Gracia Ayni Warella International Relations Undergraduate Student, Universitas Gadjah Mada 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Interaksi tanpa henti antar individu dan kelompok telah membentuk ratusan budaya di dunia. Keragaman budaya tersebut kerap menjadi panduan arah pembangunan berbagai negara, terutama Indonesia. Urgensi untuk memahami tiap budaya sebagai wujud ekspresi dari suatu masyarakat, tersoroti dalam upaya merealisasikan inklusivitas. Kini, sebuah budaya baru lahir dari salah satu komunitas yang masih termarginalisasi hingga saat ini, yakni teman Tuli. Wacana menantang narasi arus utama ini termotivasi oleh perlakuan diskriminatif dan ketidakpedulian dari masyarakat yang dirasakan oleh teman Tuli, dimana setelah begitu lama dianggap sebagai bentuk disabilitas atau penyakit, gerakan aktivisme pun muncul untuk memperjuangkan perspektif bahwasanya tuli bukan semata disabilitas, tetapi merupakan bagian dari suatu kelompok minoritas bahasa dan budaya (Lane et al., 2011). Layaknya ketika sejumlah penduduk Indonesia mengunjungi Ghana, kedua budaya akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi akibat ketidakpahaman antar satu dengan yang lain. Walau demikian, ketidaktahuan tersebut dapat dicegah melalui inklusi sosial yang terwujud dalam upaya saling memahami dan mempelajari kebudayaan lain. Seiring berkembangnya diskusi tentang Tuli sebagai budaya bukan penyakit, prinsip inklusivitas turut kembali menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Inklusi sosial disini penting dalam, tak sebatas mengakui eksistensi, namun turut mengintegrasikan aspek kebudayaan terhadap rencana pembangunan. Hal ini sendiri merupakan wujud upaya pembangunan kota dan pemukiman yang bersifat culturally-sensitive demi terciptanya kebijakan publik yang inklusif terhadap diversitas (Black & Sonbli, 2021). Selain itu, aspek budaya menjadi penting untuk diperhatikan sehingga dialog pluralisme dapat berkontribusi dalam penguatan hak dasar setiap kelompok, tak terkecuali komunitas Tuli. Jalan menuju inklusivitas ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-11 yang mengadvokasi visi memperkuat urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan, serta ramah terhadap siapapun, terutama penyandang disabilitas. Berbagai upaya telah dilakukan oleh ahli tata kota demi mewujudkan cita universal tersebut, salah satunya melalui adaptasi teknologi. Teknologi dapat mengurangi hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam kehidupan sehari-hari, seperti bepergian, membaca, dan menulis. Tak hanya itu, teknologi semakin diperlukan dalam mobilitas perkotaan teman Tuli, misalnya ketika menggunakan transportasi umum, mendapatkan pelayanan publik, atau sebatas berkunjung ke area perbelanjaan. Namun, tak semua pembuat kebijakan, pemerintah, bahkan masyarakat memiliki pola pikir aksesibel, utamanya dalam menggabungkan unsur teknologi. Maka, diperlukan adanya sosialisasi budaya untuk menciptakan pemahaman intrinsik terhadap kebudayaan Tuli, sehingga teknologi yang diciptakan dapat memenuhi prinsip aksesibilitas dan inklusivitas. Melalui perjuangan melantangkan Tuli sebagai suatu identitas, impian untuk menciptakan ruang publik yang ramah disabilitas dapat tercapai dengan meletakkan budaya Tuli sebagai fondasi pemikiran dalam kerangka pembangunan yang diintegrasikan dengan adaptasi teknologi berbentuk smart city. Budaya Tuli: langkah menuju pola pikir aksesibel Narasi yang diangkat oleh komunitas Tuli sebagai suatu budaya alih-alih kekurangan menjadi krusial dalam menciptakan ruang publik yang aksesibel bagi disabilitas. Dalam sejumlah problematika sosial antar budaya yang kerap terjadi, ketidakpahaman merupakan akar permasalahan. Secara khusus terhadap budaya Tuli dengan metode komunikasi, gaya hidup, dan cara melihat dunia yang berbeda dari non-Tuli (Ladd, 2003). Tuli adalah pernyataan kultural sebagai identitas yang memiliki bahasa, sejarah, sistem nilai, tata perilaku, tradisi, perjuangan, dan kesenian, walau demikian, kultur Tuli tak layaknya budaya lain yang eksklusif. Esensi komunitas Tuli secara mendasar adalah inklusi, dimana bukan tingkat gangguan pendengaran semata yang menentukan