Destri Kurniasih 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Perempuan mengekspresikan diri melalui karya dengan menjadi profesional di bidangnya, perempuan berpendidikan tinggi, perempuan berekspresi melalui hobi, tampilan dirinya, melalui pakaian yang dikenakan maupun riasan wajahnya, disindir, dihujat, dihakimi nanti keluarganya tidak ada yang mengurus, tidak ada laki-laki yang mau, atau untuk apa sekolah sampai tinggi kalau ujungnya mengurus rumah tangga. Perempuan tidak aman bekerja sampai malam, jadi tidak usah bekerja saja. Banyak sekali pelabelan dan pembatasan yang diberikan kepada perempuan, bahkan saya sendiri mengalaminya. Masyarakat pada umumnya masih merasa bahwa hal-hal tersebut wajar diberikan kepada perempuan, bahkan tidak sampai disitu saja, tindakan diskriminasi dan perundungan juga menjadi pewajaran saat-saat ini. Di dalam keluarga pun perempuan menjadi milik ayah atau suaminya, dan suaranya tidak dipertimbangkan. Namun di lain sisi, perempuan memiliki potensi dan bakat yang jika dikembangkan akan dapat bersaing dengan laki-laki. Nyatanya, dalam perekonomian perempuan juga punya andil yang besar dengan menyumbang 47,02% perempuan sebagai tenaga profesional, dan sumbangan pendapatan sebesar 36,7% (KemenPPPA, 2019). Perempuan juga memiliki berbagai peran di masyarakat, perempuan mengambil multi peran. Perempuan sebagai anak dan atau menantu, istri dan atau ibu, saudara dan atau ipar, tetangga, dan warga negara. Perempuan tidak bisa hanya berdiam diri, kita harus bergerak bersama, dengan mendukung perempuan lainnya, saling bergandengan tangan, jangan takut bersuara serta terus belajar dan mengedukasi sesama. Perempuan bisa mengambil hikmah dari pelabelan dan segala diskriminasi yang diterimanya dengan menunjukkan dirinya mampu dan bahwa perempuan berdaya dan bisa menjadi kebanggaan. Dengan bergerak bersama mulai dari diri sendiri, lingkungan sekitar, kita bisa mendorong terciptanya keadilan gender dan kesetaraan gender di masayarakat. Sebenarnya apa itu gender dan yang dimaksud dengan Kesetaraan Gender? Gender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan-ketentuan yang membedakan identitas sosial laki-laki dan perempuan. Gender adalah pembedaan sifat, peran, fungsi, dan status antara pihak yang satu dengan yang lain yang bukan berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas (Nadia, 2020). Gender merupakan konstruksi sosial budaya yang dapat berubah dan diubah sesuai dengan pekembangan zaman, situasi, dan kondisi (Zakiyah, 2020). “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan” (KemenPPPA, 2019). Menurut Wasingatu Zakiyah, pegiat urusan gender dan direktur Perkumpulan IDEA Yogyakarta, “Kesetaraan gender adalah suatu kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.” Keadilan gender adalah suatu upaya untuk membuat kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki melalui kebijakan juga kegiatan serta proses budaya yang menghilangkan hambatan-hambatan terhadap akses, peran, kontrol, juga manfaat bagi perempuan dan laki-laki (Zakiyah, 2020). Kesetaraan Gender juga sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan, tepatnya pada tujuan kelima. Untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, presiden telah mengeluarkan Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan tujuan kelima disebutkan adalah “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan”. Kesetaraan gender juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya, yaitu tujuan pertama tanpa kemiskinan, kedua tanpa kelaparan, ketiga kehidupan sehat dan sejahtera, keempat pendidikan berkualitas, keenam air bersih dan sanitasi layak, dan ketujuh energi bersih dan terjangkau (KemenPPPA, 2019). Namun, Indonesia masih menduduki peringkat ke-empat Indeks Kesetaraan Gender pada level ASEAN dan peringkat kesembilan dari kesepuluh negara ASEAN dalam Indeks Pembangunan Gender dan merupakan satu dari tiga negara ASEAN yang berada di bawah nilai rata-rata dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender di Indonesia masih rendah khususnya diantara negara-negara ASEAN (KemenPPPA, 2019). Ketidaksetaraan gender dapat terjadi apabila hierarki kuasa mengakibatkan ketimpangan kuasa gender ketika salah satu jenis kelamin mendominasi dalam kepemilikan, pengambilan keputusan, dan mempengaruhi budaya dalam pembagian peran, perilaku, aktivitas, dan atribut. Sementara, ketidakadilan gender dapat berupa stereotipe (pelabelan), subordinasi (penomorduaan), marginalisasi (meminggirkan), beban majemuk, dan kekerasan (Nadia, 2020). Perempuan dan anak termasuk dalam kelompok rentan yang perlu dilindungi. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual, ekonomi, atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Kekerasan Berbasis Gender (KBG) adalah istilah yang memayungi setiap perilaku membahayakan yang dilakukan terhadap seseorang berdasarkan peran gender yang dilekatkan oleh masyarakat. Termasuk didalamnya adalah segala perilaku yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau mental, ancaman akan melakukan suatu perbuatan membahayakan, pemaksaan, dan atau perilaku lain yang membatasi kebebasan seseorang (Nadia, 2020). Lalu bagaimana menciptakan ruang gerak, ruang aman, ruang tumbuh bagi semua, khususnya perempuan dan anak? Penulis menggunakan pendekatan komunitas masyarakat sebagai media edukasi kesetaraan gender. Berdasarkan pengertian gender yang telah dibahas sebelumnya, dapat diketahui bahwa gender terbentuk dari relasi sosial budaya yang dipengaruhi struktur masyarakat secara luas. Maka kesetaraan gender akan tercapai jika cara pandang, pengertian, pemikiran, perbuatan, kegiatan, keseharian, dan sampai menjadi budaya di masyarakat terhadap ketidaksetraan gender yang sekarang terjadi berubah, menjadi lebih setara dan memandangnya sebagai sesuatu yang penting. Menurut penulis, hal tersebut bisa terjadi jika masyarakat sendiri yang bergerak melalui komunitas-komunitasnya. Pemerintah perlu mendorong inisiatif yang baik ini dengan menyediakana peraturan yang kuat dan anggaran melalui kementeriannya serta ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan edukasi kesetaraan gender dan menjadi contoh bagi masyarakat. Masyarakat sudah banyak yang bergerak melalui lembaga-lembaga non-pemerintah, lembaga lokal di daerah-daerah, serta lembaga non-profit baik tingkat nasional maupun internasional. Pergerakan edukasi kesetaraan gender yang masif, terintegrasi, dan inklusif dapat diwujudkan dengan kerjasama dari berbagai pihak. Melalui gerak bersama ini akan semakin cepat terwujudnya kesetaraan gender di masyarakat yang dapat mendukung upaya menciptakan ruang aman, ruang tumbuh, dan berkembang bagi seluruh warga negara khususnya perempuan dan anak. Misalnya di lingkungan RT (rukun tetangga) ada kegiatan remaja masjid ataupun pemuda karang taruna, Ketua RT bisa menyampaikan materi mengenai kesetaraan gender pada komunitas pemuda tersebut. Sebelumnya perguruan tinggi dalam hal ini dosen atau ahli dapat memberikan pelatihan kepada para RT, RW, Tokoh Masyarakat, Guru, Pendidik Pengajian, Ulama mengenai kesetaraan gender. Tentunya butuh dukungan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat juga agar kegiatan edukasi terstruktur dan iklusif. Sektor swasta juga diwajibkan melakukan pengarusutamaan kesetaraan gender dalam penerapan bisnisnya, dan dapat mendukung bantuan dana untuk pelaksanaan kegiatan edukasi di masyarakat. Di lingkungan keluarga ada ibu dan ayah yang sangat berperan dalam pendidikan di dalam keluarga. Ibu-ibu bisa dilatih atau diberikan sosialisasi mengenai kesetaraan gender mealui komunitasnya seperti PKK, pengajian, arisan RT. Materi kesetaraan gender juga dapat sekalian diintegrasikan ke dalam pendidikan posyandu mengenai stunting, gizi anak, imunisasi, sekaligus kesetaraan gender. Bapak-bapak bisa di edukasi melalui kegiatan perkumpulan sosial di RT, pengajian, ataupun komunitas hobi. Anak-anak mulai dari tingkat dasar juga diberikan edukasi kesetaraan gender melalui institusi pendidikan baik formal maupun non-formal. Jika semua komunitas, sektor bergerak mendukung edukasi kesetaraan gender ini, maka Indonesia bisa mencapai tingkat kesetaraan gender yang tinggi. Rujukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2019. “Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2019”. https://kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/5d8c1-pmbg-2019.pdf . diakses 10 Desember 2021 Nadia, Ita Fathia. 2020. “Hubungan Relasi Gender dalam Kekerasan Berbasis Gender”. Globab Facility for Disaster Reduction and Recovery. Zakiyah, Wasingatu. 2020. “HAM, Gender, dan Pengurangan Risiko Bencana”. Yogyakarta.