Maureen Amara Prasetyo 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Awas, Bajumu Dapat Menghancurkan Bumi! oleh Maureen Amara Prasetyo Dari dulu hingga sekarang, mode menjadi aspek yang penting dalam kehidupan kita, baik itu untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Sekarang pun kita sudah lebih mudah membeli dan mencari baju yang kita inginkan dengan harga yang tidak terlalu mahal. Nampaknya perkembangan industri mode ini sangat luar biasa, namun sebenarnya banyak rahasia di balik keuntungan yang kita rasakan ini. Industri mode ternyata memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi bumi dan kita, penghuninya. Industri mode merupakan salah satu industri utama penyebab pencemaran di dunia. Sekarang ini, kita memproduksi pakaian 400% lebih banyak dari 20 tahun yang lalu, yang berarti 80 miliar pakaian diproduksi setiap tahunnya. Tentunya dengan semakin banyaknya pakaian yang diproduksi, maka dampak yang dirasakan juga semakin besar dan banyak. Sebenarnya, mengapa pakaian dapat merusak lingkungan? Ada banyak hal yang menjadi penyebabnya, dan yang terutama adalah emisi karbon dioksidanya, limbah pakaian yang dibuang, dan limbah tekstil yang dihasilkan setiap tahunnya. Bahkan saat ini, produksi pakaian menyumbang 10% dari emisi karbon manusia. Padahal, untuk anak-anak remaja jaman sekarang, pakaian menjadi hal yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Baik itu untuk terlihat bagus di mata orang lain, atau semata-mata kesenangan pribadi saja. Tiga tahun merupakan rata-rata masa pakai pakaian saat ini. Hal ini disebabkan karena adanya “Fast Fashion”. Fast Fashion merupakan produksi massal pakaian sekali pakai yang murah. Mulanya, industri-industri berpikir bahwa produksi massal yang cepat, dikombinasikan dengan tenaga kerja yang murah, akan membuat pakaian lebih murah untuk pembeli. Sehingga, industri-industri dapat mempertahankan kesuksesan ekonominya. Namun, yang terjadi malah penurunan kualitas pakaian. Ditambah lagi, biasanya Fast Fashion ini diproduksi di negara-negara Asia (Cina, Bangladesh, dan India), di mana sebagian besar pabrik menggunakan batu bara dan gas. Kedua bahan bakar tersebut menghasilkan emisi karbon yang paling kotor. Karena kebanyakan pakaian hanya bisa dipakai beberapa kali, maka kita menghasilkan lebih banyak limbah tekstil. Hasil survei pun mengatakan bahwa wanita hanya memakai 20% sampai 30% dari pakaian di lemari mereka. Sisanya? Tidak dipakai hingga kekecilan, dan kemudian dibuang. Padahal, serat sintetis yang digunakan dalam pakaian adalah serat plastik yang tidak dapat terurai secara alami dan membutuhkan waktu hingga 200 tahun untuk terurai. Tak hanya itu, dengan semakin berkembangnya industri mode, industri-industri mode terus mencari tren baru. Sayangnya, tren mode ini berubah-ubah dengan sangat cepat, tergantung pada promosi, ketenaran, dan selera masyarakat saat itu. Artinya, 85% tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah setiap tahun karena perubahan mode yang sangat cepat ini. Setelah orang-orang selesai dengan pakaian tren musim ini, mereka beralih ke yang berikutnya. Saat ini, merek-merek rata-rata merilis 52 koleksi per tahun, dan bukan 2 musim seperti biasanya. Artinya, semakin banyak pula limbah pakaian yang dihasilkan. Semua hal itu sudah cukup mengkhawatirkan. Namun, masih banyak dampak yang disebabkan oleh industri mode selain limbah yang dihasilkannya. Industri mode menghasilkan banyak gas rumah kaca karena karena energi yang digunakan selama produksi, manufaktur, dan transportasi pakaian yang dibeli setiap tahun. Serat sintetis murah yang digunakan pada pakaian pun mengeluarkan gas seperti N2O, yang 300 kali lebih merusak daripada CO2. Industri mode juga sangat berperan dalam rusaknya hutan hujan. 70 juta pohon ditebang setiap tahun untuk membuat kain-kain berbahan dasar kayu. Padahal, hilangnya hutan-hutan ini mengancam ekosistem dan masyarakat tradisional yang tinggal di dekat hutan. Di Indonesia pun, deforestasi hutan hujan skala besar telah terjadi selama dekade terakhir. Industri mode juga sangat berpengaruh pada polusi air, baik itu di sungai maupun laut. Pertama, untuk sungai. Di sebagian besar negara di mana garmen diproduksi, air limbah beracun dari industri tekstil yang tidak diolah, dibuang langsung ke sungai. Air limbah mengandung timbal, merkuri, dan arsenik, yang sangat berbahaya bagi kehidupan air dan kesehatan masyarakat yang tinggal di tepi sungai tersebut. Industri mode juga merupakan konsumen air utama, dan menggunakan 1,5 triliun liter air setiap tahunnya. Padahal, 100 juta orang di India dan 750 juta orang di dunia tidak memiliki akses air minum. 