siapa anggota komunitas, tetapi rasa identitas individu itu sendiri dan tindakan yang dihasilkan (Mindess, 2006). Maka, siapapun yang mengidentifikasi diri, baik secara fisik, mental, bahasa maupun dalam upaya advokasi hak, dapat disebut bagian dari budaya Tuli. Lebih lanjut, nilai kolektivitas budaya Tuli turut memotivasi rasa kebersamaan yang signifikan, termasuk dalam perjuangan melawan diskriminasi. Pola pikir kebudayaan mengeliminasi persepsi negatif terhadap ketidakadaan pendengaran. Hal ini secara tidak langsung melahirkan sikap ramah, bahkan cenderung positif dari teman Dengar kepada komunitas Tuli. Dengan mengambil bagian dalam aktivitas seperti pembelajaran bahasa isyarat, teman Dengar dapat memahami secara mendalam bagaimana seorang Tuli melihat dunia. Tak dapat dipungkiri, setiap bahasa memiliki perbedaan gaya berkomunikasi yang kadang bertabrakan satu sama lain. Namun bahasa sendiri merupakan salah satu metode mencapai inklusi, dimana dengan mempelajari bahasa lain, komunikasi interpersonal akan terasah, begitupun pemahaman antar budaya yang dapat terwujud (Bang, 2015). Budaya Tuli pun merupakan jembatan menuju sosialisasi pembelajaran bahasa isyarat untuk mempermudah upaya mencapai aksesibilitas. Semakin banyak masyarakat non-Tuli yang memahami bahasa isyarat, maka semakin besar kemungkinan tercipta lingkungan yang tak lagi melihat Tuli sebagai penyakit atau kekurangan, melainkan hanya perbedaan budaya. Sayangnya, belum semua memiliki fondasi pemikiran ini. Walaupun secara mendasar, pemahaman akan budaya Tuli diperlukan dalam menciptakan ruang publik yang aksesibel terutama dalam pembangunan kota berkelanjutan seperti yang dilantangkan oleh tujuan ke-11 dari Sustainable Development Goals (SDGs). Integrasi antara pola pikir budaya Tuli dengan kerangka pembangunan akan berdampak signifikan terhadap kebijakan publik, dimana aksesibilitas sepatutnya dijadikan orientasi utama. Hal yang menarik adalah dewasa ini, aksesibel sering diasosiasikan dengan kemudahan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, begitupun tren pembangunan era modern kerap meletakkan teknologi sebagai salah satu penopang pembangunan, seperti konsep smart city. Inovasi ini pun krusial dalam merealisasikan visi inklusi, terutama ketika pembuat kebijakan menggabungkan kedua prinsip tersebut; budaya Tuli yang memandu adaptasi teknologi mewujudkan aksesibilitas. Pembangunan kota aksesibel: smart city dan budaya Tuli Berbicara tentang smart city, Indonesia sendiri telah menginisiasi inovasi ini di beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Yogyakarta, dengan mengedepankan enam pilar, yakni smart environment, smart living, smart people, smart economy dan smart governance. Namun, perkembangan smart city saat ini masih cenderung pemerintahan-sentris, atau lebih berfokus pada aksesibilitas pelayanan publik melalui utilitas teknologi, sedangkan konsep lain kerap menjadi prioritas kedua. Salah satu prinsip utama dari konsep smart city adalah orientasi pada masyarakat, dimana tujuan dari implementasi teknologi tersebut sepatutnya memudahkan akses bagi siapapun tak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Akses, merupakan kata kunci krusial dalam konsep smart city maupun budaya Tuli. Pola pikir aksesibel menjadi fondasi analisis bagaimana sepatutnya menciptakan kota yang inklusif melalui pertanyaan berikut; bagaimana seseorang dapat bergerak dari satu titik ke titik lain tanpa hambatan? Hal ini berarti seorang tunanetra harus mampu menemukan stasiun kereta bawah tanah, pergi ke peron, dan mengetahui stasiun selanjutnya secara mandiri melalui pengumuman suara. Tuli sebaiknya disediakan papan informasi berbasis visual, alih-alih sebatas suara sehingga mudah mengakses informasi. Hal yang sama berlaku untuk pengguna kursi roda, jalan seharusnya dibuat tak terlalu menanjak dan rata, begitupun ketika menaiki transportasi publik, jembatan penghubung perlu dibuat agar teman difabel dapat memasuki kereta atau bus tanpa kesulitan. Inilah prinsip seamless mobility yang berkorelasi dengan pola pikir aksesibel (Dorynek et al., 2022). Dengan memahami kebutuhan disabilitas, khususnya melalui kerangka budaya Tuli, pembuat