dawud Bachtiar Amil BAZNAS RI 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Fais Suhada Waroy-Siswa Sekolah Cendekia BAZNAS asal Abe Pura Papua. “Saya ingin menjadi dai di kampung halaman saya di Abepura Papua. Alhamdulillah Sekolah Cendekia BAZNAS membantu saya berada di jalur yang tepat untuk wujudkan mimpi itu,” Begitulah curahan hati Muhammad Fais Suhada Waroy, siswa Sekolah Cendekia BAZNAS (SCB) asal Abepura, Papua. Meski usianya masih belia, dia memiliki mimpi mulia, ingin membangun desa asalnya, salah satunya melalui pendidikan. Demi menggapai mimpi itu, Waroy -sapaan akrabnya- rela menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Abepura menuju Bogor, Jawa Barat, untuk menimba ilmu di Sekolah Cendekia BAZNAS. “Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi banyak kemudahan dan akhirnya saya bisa bersekolah di Sekolah Cendekia BAZNAS. Saya sangat senang dan bersyukur sekali,” kata Waroy. Awalnya Sekolah Cendekia BAZNAS nampak asing baginya, maklum saja tempat tinggal Waroy sangat jauh dari lokasi Sekolah Cendekia BAZNAS. Namun perlahan matanya terbuka setelah adanya sosialisasi dari perwakilan BAZNAS Papua yang gencar ke sekolah-sekolah. “Dulu saya tidak tahu tentang Sekolah Cendekia BAZNAS. Sampai pada suatu saat, sekolah saya kedatangan perwakilan BAZNAS. Mulai dari situ saya tahu tentang Sekolah Cendekia BAZNAS dan langsung menargetkan bisa bersekolah di sana,” ujarnya. Setelah melalui seleksi dan proses verifikasi yang ketat, Waroy pun terpilih masuk Sekolah Cendekia BAZNAS. “Awal masuk Sekolah Cendekia BAZNAS, saya belum ada keinginan menjadi dai, hanya ingin berkarya dan memajukan kampung saya. Tapi setelah sering berinteraksi dengan ustaz di Sekolah Cendekia BAZNAS, niat saya bulat ingin menjadi dai dan berdakwah di Abepura,” kata Waroy dengan senyum merekah. Waroy tergerak untuk berdakwah di kampung halamannya karena di sana masih minim syiar keislaman, sulit ditemuinya guru atau ustaz yang menjadi sumber rujukan masyarakat, terlebih di daerah tersebut penduduk muslim masih minoritas. Dengan bekal semangat tersebut dirinya terus berjuang menimba ilmu di Sekolah Cendekia BAZNAS khususnya ilmu agama. Hingga sekarang ia telah menghafal 2 juz dan 25 hadis. Selain itu, belajar malam menjadi akivitas harian yang tidak boleh dilewatkannya. Setiap malam ia lakukan, membaca buku keislaman, menulis ulang buku serta muthala’ah (mengkaji ulang buku) bersama ustaz menjadi kewajiban sendiri baginya. “Sekolah Cendekia BAZNAS sangat membantu cita-cita mulia serta mengubah diri saya. Saya berharap agar Allah senantiasa memberikan kemudahan agar mimpi saya tercapai,” kata Waroy. Sekolah Cendekia BAZNAS hadir untuk membantu anak mendapatkan hak pendidikannya lewat pendidikan adab islami, akademik, kewirausahaan serta kepemimpinan dan organisasi. Sekolah Cendekia BAZNAS memberikan beasiswa pendidikan non-formal berupa sekolah tahfidz selama dua tahun, dan pendidikan jenjang SMP-SMA untuk para anak dhuafa setiap tahunnya, tak terkecuali bagi mereka yang telah menjadi yatim. Kepala Program Sekolah Cendekia BAZNAS, Ahmad Kamaluddin Afif, menjelaskan bahwa Sekolah Cendekia BAZNAS konsisten menyelenggarakan pendidikan profesional dan berkualitas guna menyiapkan pemimpin masa depan, penerus gagasan cendekiawan serta penggerak lingkungan. “Saat ini siswa kami tersebar dari 25 provinsi, dengan modal keberagaman ini kami berharap semakin masif perubahan yang dapat siswa kami berikan nantinya di masa yang akan datang, agar mereka menjadi pionir kebangkitan di masing-masing daerah,” katanya.