190.000 ton serat plastik mikro tekstil juga berakhir di lautan setiap tahun. Serat-serat mikro ini dilepaskan ke dalam air, dan masuk ke lautan kita. Organisme air kecil menelan serat mikro tersebut, kemudian dimakan oleh ikan kecil, dan dimakan oleh ikan yang lebih besar, sehingga akhirnya manusia ikut mengonsumsi plastik. Tak hanya bagi lingkungan, kita sudah seringkali mendengar mengenai kondisi kerja yang buruk. Kebanyakan baju-baju kita dibuat di negara-negara yang hak pekerjanya dibatasi atau hampir tidak ada. Sayangnya, kita tidak bisa berharap bahwa para pemerintah membantu para pekerja, kecuali kita para konsumen mendorong untuk sebuah perubahan. Banyak industri yang mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari penduduk miskin yang tidak punya pilihan selain bekerja dengan gaji berapapun, dan dalam kondisi kerja apapun. Di industri-industri ini, para pekerja diberi upah 5 kali lebih sedikit daripada yang sebenarnya dibutuhkan seseorang untuk hidup dengan nyaman. Mereka juga dipaksa bekerja 14 hingga 16 jam sehari, 7 hari seminggu. Upah pekerja sangat rendah sehingga mereka tidak dapat menolak lembur dan mereka akan dipecat jika mereka menolak untuk bekerja lembur. Dalam beberapa kasus, lembur bahkan tidak dibayar sama sekali. Sudah ada beberapa kasus dimana para pekerja dipaksa bekerja di dalam lingkungan kerja dengan kondisi kesehatan dan keselamatan yang tidak dapat diterima. Mereka dipaksa bekerja di tempat yang tidak ada ventilasi, menghirup zat beracun, dan menghirup debu serat atau pasir yang diledakkan di gedung yang tidak aman. Beberapa kasusnya adalah; di Dhaka, 1.134 pekerja garmen kehilangan nyawa mereka ketika sebuah pabrik tekstil runtuh pada 2013, 114 orang tewas dalam kebakaran di perusahaan Bangladesh Tazreen Fashions pada 2013, dan 50 pekerja meninggal dan 5000 lainnya sakit karena menghirup pasir di pabrik denim di Turki. Banyak juga kasus dimana pekerja anak digunakan. Contohnya, di India Selatan, 250.000 gadis bekerja di bawah skema Sumangali, di mana gadis-gadis muda dikirim dari keluarga miskin untuk bekerja di pabrik tekstil selama tiga atau lima tahun dengan imbalan upah dan pembayaran di akhir untuk membayar mas kawin mereka. Mereka bekerja dan hidup dalam kondisi yang dapat diklasifikasikan sebagai perbudakan modern. Tidak hanya pekerja anak, namun juga banyak kasus kerja paksa; salah satu contohnya adalah di Uzbekistan, dimana setiap musim gugur, pemerintah memaksa lebih dari satu juta orang untuk meninggalkan pekerjaan tetap mereka dan pergi memetik kapas. Lalu, sebagai seorang remaja, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah dampak buruk yang disebabkan oleh industri mode ini pada lingkungan dan para pekerjanya? Hal yang paling mudah adalah dengan membeli baju-baju preloved. Saat ini sudah banyak toko-toko yang menjual baju preloved dengan kualitas dan model yang bagus pula. Kita harus mengingat bahwa second-hand bukan berarti bajunya sudah lusuh dan rusak, dan meskipun merasa kotor karena sudah pernah dipakai orang lain, apabila dicuci dengan bersih, pasti bisa digunakan kembali. Daripada membeli baju yang baru, kita bisa mencegah terjadinya penumpukan limbah dengan cara ini. Selain itu, daripada membuang baju lama kita yang sudah kekecilan atau sudah tidak terpakai lagi dan masih dalam kondisi yang baik, lebih baik bila kita bisa memberikannya kepada toko-toko khusus yang memang menjual baju-preloved. Daripada baju-baju tersebut langsung dibuang atau dibiarkan begitu saja, kita bisa memanfaatkannya sekaligus menyelamatkan bumi. Kita juga harus bijak dalam mengikuti tren-tren yang ada agar baju kita bisa bertahan lebih lama. Dengan menjadi tergoda oleh tren-tren ini, maka kita menjadi lebih boros dalam pengeluaran untuk membeli baju. Maka, kita harus membeli baju yang kita yakin bisa dipakai untuk waktu yang cukup lama, dibandingkan dengan membeli baju sesuai tren dan akhirnya malah tidak terpakai. Atau, kita bisa membeli baju sesuai tren yang kita yakin akan bertahan lama. Meskipun mahal, namun sebaiknya kita membeli baju yang memiliki kualitas bagus. Tidak perlu banyak, namun setidaknya berasal dari merek yang sudah pasti berkualitas. Dengan melakukan ini, biasanya baju kita bisa bertahan lebih lama, dan akan lebih nyaman dipakai. Artinya, baju bisa dipakai berkali-kali, dan tidak akan