kebijakan dapat mengidentifikasi masalah yang akan menganggu mobilitas dari suatu individu. Sehingga, teman Tuli atau difabel tak harus meminta bantuan orang lain ketika dihadirkan ragam solusi berbasis teknologi. Prinsip ini pun tak eksklusif berlaku pada penyandang disabilitas, namun turut meliputi masyarakat secara umum, dimana mobilitas adalah kunci. Sebagai ilustrasi, Finlandia telah menerapkan konsep ini melalui MaaS, yakni Mobility as a Service (Biba, 2022). MaaS menggabungkan semua opsi transportasi yang ada tanpa hambatan, mulai dari perencanaan perjalanan hingga pembayaran. Tak hanya menjadi sarana informasi transportasi, MaaS turut berperan sebagai cara cerdas untuk mencapai tujuan dari pengguna dengan memberikan solusi mobilitas yang dipersonalisasi berdasarkan kebutuhan, utamanya bagi disabilitas. Selaras dengan mobilitas, akses terhadap informasi lahir sebagai urgensi yang membutuhkan solusi. Dalam membangun suatu smart city, pembangunan fasilitas seperti layar informasi tertulis bagi Tuli di stasiun, terminal atau pusat perbelanjaan diperlukan. Selain itu, adaptasi teknologi pemandu arah, selayaknya GPS yang terintegrasi akan membantu Tuli dalam menemukan tujuan, serta cara paling aman mencapai tempat tersebut. Begitupun ketika berinteraksi dengan teman Dengar yang bekerja sebagai staf, pelatihan bahasa isyarat atau komunikasi melalui platform digital menjadi krusial. Misalnya, aplikasi speech-to-text yang secara instan menerjemahkan suara dalam bentuk teks dan sebaliknya, demi memudahkan interaksi antara teman Tuli dan Dengar. Lalu, bagaimana visi ini dapat terwujud? Melalui eksplanasi di atas, integrasi antara pola pikir budaya Tuli yang aksesibel dan inovasi teknologi dalam panduan pembangunan kota menjadi salah satu langkah penting dalam mewujudkan ruang publik ramah disabilitas. Dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan aksesibilitas, pembuat kebijakan harus memastikan mobilitas yang tak terganggu dan kemudahan akses terhadap informasi. Begitupun pemahaman akan cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas, atau secara khusus komunitas Tuli, yang memiliki perbedaan bahasa, sehingga pembelajaran bahasa isyarat layaknya BISINDO diperlukan. Kendati demikian, tantangan terbesar terletak pada kesiapan inovasi teknologi dan kemampuan ekonomi dari suatu negara, Kolaborasi dari segala pihak pun diperlukan demi merealisasikan impian teman difabel. Kini, seiring berkembangnya zaman, visi inklusivitas tersebut tak lagi hanya sebatas imaji utopis, namun merupakan mimpi yang menunggu realisasi. REFERENSI Ladd, P. (2003). Understanding Deaf Culture: In Search of Deafhood (1st Edition.). Multilingual Matters. Mindess, A. (2006). Reading Between the Signs: Intercultural Communication for Sign Language Interpreters. Amsterdam University Press. Lane, H., Pillard, R. C., & Hedberg, U. (2011). The People of the Eye: Deaf Ethnicity and Ancestry (Perspectives on Deafness) (1st ed.). Oxford University Press. Black, P., & Sonbli, T. E. (2021). Culturally Sensitive Urban Design: The Social Construction of “Homs Dream,” Syria. Urban Studies and Public Administration, 4(2), p87. https://doi.org/10.22158/uspa.v4n2p87 Bang, K. K. (2015, February 21). Inclusion in and through education: Language counts. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/news/2015/02/21/inclusion-and-through-education-language-counts.html Ji, T., Chen, J. H., Wei, H. H., & Su, Y. C. (2021). Towards people-centric smart city development: Investigating the citizens’ preferences and perceptions about smart-city services in Taiwan. Sustainable Cities and Society, 67, 102691. https://doi.org/10.1016/j.scs.2020.102691 Dorynek, M., Aumüller, A., Ma, J., Rathsack, B., Weidmann, J., & Bengler, K. (2022). Mobility on Demand for Everybody—Investigation of the Current Challenges in Establishing Ride-Pooling Services for Persons with Mobility Impairments in Germany. Disabilities, 2(2), 247–263. https://doi.org/10.3390/disabilities2020018 Biba, J. (2022, December 20). What Is Mobility as a Service? Built In. https://builtin.com/transportation-tech/mobility-as-a-service
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More