fbpx
ppok

Asuhan Keperawatan dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada ny.T di Ruang Perawatan Dahlia II RSUD Waled Kab.Cirebon

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK PADA NY.R DI RUANGAN DAHLIA II RSUD WALED KABUPATEN CIREBON

Untuk Memenuhi Tugas Individu dalam Praktik Profesi Keperawatan Medikal Bedah

Dosen Pengampu : Rahayu Setyowati, S.Kp.,M.Kep

Disusun Oleh :
M.Fahad Al-Farez,S.Kep

[24149011088]

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA

          2024

BAB I
Pendahuluan

 

Sumber : https://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/kenali-penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah kondisi paru-paru yang ditandai dengan obstruksi aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap iritan yang merusak paru-paru, seperti asap rokok dan polusi udara. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyebab kematian ketiga di seluruh dunia, yang menyebabkan 3,23 juta kematian pada tahun 2019. PPOK pada mereka yang usia di bawah 70 tahun terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah hampir 90% kematian diakibatkan oleh penyakit ini. Gejala penyakit ini yang paling umum  adalah kesulitan berbapas, batuk kronis (kadang-kadang disertai dahak) dan merasa lelah. PPOK termasuk dalam Rencana Aksi Global WHO untuk Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) dan Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (WHO, 2023).

Tahun 2020, Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease memperkirakan secara epidemiologi di tahun 2060 angka prevalensi PPOK akan terus meningkat karena meningkatnya jumlah angka orang yang merokok. Di Indonesia berdasarkan data riset kesehatan dasar 2013 prevalensi ppok mencapai 3,7% atau sekitar 9,2 juta jiwa yang mengalami PPOK, Penyakit ini bukan termasuk penyakut menular namun PPOK penyakit paru obstruktif yang dapat diobati, sehingga tatalaksananya lebih diupayakan pada pencegahan perburukan gejala maupun fungsi paru. PPOK disebabkan karena adanya korelasi erat antara paparan partikel atau gas berbahaya yang signifikan dan meningkatnya respons utama pada saluran napas dan jaringan paru (Rokom, 2021).

Pada saat pengkajian hari senin 05 November 2024 Pasien Mengatakan sesak nafas 2 minggu yang lalu sesak dirasakan  semakin memberat batuk (+) dahak selama 2 minggu, Berat badan berkurang (-),demam (-), BAB dan BAK Tidak Ada Keluhan, diindikasi rawat inap dikarenakan sesak napas dengan SPO2 : 92 %. Dengan demikian menyusun Laporan Pendahuluan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Ny.R Di Runagan Dahlia II Rsud Waled Kabupaten Cirebon untuk mengetahui kelola kasus tersebut.

 

1.2. RUMUSAN MASALAH

 

Berdasarkan Latar belakang masalah diatas, Rumusan Masalah adalah “Bagaimana Pengelolaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Ny.R Di Runagan Dahlia II Rsud Waled Kabupaten Cirebon ?”.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk Tujuan umum dari Laporan Pendahuluan ini adalah untuk mendeskripsikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Ny.R Di Runagan Dahlia II Rsud Waled Kabupaten Cirebon.

1.3.2.      Tujuan Khusus

Adapun Tujuan Khusus sebagai Berikut:

  1. Memahami Pengertian pada PPOK
  2. Memahami Epidemologi pada PPOK
  3. Memahami Etiologi pada PPOK
  4. Memahami Patofisiologi pada PPOK
  5. Memahami Gejala Klinik pada PPOK
  6. Memahami Komplikasi pada PPOK
  7. Memahami Pemeriksaan Penunjang pada PPOK
  8. Memahami Pemcegahan Pada PPOK
  9. Memahami Pengkajian Keperawatan , pemeriksaan diagnostik, renacana keperawatan , tujuan, kriteria hasil, intervensi , rasionalisasi pada PPOK

1.4.Manfaat

Adapun Manfaat Laporan Pendahuluan ini ialah:

  1. Bagi Tenaga Kesehatan: Memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan pengelolaan pasien dengan PPOK.
  2. Bagi Pasien : Meningkatkan kesadaran pasien dan keluarga mengenai PPOK, termasuk gejala, penyebab, dan pentingnya pengelolaan yang tepat untuk mencegah perburukan kondisi.
  3. Bagi Institusi Kesehatan : Menjadi acuan dalam pengembangan program pencegahan dan pengendalian PPOK di rumah sakit, serta meningkatkan kolaborasi antar tim medis dalam penanganan pasien.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. KONSEP PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Gambar: PPOK
Perbedaan Paru-paru Sehat dengan PPOK

Sumber : https://www.philipeng.com.sg/ms/conditions/copd/

2.1.1.  Pengertian Penyakit Paru Obstrukstif Kronis

Penyakit Paru Obstrukstif Kronik adalah Penyakit paru yang ditandai dengan keterbatas aliran udara ke paru dan dapat disebabkan oleh paparan zat berbahaya. Penyakit ini merupakan penyebab kematian umum di seluruh dunia. 

