Ghina Nur Inayah 0shares AKSI NYATA TOPIK 4. PERSPEKTIF SOSIOKULTURAL DALAM PENDIDIKAN INDONESIA Read More Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa FAO pada tahun 2017, merilis sebuah data yang memperkirakan jumlah kerugian yang dihasilkan dari sisa makanan dalam skala global diperkirakan mencapai kerugian sebesar 1,3 milyar ton pertahun hingga sekitar $ 1 Triliun. Sisa makanan atau food waste sudah menjadi masalah global dan kompleks. Masalah ini mempengaruhi lingkungan, ekonomi, dan juga sosial (Baysal & Ülkü, 2021). Pemborosan makanan artinya kita telah membuang-membuang sumber daya berharga yang digunakan untuk memproduksinya (Martin-Rios et al., 2021). Hasil kajian dari tim yang dibentuk Bappenas menyebutkan food loss dan food waste Indonesia mencapai 184 kg per orang per tahun atau secara total 48 juta ton dalam setahun (Huda, 2020). Berdasarkan data Kementerian (2022), komposisi sampah yang paling tinggi berasal dari sampah makanan. Berikut grafik beserta persentase masing-masing jenis komposisi sampah untuk data di tahun 2022. Gambar 1. Komposisi Sampah SIPSN pada tahun 2022 Informasi dari data diatas diketahui bahwa jenis food waste yang terbuang terdiri dari 30% makanan kemasan yang belum dibuka, 50% buah dan sayur, dan 20% dari makanan sisa yang tidak habis dimakan, artinya setengah dari food waste berasal dari sayuran dan buah. Data dari Kemlhk (2019), menyebutkan bahwa sampah makanan merupakan jenis sampah terbanyak yang timbul, yaitu 42,02% persen dari seluruh jenis sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia. Pada tingkat global Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar kelima setelah Australia, Bangladesh, China, India (UNEP, 2021). Food waste belum menjadi perhatian yang memadai di Indonesia, meskipun memiliki potensi yang besar untuk dikelola dengan lebih baik. Sampah makanan menjadi limbah rumah tangga yang dapat berdampak merugikan dari sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial (Susilo et al., 2021). Fenomena produksi sampah makanan yang berlebih ini dapat menyebabkan pencemaran lebih serius terutama dalam pencemaran air dan emisi gas sehingga dapat menyebabkan efek rumah kaca dari pemanasan global. Dampak lain yang ditimbulkan dari hal tersebut dapat merambah dalam aspek ekonomi sosial seperti, mengurangi pendapatan petani serta meningkatkan pengeluaran konsumen, menyisakan makanan namun masih banyak diluar sana yang kelaparan, sehingga menyebabkan adanya ketimpangan karena penyaluran makanan yang tidak merata dari efek food waste itu sendiri (Yeo, Chopra, et al., 2019). Dalam konteks tersebut, kurangnya kesadaran masyarakat tentang masalah lingkungan serta kurang berkembangnya sistem pengelolaan limbah termasuk sampah makanan menjadikan infrastruktur pembuangan dan daur ulang yang kurang memadai. Selain itu, masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengakses media sosial untuk mencari informasi mengenai pengelolaan limbah dan sampah yang diproduksi menjadi kendala dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan (Dowarah et al., 2022). Meskipun kesadaran mengenai menjaga lingkungan sangat tinggi, namun masih banyak informasi mengenai food waste yang tidak umum bagi masyarakat. Sebagai contoh masih banyak masyarakat yang tidak ingin membeli ugly food atau makanan yang bentuknya kurang menarik karena dianggap makanan tersebut tidak layak untuk dimakan, dan masyarakat masih banyak yang belum dapat membedakan informasi pada kemasan makanan, seperti expired date, best before date, used by date (Langley et al., 2021). Selain itu, kurangnya perhatian terhadap pengurangan kebiasaan konsumerisme menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dalam membeli kebutuhan secukupnya saja agar tidak memproduksi makanan sisa yang berlebihan masih kurang. Sehingga karena kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai hal tersebut, menimbulkan kemauan untuk berpartisipasi dalam tindakan pencegahan