Vidya Ayuningtyas 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Manusia cenderung menyukai sesuatu yang praktis dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak perlu mengingat alat-alat teknologi canggih yang saat ini banyak digandrungi untuk memudahkan aktivitas manusia, cukup perhatikan saja orang-orang yang pergi ke pasar, para penjual gorengan, dan kurir paket yang hilir mudik mengantarkan pesanan. Tanpa terkecuali, semuanya menggunakan plastik untuk alasan kepraktisan dan standar kesopanan pelayanan. Pada kepraktisan itu sebenarnya memuat rapi sebuah ancaman yang terselubung bagi keberlangsungan umat manusia dan makhluk hidup lainnya dimasa yang akan datang, hanya kita enggan menyebutnya sebagai ancaman. Kehidupan manusia yang tidak mau dipersulit membuat plastik memulai langkah gemilangnya dengan sempurna. Dia muncul mengkampanyekan kemudahan-kemudahan hidup umat manusia yang syarat dengan kecepatan dan efisiensi. Seolah-olah apapun yang dikemas dan dibungkusnya memiliki nilai yang jauh lebih baik, lebih memiliki prestige dibandingkan dengan yang tercecer begitu saja. Kepraktisan Semu yang Menipu Orang-orang dahulu ketika pergi ke pasar akan membawa tas jinjing yang dapat dipakai berulang kali. Mereka tidak membutuhkan plastik sebagai sarana bungkus membungkus. Para pedagang juga mengemas jualannya pada daun-daun jati dan daun pisang yang dilipat rapi. Saat itu, belum banyak ditemukan plastik untuk menjaga norma kesopanan dalam transaksi jual beli, para pembelipun tidak keberatan jika barang pesanannya tidak berselimut plastik. Mereka memegang prinsip utilitarian yang mengedepankan fungsi dan nilai guna dari sebuah benda. “untuk apa dikantongi plastik, toh dirumah juga nanti dilepas lagi?” Berbeda dengan saat ini, orang-orang menjadikan plastik sebagai bukti bahwa produk yang dikemas sangat terjaga kualitasnya. Saat barang-barang baru tidak memiliki pembungkus plastik yang melekat pada tubuhnya, si pemesan sudah pasti akan bersungut-sungut tentang apa yang terjadi pada pesanannya. Adakah goresan, patah, rusak atau apapun itu yang mencederai barang yang dipesannya? jika sedikit saja kerusakan menimpanya, maka hancur sudah reputasi si pengirim barang. Pada titik inilah plastik telah bertransformasi menjadi simbol kepercayaan publik, hanya saja dalam waktu yang bersamaan muncul kemanjaan yang membuat orang-orang menjadi begitu malas karenanya. Bagaimana tidak? sulit rasanya menemukan aktivitas manusia yang tidak lagi bersentuhan dengan plastik. Plastik menawarkan kepraktisan semu yang ternyata menipu bagi masyarakat plastik itu sendiri. kepraktisan yang digadang-gadang mempermudah sebuah urusan, ternyata malah mempersulit kehidupan manusia itu sendiri dimasa yang akan datang. Zaman plastik merupakan zaman dimana ketidaksabaran, kemalasan, dan kepraktisan semu terpelihara dengan baik. Pada zaman ini, manusia tidak banyak yang menyadari bahwa selalu ada hukum ‘sebab akibat’ dalam memperlakukan alam tersebab karena sampah plastik, misalnya saja peristiwa bencana banjir yang dewasa ini terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Ironis, saat bencana itu datang menerjang, orang-orang malah mengganggap itu suratan takdir dari Yang Kuasa. Bagaimana mungkin banjir yang disebabkan karena plastik yang menyumbat aliran sungai adalah takdir dan cobaan dari Tuhan? Janji Manis Plastik ‘Biodegrable’ Kebutuhan akan plastik yang melambung tinggi membuat umat manusia berdaya upaya mencari pengganti sebagai sarana bungkus membungkus yang lebih baik. Kampus-kampus dan lembaga penelitian begitu antusias menjawab tantangan tersebut, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya artikel ilmiah terserak dimedia daring dengan fokus kajian plastik biodegradable. Khusus pengembangan plastik biodegradable di indonesia banyak menggunakan tanaman singkong sebagai bahan dasarnya. Singkong dipilih karena sangat mudah dibudidayakan serta memiliki kandungan pati sebesar 32,4% (Hidayat, 2009). Kandungan pati sebesar itu, sangat potensial dikembangkan menjadi plastik biodegradable untuk menghasilkan sifat mekanis terbaik sebesar 12 gram (Anita et al, 2013). Beberapa penelitian di Indonesia yang menjadikan singkong sebagai bahan untuk pembuatan