cepat dibuang. Jika tidak ingin membeli baju baru yang lebih mahal, maka kita juga bisa memperbaiki baju yang sudah rusak atau kekecilan untuk digunakan lagi. Tidak hanya mengurangi sampah, namun juga bisa mengembangkan keterampilan menjahit kita. Jika baju sudah tidak bisa dipakai lagi, kita bisa daur ulang sebagai hal lain seperti disumbangkan kepada panti asuhan dan orang-orang yang membutuhkan atau digunakan sebagai lap sebagai alat membersihkan perabot rumah tangga. Hal kelima yang bisa kita lakukan adalah dengan bijak memilih merek baju. Kita harus mencari merek yang sudah memiliki bukti pasti bahwa para pekerjanya diperlakukan dengan baik dan semua hak mereka dipenuhi, ikut serta dalam melestarikan dan menjaga lingkungan, serta memakai bahan-bahan baik di pakaiannya. Sudah banyak merek yang memperkenalkan kegiatan-kegiatan mereka untuk menjaga bumi, serta ikut serta dalam berkembangnya para pekerja serta petani yang menyediakan bahan untuk pakaian mereka. Kita bisa membantu mereka dengan memilih produk dari merek-merek ini. Hal ini bisa kita lakukan dengan mencari informasi terlebih dahulu di website mereka, atau di berita. Cara lainnya adalah dengan menjadi awas saat kita sedang membeli baju. Carilah baju yang dibuat di negara-negara yang memiliki peraturan lingkungan yang lebih ketat untuk pabrik (Eropa, Kanada, AS, dan sebagainya). Dengan membeli baju yang dibuat di negara ini, artinya mereka tidak mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan mereka. Kita juga harus memilih baju yang dibuat dari serat organik dan serat alami, karena mereka tidak memerlukan bahan kimia untuk diproduksi. Artinya, memakai baju ini tidak akan membuat kulit kita infeksi atau sakit, serta tidak membahayakan lingkungan karena bahan kimia yang membahayakan ini. Kita bisa lihat hal-hal ini pada label yang ada pada baju-baju ini. Tindakan kita juga tidak hanya sebatas pada merek dan baju. Kita juga bisa ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung hak asasi para pekerja serta melestarikan lingkungan. Contohnya adalah dengan menandatangani petisi yang dibuat agar mendukung tindakan yang benar. Hal ini bisa dilakukan oleh siapapun dan kapanpun, terlepas dari umur dan tingkat pendidikan. Melihat dampak buruk yang disebabkan oleh industri mode, kita sudah seharusnya bisa berinisiatif untuk melakukan hal yang benar. Walaupun rasanya sebagai seorang remaja sulit untuk bisa ikut melakukan hal-hal diatas karena ini terkait fashion, namun perubahan selalu berawal dari hal-hal kecil. Kita tidak boleh merasa takut untuk berupaya melakukan hal yang benar karena kuatir tentang pendapat dan caci makian dari orang lain. Referensi:  https://truecostmovie.com/learn-more/environmental-impact/  https://truecostmovie.com/learn-more/environmental-impact/  https://zady.com/thenewstandard?Fashion%20x%20Climate%20Change  Langley, E., Durkacz, S., & Tanase, S. (2013). Clothing longevity and measuring active use. Banbury, Oxon: Wrap.  https://www.wsj.com/articles/SB10001424127887324240804578415002232186418  https://www.bbc.com/future/article/20200710-why-clothes-are-so-hard-to-recycle https://www.amazon.com/Overdressed-Shockingly-High-Cheap-Fashion/dp/1591844614?tag=thehuffingtop-20 https://amberoot.com/blogs/blog/how-wearing-clothes-contribute-to-deforestation-and-what-can-you-do-about-it  https://en.wikipedia.org/wiki/Deforestation_in_Indonesia https://www.aalto.fi/en/news/the-cost-of-fast-fashion-up-to-92-million-tonnes-of-waste-and-79-trillion-litres-of-water https://www.theguardian.com/sustainable-business/2015/mar/20/cost-cotton-water-challenged-india-world-water-day  https://www.eunomia.co.uk/reports-tools/plastics-in-the-marine-environment/ Minimum Wage vs. Living Wage’ (Clean Clothes Campaign) http://www.cleanclothes.org/livingwage/living-wageversus-minimum-wage 5 Ibid., (n.66) Sweatshops in Bangladesh https://en.wikipedia.org/wiki/2013_Dhaka_garment_factory_collapse  https://www.theguardian.com/world/2013/dec/08/bangladesh-factory-fires-fashion-latest-crisis The Solidarity Committee of Sandblasting Laborers, http://www.kotiscileri.org Update on FWF’s Efforts to Eliminate Forced Labour in South India’ (Fair Wear Foundation) http://www.fairwear.nl/ul/cms/fck-uploaded/documents/countrystudies/india/sumangaliFWFupdatemay2012.pdf Jasmin Malik Chua, ‘H&M Sourcing Child Picked Cotton, Claims Anti-Slavery Group’ (Ecouterre,, 20 December 2012) http://www.ecouterre.com/hm-sourcing-child-picked-uzbek-cotton-claims-anti-slavery-group/