Melani Retnaningtias 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Aku adalah anak seorang petani. Istilah bergantung pada Bumi bukanlah suatu hal yang asing di telingaku. Bumi adalah entitas terbesar dimana kami bergantung untuk mencari penghidupan. Aku tumbuh melihat Bapak sangat bergantung pada Bumi. Setiap musim membawa rejekinya masing-masing. Namun seperti kita tahu, Bumi tak semudah itu. Kadangkala Ia membawa badai, sehingga panen tak bisa maksimal, atau lebih apes lagi gagal. Di lain waktu Bumi bermurah hati. Menyediakan angin, sinar matahari, dan air hujan dalam porsi yang pas sehingga tanaman yang ditanam bisa tumbuh dengan baik. Kami tinggal di Jawa Timur. Bapak adalah seorang petani cabai di lahan kecil. Lahan itu bukan miliknya. Ia menyewanya dari seorang tuan tanah. Bapak adalah petani gurem. Komoditas cabai adalah salah satu komoditas hortikultura yang mendapatkan prioritas pengembangan karena dinilai sebagai komoditas pertanian dengan nilai ekonomi tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Produksi cabai juga terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada 2020 konsumsi cabai diperkirakan mencapai 3,10 kg/kapita per tahun. Angka ini diprediksi akan terus mengalami kenaikan menyusul meningkatnya penggunaan cabai ataupun perkembangan trend kuliner di masyarakat. Di Jawa Timur 90 persen cabai produksi petani akan disalurkan ke tengkulak atau pengepul, sisanya yaitu sebesar 10 persen didistribusikan ke pasar tradisional. Distribusi cabai kemudian berlanjut ke pedagang grosir, supermarket, industri pangan, dan pengiriman antar daerah. Dibalik produksi dan permintaan cabai yang terus meningkat, petani gurem yang menanamnya tak kunjung sejahtera. Saat ini petani gurem belum dapat diandalkan secara penuh karena banyaknya keterbatasan dan resiko. Penetapan harga pokok petani yang tak kunjung diterapkan membuat keadaan makin sulit tiap musimnya karena harga pasar yang tidak stabil. HARGA KOMODITAS YANG MAKIN LAMA MAKIN ANJLOK Bumi selalu memberi lebih dari apa yang manusia minta. Ia memberi penghidupan. Bukan hanya bagi Bapak, tetapi juga bagi jutaan manusia lain yang berprofesi sebagai buruh tani, tengkulak, pedagang pasar, bahkan juru masak di restoran atau hotel ternama. Rantai rejeki ini panjang, rumit, dan saling bersinggungan satu sama lain. Sayangnya bagian terbawah dan terbesar dari mata rantai tersebut, yaitu petani seringnya menjadi pihak yang paling tak beruntung. Harga komoditas sering anjlok saat panen. Sepanjang panen tahun 2020 harga komoditas cabai anjlok. Hancur mina menurut istilah Bapak. Istilah ini merujuk pada hasil panen yang tidak bisa menutup biaya operasional pembelian benih dan pupuk, perawatan, serta biaya buruh petik. Satu kilogram cabai hanya dihargai sebesar 14 ribu rupiah hingga maksimal 17 ribu rupiah di tingkat tengkulak. Harga ini menjadi jauh lebih tinggi ketika sampai di tangan konsumen, namun di tingkat petani, harga cabai semakin hari semakin anjlok membuat para petani hanya bisa gigit jari karena tidak bisa balik modal dan justru harus nombok. Permasalahan tidak hanya ada ketika masa panen tiba. Sebelum panen petani gurem seperti Bapak juga kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Pasokan pupuk subsidi sangat terbatas di pasaran, menyebabkan petani berebut untuk membelinya. Bagi yang tak kebagian silakan membeli pupuk non-subsidi yang harganya bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat. Di televisi pemerintah gencar menggembar-gemborkan pupuk subsidi sudah didistibusikan secara merata. Di lapangan, banyak oknum yang menimbun pupuk subsidi sehingga terjadi kelangkaan. Petani skala kecil lagi-lagi harus jadi korban. Para petani penyewa lahan dengan modal kecil harus mengeluarkan biaya besar untuk bertani. Ada beberapa penyebab mengapa biaya bertani di Indonesia menjadi begitu mahal. Yang pertama adalah biaya sewa lahan dan tenaga kerja yang mencapai 50 persen dari total pendapatan yang didapatkan oleh petani. Bagi petani gurem seperti Bapak yang tak punya modal tanah, sewa tanah adalah jawabannya meski memerlukan ongkos yang tak sedikit. Petani gurem dihadapkan pada banyak resiko mulai dari biaya sewa dan perawatan, harga jual di pasar yang fluktuatif, hingga krisis iklim. