urundata yang berfokus pada pemantauan restorasi yang sudah dilakukan.

Inisiatif Urundata maupun berbagai ide yang telah disebutkan di atas menjadi contoh bagaimana generasi muda dapat menyokong restorasi hutan dan bentang lahan di Indonesia secara efektif dan efisien. Pemerintah dan pihak swasta punya andil untuk memastikan bahwa generasi muda Indonesia dapat menjadi generasi restorasi yang berkontribusi positif bagi pencapaian tujuan Restorasi Ekosistem serta berbagai tujuan SDGs satu dekade ke depan ini.