produksi food waste menjadi sangat minim. Perilaku atau aksi (action) yang masih rendah seperti sering menyisakan makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti psikologis, sosial, situasional, demografis, dan ekonomi, dan lainnya. Peneliti lain menyatakan bahwa pengurangan pemborosan makanan dapat diberikan intervensi berupa teknologi yang dapat membantu, berbagi, dan mempertahankan ketahanan pangan, informasi mengenai kemasan dan penyimpanan makanan, dan membagikan informasi mengenai isu food waste beserta penanggulangannya (Leal Filho et al., 2023). Meskipun, konsumen muda atau remaja telah dianggap memiliki kepedulian lingkungan yang tinggi. Namun, faktanya dalam praktinya mereka terkadang belum cukup kuat dan belum mampu untuk bertindak lebih berkelanjutan. Sehingga adanya kesenjangan antara sikap dan perilaku. Hal ini terbukti dari jumlah sisa sampah makanan yang signifikan (Joint Research Centre, 2023). Generasi Z cenderung memiliki keinginan untuk memasak makanan sendiri yang rendah dan kurangnya kemampuan untuk mengurangi atau menggunakan sisa makanan. Selain itu, sisa makanan yang dihasilkan oleh remaja melalui perilaku dan aktifitas konsumsi makanan yang tidak berkelanjutan berasal dari ukuran porsi makanan yang tidak direncanakan sehingga tidak sesuai dengan porsi makan mereka dan kurangnya kemampuan dalam mempersiapkan makanan sendiri (Ozanne et al., 2022). Pada aspek sosial, remaja cenderung enggan untuk menghabiskan makanan mereka di tempat umum ataupun di depan teman-teman mereka. Berbagai alasan dapat menjadi penyebab kebiasaan aktifitas kurang baik ini, salah satunya adalah takut dianggap rakus oleh orang disekitar mereka. Namun, perilaku yang dilakukan tersebut dapat meningkatkan produksi food waste yang berdampak pada lingkungan (Garcia Herrero, 2023). Diperlukan program untuk meningkatkan kesadaran dari masyarakat baik berupa sosialiasi secara langsung, melalui media sosial, hingga dibangun melalui pembelajaran di sekolah. Pentingnya meningkatkan kesadaran melalui pendidikan untuk keberhasilan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya pada no 2 dan 12 yaitu mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan serta konsumsi, produksi yang bertanggung jawab. Masalah yang ditimbulkan dari makanan ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan sangat umum bagi peserta didik. Namun, biasanya tidak dipelajari secara khusus di sekolah. Selain itu, peran akademisi dalam membangun identitas generasi muda untuk peduli terhadap lingkungan agar dapat menghadapi dan mengatasi permasalah lingkungan, serta perilaku yang masih kurang bertanggung jawab dari remaja terhadap makanan mereka yang dapat berdampak pada jangka panjang dapat diminimalisir (Derqui et al., 2020). Peneliti lain mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa perkembangan yang ideal untuk pendidikan sistem pangan dan dapat meningkatkan konsumsi sayur dan buah, dan perilaku membuang makanan selama makan siang di sekolah (Antón-Peset et al., 2021). Dengan demikian, perlu adanya materi sistem pangan yang dapat mensosialisasikan dampak dari sisa makanan dan bagaimana cara mengurangi food waste tersebut. Melalui kurikulum merdeka, yang memiliki kebebasan kepada guru dalam menentukan materi beserta kedalamannya diharapkan sistem pangan berkelanjutan ini dapat dibelajarkan pada tingkat sekolah. Untuk menyampaikan ESD yang efektif, diperlukan pedagogi yang sesuai. Perubahan dari pembelajaran yang berpusat pada guru ke pendidik, dari pembelajaran individu ke pembelajaran kolaboratif, dari pembelajaran yang didominasi teori ke pembelajaran yang berorientasi pada praktik (Yeo, Oh, et al., 2019). STEM dinilai merupakan salah satu cara yang sesuai dalam membelajarkan isu sustainable development (Kanapathy et al., 2021). Kompetensi STEM adalah pendekatan pembelajaran yang mengacu pada sains, teknologi, teknik, dan matematika. Pembelajaran STEM dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilannya dalam pemecahan masalah kompleks, komunikasi, serta kolaborasi (Rukoyah et al., 2020). Untuk itu perlu diperkenalkan sistem pangan berkelanjutan, yaitu membelajarkan tentang dampak sisa makanan terhadap lingkungan, cara pencegahan, dan pengelolaan sisa makanan pada materi perubahan lingkungan dimana diintegrasikan dengan model STEM. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan peranan dan pengaruh penerapan pembelajaran sistem pangan berkelanjutan dalam meningkatkan sustainable awareness dan action peserta didik. Penelitian ini menggunakan desain penelitian pretest-posttest non equivalent control group yang merupakan bagian dari penelitian pada metode quasi experimental research. Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang berasal dari sekolah menengah atas. Pada kelompok kontrol menggunakan satu kelas yang terdiri dari 36 peserta didik, sedangkan pada kelompok eksperimen menggunakan 2 kelas dengan total 72 orang peserta didik. Data penelitian terdiri dari data kuantitatif yang diambil menggunakan kuesioner, kuisioner terdiri dari 2 tahapan yaitu untuk melihat kesadaran dan aksi dari peserta didik yang mana masing-masing terdiri dari 3 indikator utama. Pada kuesioner kesadaran terdiri dari aspek pengetahuan, sikap, dan keinginan untuk berpartisipasi, sedangkan pada kuesioner aksi terdiri dari aspek kompetensi aksi, aksi yang telah dilakukan di masa lalu, masa kini, dan hal-hal yang akan dilakukan di masa yang akan datang, dan dampak aksi. Data kualitatif diperlukan sebagai pendukung data kuantitatif yaitu berupa wawancara terhadap peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari penerapan pembelajaran sistem pangan berkelanjutan terhadap perubahan peningkatan sustainable awareness dan action dari peserta didik. Hampir 80% peserta didik belum memahami bagaimana cara mengelola sisa makanan, bagaimana dampak sisa makanan untuk lingkungan, dan pentingnya tanggung jawab akan produksi dan konsumsi makanan. Penelitian ini berimplikasi bahwa dengan ilmu yang didapat melalui pembelajaran sistem pangan berkelanjutan, peserta didik dapat berkontribusi dalam tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan zero food waste. Terdapat perbedaan besar dari kelas yang dibelajarkan sistem pangan berkelanjutan dengan kelompok kelas yang hanya mempelajari perubahan lingkungan saja. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan makan peserta didik yang lebih menghargai makanan mereka dan selalu menghabiskan makanan tanpa menyisakannya, sedangkan pada kelompok kelas yang tidak dibelajarkan mereka masih sering menyisakan makanan karena mereka berfikir bahwa sisa makanan tidak membawa pengaruh buruk yang signifikan terhadap lingkungan dan masih kurangnya rasa tanggung jawab terhadap makanan yang telah mereka beli atau bawa dari rumah. Sementara itu, faktanya bahwa gas metana yang dihasilkan dari penumpukan sampah organik yang sebagian besar berasal dari tumpukan sisa makanan menjadi jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2 yang dapat menyebabkan pemanasan global, selain itu sampah makanan dapat menyebabkan permasalahan dalam aspek kesehatan, hingga permasalahan sosial. Hal ini terlihat bahwa pembelajaran perubahan lingkungan saja belum cukup untuk meningkatkan kesadaran maupun aksi dari peserta didik mengenai isu food waste. Sustainable awareness dan action sangat diperlukan untuk mencapai SDGs. Fokus pada penelitian ini terutama pada poin 2, 12, dan 13 yaitu mengenai pemberantasan kelaparan, meningkatkan sikap tanggung jawab dalam konsumsi dan produksi, serta menjaga lingkungan dalam mencegah perubahan lingkungan. Tujuan dari pembangunan berkelanjutan ini juga merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran pada kurikulum merdeka yang perlu untuk dicapai. Sehingga, dengan ilmu yang didapat melalui pembelajaran sistem pangan berkelanjutan ini peserta didik dapat berkontribusi dalam tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.