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem yang mencakup 70 persen dari 27 juta rumah tangga bertani yang ada. Implikasi dari hal ini adalah petani susah berkembang secara ekonomi dan teknologi (involusi) pertanian karena biaya besar sudah terpakai lebih dulu untuk pembiayaan sewa lahan dan tenaga kerja. Sebagai akibatnya, metode pertanian petani gurem mandek disitu-situ saja. Gambaran petani semacam itulah yang membuat generasi muda cenderung enggan untuk mengambil cangkul dan menggarap lahan sebagai petani. Ketidakpastian pendapatan dan ketergantungan pada hal yang fluktuatif, serta citra kurang sejahtera yang melekat di dalamnya, membuat pemuda lebih memilih pekerjaan di kota yang menjamin pendapatan lebih stabil dan minim resiko. Hasilnya, arus urbanisasi meningkat tiap tahunnya. Permasalahan petani gurem tidak hanya berhenti di biaya tinggi dan harga pasar yang anjlok, tetapi juga berlanjut di rantai distibusi yang berjenjang dan sangat panjang. Proses rantai distribusi adalah proses kompleks yang melibatkan banyak aktor dengan banyak potensi konflik kepentingan yang tumpang tindih. Untuk komoditas cabai di Jawa Timur, rantai distribusi pemasaran setelah panen melibatkan petani, tengkulak atau pengepul lokal, distributor, pedagang grosir, pedagang eceran, dan konsumen akhir. Gejolak rantai distribusi yang mempengaruhi petani salah satunya disebabkan oleh panen musiman di daerah sentra cabai, namun proses penyaluran dari sentra produksi ke sentra konsumsi terhambat karena kebijakan pembatasan sosial (lockdown) secara nasional akibat pandemi. Pada masa panen seringkali harga jual jatuh karena limpahan komoditas dari daerah sentra. Anjloknya harga semakin parah ketika distribusi cabai ke daerah konsumsi melambat karena hambatan transportasi. Produksi berlebih tersumbat di satu titik yang mengakibatkan surplus produksi dan permintaan pasar rendah. Menyikapi hal ini, petani gurem tidak bisa berbuat banyak, karena secara kuantitas produksi mereka sudah kalah telak. MEWUJUDKAN PRODUKSI TANI YANG BERKELANJUTAN Masalah dan potensi resiko yang dihadapi petani gurem cukup rumit. Selain faktor alam seperti krisis iklim, keterbatasan modal, baik uang dan lahan, adalah faktor terbesar. Keterbatasan ini berpengaruh pada pola-pola kerja selanjutnya seperti minimnya pengetahuan, minimnya inovasi teknologi, dan ketidakberdayaan dalam menghadapi dinamika harga pasar. Dalam hal inilah para pembuat kebijakan harus fokus mengembangkan dan mempromosikan teknologi pertanian tepat guna. Kementerian terkait harus bekerja sebaik mungkin untuk menetapkan harga pokok petani, mengendalikan harga komoditas utamanya saat hasil panen melimpah, memaksimalkan produksi dalam negeri dan minimalisir impor komoditas, memberantas oknum yang menimbun pupuk subsidi, memperbaiki rantai jalur distribusi agar lebih efektif dan efisien di setiap tahapannya, sekaligus untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan. Kementerian dan aparatur terkait harus bisa memastikan bahwa dalam rantai distribusi bebas dari oknum nakal yang merugikan petani kecil. Menyangkut aspek pertanahan, lahan merupakan aspek paling krusial dalam pertanian, namun justru aspek inilah yang sangat terbatas pada petani gurem. Sejak tahun 2009, luas lahan pertanian terus mengalami penyusutan 0,1 persen setiap tahunnya. Sejalan dengan meningkatnya petani gurem, rata-rata luas kepemilikan lahan ikut menurun. Penyusutan jumlah lahan inilah yang mendorong urgensi restrukturisasi kepemilikan lahan guna menunjang peningkatan kesejahteraan petani melalui reforma agraria. Rencana reforma agraria telah digaungkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun hingga kini perbandingan jumlah lahan petani Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga yaitu Thailand dan Vietnam. Ketimpangan kepemilikan tanah pertanian serta meningkatnya jumlah petani gurem menjadi alasan urgensi reforma agraria perlu dilakukan dengan segera. Usaha lain yang dapat dilakukan di tingkat desa adalah mengalokasikan lahan kolektif milik desa yang dapat dikelola oleh petani gurem dan pemuda yang berminat menjadi petani. Selain mengakomodir kebutuhan petani akan lahan, alokasi lahan desa juga menjadi usaha menumbuhkan kembali minat bertani yang lebih inovatif di kalangan pemuda. Langkah penyediaan lahan ini juga harus dibarengi dengan keterlibatan aparatur desa agar peruntukan lahan kolektif yang disediakan tidak diagregasi secara berlebih oleh oknum tertentu. Dari sisi konsumen, mendukung usaha perdagangan yang adil (fair