plastik biodegradable diantaranya: Amni et al (2015), Kamsiati et al (2017), dan Pulungan et al (2018). Ketiga penelitian tersebut berhasil mengembangkan plastik dari bahan yang dianggap bisa mengalami degradasi secara alami oleh lingkungan. Proses degradasi sendiri dapat terjadi karena terputusnya ikatan rantai polimer dan menurunnya mutu dari plastik di lingkungan (Aripin dan Kustiyah, 2017). Semua orang larut dalam euphoria ini, merasa tidak berdosa lagi jika suatu waktu membuang plastik seenaknya. Toko ritel dan swalayan yang tadinya ketat menerapkan penggunaan plastik, merasa tidak perlu lagi melakukan kebiasaan baiknya. “Toh plastik-plastik ini akan terurai secara alami, bahannya kan ramah lingkungan! sudah teruji di kampus kenamaan!” begitu kira-kira anggapan sebagian orang tentang plastik ini. Tapi, benarkah plastik biodegradable ini sesuai dengan klaimnya? benarkah bisa hancur secara cepat dan menjadi solusi yang tepat? jawabannya tidak. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Napper & Thomson (2019) menyatakan bahwa plastik biodegradable tidak dapat terurai dengan cepat seperti yang digembor-gemborkan perusahaan yang mengklaimnya. Percobaan dilakukan dengan beberapa treatment yang berbeda seperti: menguburnya di dalam tanah, membiarkanya di udara yang terbuka, dan menghanyutkannya di air laut. Kabar buruknya yaitu dari ketiga jenis uji perlakuan ternyata menghasilkan plastik yang tetap masih utuh seperti sedia kala, bahkan setelah 3 tahun lamanya. Penelitian lain yang dilakukan oleh UN Environment (2015) juga membuktikan bahwa plastik biodegradable yang digadang-gadang ramah lingkungan, ternyata hanya bisa hancur dalam kondisi industrial composter saja dengan suhu diatas 50oC, artinya plastik ini tidak dapat hancur begitu saja pada kondisi alam bebas yang suhunya lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa plastik-plastik berlabel biodegradable yang kita buang hari ini ke lingkungan tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Paradigma Baru Buang Sampah Plastik telah menyebabkan candu, dia menjadi kebutuhan yang amat sulit dicarikan penggantinya bagi mereka—plastic society. Pada saat yang bersamaan, kesadaran manusia terhadap lingkungan juga semakin buruk, mudah sekali kita membuang plastik setelah selesai dengan urusan bungkus membungkus. Perkara plastik itu nantinya mencemari lingkungan, menjadi vektor penyakit, atau menyumbat selokan tidak lagi menjadi beban pikiran. Barangkali inilah sengkarut masalah plastik yang tidak pernah berkesudahan. Kita lebih mempercayakan urusan sampah plastik itu pada pemulung, petugas kebersihan, atau Dinas Lingkungan Hidup dan Tata Kota yang bertungkus lumus menghadapi ancaman lingkungan yang laten. Saat sampah plastik itu menyumbat aliran selokan di musim penghujan kemudian mendangkalkan aliran sungai, kita sangat mudah mencari kambing hitam. Mereka yang telah bekerja keras membanting tulang seolah-olah tak becus mengurusi air yang tersumbat dan masuk ke pemukiman yang nampak sepele. Kita lupa bahwa persoalan sampah plastik bukanlah fatamorgana, karenanya kita tidak bisa merasa terbebas begitu saja hanya karena telah menyelesaikan persoalan administrasinya. Tapi lupa dengan tanggung jawab dan pengelolaan sampah yang harusnya dilakukan sendiri, seperti menggunakannya kembali (reuse), mendaur ulangnya (recycle), menguranginya (reduce), dan menggantinya dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan (replace). Paradigma masyarakat terhadap sampah juga mesti diperbaiki. Sejak mengeyam pendidikan di lingkungan sekolah, mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi kita selalu diajarkan untuk membuang sampah pada tempatnya. Sekilas itu nampak benar, tapi kebiasaan ini bisa mengerak menjadi sebuah perilaku yang menegaskan bahwa apapun yang berwujud sampah termasuk plastik, maka membuang adalah solusinya. Bukankah lebih baik mengganti kalimat ‘buanglah sampah pada tempatnya!’ menjadi ‘simpanlah sampah pada tempatnya’? Saya menengok kata ‘buang’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: melemparkan atau melepaskan, sementara ‘simpan’ memiliki makna: menaruh barang yang sudah tidak terpakai ditempat yang aman supaya tidak rusak dan hilang. Sampah sendiri memiliki makna: barang atau benda yang tidak berguna dan terpakai lagi. Membuang memiliki konotasi negatif, jijik, dan tidak berguna, sementara menyimpan lebih memandang sampah sebagai sesuatu yang memiliki nilai penting, nilai guna, dan potensial mendatangkan pundi-pundi rupiah. Terdengar sepele? Tentu saja, namun sangat sulit diaplikasikan. Perlukah Instrumen Cukai Plastik? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jambeck et al (2015), menempatkan Indonesia di urutan ke-2 sebagai negara yang paling bertanggung jawab atas plastik yang mencemari lautan setelah Tiongkok dari 192 negara di dunia yang teliti. Total sampah plastik Indonesia yang berakhir di lautan mencapai 187,2 juta ton. Fakta yang tidak terbantahkan ini menjadi perhatian serius banyak pihak, termasuk Pemerintah yang terus berupaya mengurangi jumlah sampah plastik melalui berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan yang menyita perhatian publik yaitu pemberlakuan cukai untuk plastik. Cukai menjadi alat fiskal yang dipakai Pemerintah dalam menekan konsumsi produk yang berdampak buruk bagi lingkungan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 39 pasal 2 Ayat 1 Tahun 2007 tentang cukai. Penerapan cukai terhadap plastik cukup beralasan, karena plastik memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Atas dasar inilah perlu adanya pembebanan ataupun pungutan negara terhadap plastik demi keadilan dan keseimbangan. Saya mengira pada titik ini, problematika plastik di dunia ini tidak akan dapat terselesaikan begitu saja. Jutaan kata-kata berupa himbauan yang ditujukan kepada umat manusia agar lebih bijak menggunakan plastik kemudian himbauan itu disampaikan di dunia maya, di baca, di ‘share’ banyak orang. Sayangnya, itu semua tidak merubah perilaku manusia terhadap plastik. Kebijakan yang lebih ‘keras’ seperti diberlakukannya denda ketika buang sampah berupa Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang pengelolaan sampah di Ibukota, tidak banyak juga memberikan dampak berarti. Kenyataannya orang-orang masih bisa dengan bebas buang sampah seenaknya, tanpa takut terkena denda atau pidana. Lalu bagaimana mengatasi ini? solusi yang paling tepat tentu tidak harus menunggu inovasi dan pertintah dari orang lain. Kita dapat melakukan sendiri solusi penanganan limbah dan sampah plastik yang kita hasilkan sendiri yaitu dengan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kita dapat membawa keranjang ketika berbelanja, membawa alat makan dan minum sendiri, serta hal-hal lain yang sifatnya pantang menggunakan plastik. Daftar Rujukan Amni, C., Marwan & Mariana. 2015. Pembuatan Bioplastik dari Pati Ubi KayuBerpenguat Nano Serat Jerami dan ZNO. Jurnal Litbang Industri 5 (2):91-99. Aripin, S., B. Saing, & E. Kustiyah. 2017. Studi Pembuatan Bahan AlternatifCPlastik Biodegradable dari Pati Ubi Jalar dengan Plasticizer GliserolCdengan Metode Melt Intercalation. Jurnal Teknik Mesin (JTM), 6, 79-84. Hidayat, C. 2009. Peluang Penggunaan Kulit Singkong Sebagai Pakan Unggas.CProsiding Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T, R., Perryman, M., Andrady, A., Narayan, R., Law, R.L. 2015. Plastic waste inputs from land into the ocean. Research Report sciencemag.org: 768-771. Kamsiati, E., Herawati, H., & Purwani, H.E. 2017. Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable berbasis Pati Sagu dan Ubi kayu di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 36 (2): 67-76. Napper, I., & Thompson, R. 2019. Biodegradable Plastic Bags Survive Three years in Soil and Sea. Diakses pada: https://www.theguardian.com/environment/2019/apr/29/biodegradable-plastic-bags-survive-three-years-in-soil-and-sea 8 Oktober 2020. Pulungan, M.H., Hidayat, N., Wafa, A., & Wardina, K. 2018. Pendayagunaan Pati Singkong dan Tepung Kulit Singkong sebagai Bahan Pembuatan Plastik Biodegradable (Kajian Rasio Pati Singkong dan Tepung Kulit Singkong). Prosiding Seminar Kulit, Karet dan Plastik. ISSN: 2477-3298 UN Environment. 2015. Biodagradable Plastic and Marine Litter, Misconception, Concern and Impact on Marine Environment. Diakses pada: https://www.unenvironment.org/news-and-stories/story/biodegradable-plastics-are-not-answer-reducing-marine-litter-says-un 8 Oktober 2020.