trade) bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa membeli langsung komoditas hasil pertanian langsung dari petani atau membeli di pasar tradisional dengan harga yang layak. Perdagangan yang adil merupakan langkah kecil mewujudkan komunitas petani yang lebih baik. Bagi distributor, menuliskan asal-usul barang komoditas beserta nama petani yang menghasilkannya juga dapat diterapkan guna mendukung usaha kecil dan transparansi terhadap asal produk. Usaha tani di lahan sempit dipandang sebagai sesuatu yang kurang efisien karena komoditi yang dihasilkan tidak sebesar usaha tani dengan lahan besar dan skala luas. Faktanya, berdasarkan hasil kajian, usaha tani skala kecil juga cukup efisien dalam hal produksi. Dengan bantuan usaha dari berbagai sektor, petani gurem juga bisa meraih kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Referensi BPS. (2018). Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018. ISSN / ISBN : 978-602-438-255-1. BPS. (4 Januari 2021). Pola utama distribusi perdagangan beras, cabai merah, bawang merah, dan daging ayam ras tahun 2019 memiliki pola distribusidengan jumlah rantai perdagangan sebanyak 3 – 4 rantai. https://jatim.bps.go.id/pressrelease/2021/01/04/1164/pola-utama-distribusi-perdagangan-beras–cabai-merah–bawang-merah–dan-daging-ayam-ras-tahun-2019-memiliki-pola-distribusidengan-jumlah-rantai-perdagangan-sebanyak-3—–4-rantai-.html diakses 1 Juli 2021 Denis, Nicolas. & Valerio Dilda. (12 Mei 2020). Agriculture supply-chain optimization and value creation. https://www.mckinsey.com/industries/agriculture/our-insights/agriculture-supply-chain-optimization-and-value-creation# diakses 30 Juni 2021 Dwiartama, A. (2014). Investigating resilience of agriculture and food systems: insights from two theories and two case studies. PhD Thesis, University of Otago, New Zealand. Dwiartama, A. & Suheri, T. (2016). Pemuda, Identitas dan Resiliensi Komunal: Catatan atas Transformasi Sosial di Periurban Bandung. Jurnal Analisis Sosial AKATIGA 20(1-2): 197-215. Jannah, Miftahul; Hani, Evita Sholiha. (Mei 2019). Analisis Rantai Pasokan Cabai Merah di Kabupaten Banyuwangi. UNEJ e-Proceeding, [S.l.]. ISSN 2686-0783. Kumparan. (16 April 2021). KPPU Sebut Panjangnya Rantai Distribusi Bikin Harga Bahan Pokok Naik. https://kumparan.com/kumparanbisnis/kppu-sebut-panjangnya-rantai-distribusi-bikin-harga-bahan-pokok-naik-1vZ5eKDEggh diakses 29 Juni 2021. KPMI FH. (13 Januari 2018). Pembiayaan Petani Gurem: Strategi Mewujudkan Kesejahteraan Petani Indonesia. https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/2018/01/13/pembiayaan-petani-gurem-strategi-mewujudkan-kesejahteraan-petani-indonesia/ diakses 29 Juni 2021. Parjo. (24 Februari 2018). Meminimalkan Resiko Usaha Pada Petani Gurem. https://distanpangan.magelangkab.go.id/home/detail/meminimalkan–resiko-usaha-pada-petani-gurem-/224 diakses 30 Juni 2021. R Padjung. (2018). Improving agricultural commodity supply-chain to promote economic activities in rural area. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 157 012057, doi :10.1088/1755-1315/157/1/012057 Raditya, Dendy. (9 Juli 2020). Mengenal Fair Trade: Konsep dan Praktik Perdagangan yang Adil. https://chub.fisipol.ugm.ac.id/2020/07/09/mengenal-fair-trade-konsep-dan-praktik-perdagangan-yang-adil/ diakses 1 Juli 2021. Rohit Sharma, Anjali Shishodia, Sachin Kamble, Angappa Gunasekaran & Amine Belhadi. (2020) Agriculture supply chain risks and COVID-19: mitigation strategies and implications for the practitioners, International Journal of Logistics Research and Applications, DOI: 10.1080/13675567.2020.1830049 Sant, Levi Van. (2019). Land Reform and the Green New Deal. https://www.dissentmagazine.org/article/land-reform-and-the-green-new-deal diakses 1 Juli 2021. Saptana, Chairul Muslim, Sri Hery Susilowati. (25 Juni 2018). Manajemen Rantai Pasok Komoditas Cabai Pada Agroekosistem Lahan Kering Di Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 16 No. 1, Juni 2018: 19-41 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/akp.v16n1.2018.19-41. Susilowati, Sri H., and Mohammad Maulana. (2012). Luas Lahan Usaha Tani Dan Kesejateraan Petani: Eksistensi Petani Gurem Dan Urgensi Kebijakan Reforma Agraria. Analisis Kebijakan Pertanian, vol. 10, no. 1, 2012, pp. 17-30, doi:10.21082/akp.v10n1.2012.17-30. Tuma, Elias H. (3 Oktober 2013) Land reform. https://www.britannica.com/topic/land-reform diakses 1 Juli 2021.