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum dan dapat diobati yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara progresif dan kerusakan jaringan. Penyakit ini terkait dengan perubahan struktural paru-paru akibat peradangan kronis akibat paparan partikel atau gas berbahaya dalam jangka panjang, yang paling umum adalah asap rokok. Peradangan kronis menyebabkan penyempitan saluran napas dan penurunan daya tolak paru. Penyakit ini sering kali disertai gejala batuk, dispnea, dan produksi sputum. Gejalanya dapat berkisar dari asimtomatik hingga gagal napas. (Agarwal, Raja, & Brown, 2023).

Sedangkan menurut Hastuti (2023) Penyakit radang paru-paru kronis yang menyebabkan aliran udara terhambat dari paru-paru disebut dengan PPOK. Dengan gejala yang meliputi kesulitan bernapas, batuk, produksi lendir (dahak), dan mengi. Hal ini disebabkan oleh paparan jangka panjang terhadap gas atau partikel yang mengiritasi, paling sering dari asap rokok. Orang dengan COPD atau PPOK ini berisiko lebih tinggi terkena Penyakit jantung, kanker paru-paru dan berbagai kondisi lainnya.

Ciri-ciri PPOK meliputi hilangnya elastisitas, saluran napas meradang dan menyempit, alveoli membesar dan rusak, serta lendir kental.

Sumber : https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/8709-chronic-obstructive-pulmonary-disease-copd

Emfisema dan bronkitis kronis adalah kedua kondisi yang paling umum dengan berkontribusi terhadap PPOK. Kedua kondisi tersebut ini biasanya terjadi bersamaan dan dapat bervariasi dalam tingkat keparahan di antara individu dengan PPOK. Meskipun PPOK adalah penyakit progresif yang memburuk dari waktu ke waktu, PPOK dapat diobati. Dengan manajemen yang tepat, kebanyakan orang dengan COPD dapat mencapai kontrol gejala dan kualitas hidup yang baik, serta pengurangan risiko kondisi terkait lainnya (Hastuti, 2023).

Menurut Kemenkes RI ( 2024)  bahwa Infeksi pada saluran udara menuju paru-paru yang menyebabkan pembengkakan dinding bronkus dan produksi cairan di saluran udara berlebih disebut bronkitis sedangkan Emfisema adalah kondisi rusaknya kantung-kantung udara pada paru-paru yang terjadi secara bertahap.

2.1.2. Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan kondisi yang banyak terjadi di seluruh belahan dunia, mulai berbagai penelitian epidemiologi, penderita PPOK diperkirakan mencapai 10 % pada populasi usia 40 tahun atau lebih. Dengan seiring bertambah usia maka risiko PPOK meningkat.

Adapun Prevelensi global diperkirakan berkisar antara 7 s.d 19%. Prevalensi pada laki-laki diperkirakan lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini kemungkinan terjadi karena angka merokok pada pria lebih tinggi (Mosenifar, 2020).

Pada Tahun 2019 WHO menempatkan PPOK di peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian paling sering di seluruh dunia, terutama dinegara berkembang (Agarwal, Raja, & Brown, 2023). Sedangkan di asia tenggara diperkirakan prevelensi PPOK sebesar 6,3% dengan prevalensi tertinggi di negara vietnam (6,7%) (WHO, 2020). PPOK diperkirakan terjadi lebih banyka pada laki-laki (11,8%) dibandingkan wanita (8,5%)  di amerika serikat, prevalensi emfisema dilaporkan sebesar 18 kasus per 1000 orang dan bronkitis sekitar 34 kasus per 1000 orang (Mosenifar, 2020). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 melaporkan bahwa orang yang merokok setiap hari mencakup 24,3% penduduk usia di atas 10 tahun. Dalam Riskesdas ini, diperkirakan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di dunia. WHO melaporkan bahwa PPOK menyebabkan 3,23 juta kematian pada tahun 2019. Hampir 90% kematian PPOK terjadi pada kelompok usia di bawah 70 tahun. Tingkat kematian yang lebih tinggi dilaporkan pada negara berpenghasilan rendah dan menengah, seperti Indonesia. Selain kematian, PPOK juga akan mengganggu kualitas hidup pasien. PPOK menyebabkan gejala pernapasan yang persisten dan progresif, termasuk kesulitan bernapas, batuk, dan produksi dahak. Pasien PPOK sering mengalami eksaserbasi dan akan mengalami penurunan produktivitas bermakna dalam hidupnya. (WHO, 2022).

 

2.1.3.  ETIOLOGI

Etiologi pada penyakit Paru Obstruktif Kronik  adalah infeksi kronik pada saluran napas. Inflamasi ini dapat terjadi akibat paparan asap rokok, polusi udara, ataupun defiensi alfa 1 antitripsin..

Adapu etiologi PPOK diantaranya Paparan Asap Rokok ,Paparan asap polusi udara, defisiensi alfa antitripsin berikut penjelasannya:

  1. Paparan Asap Rokok : Paparan asap rokok yang menyebabkan PPOK dapat terjadi pada perokok aktif ataupun pasif paparan asap rokok berkontribusi hingga 90% sebagai penyebab PPOK (Agarwal, Raja, & Brown, 2023).
  2. Paparan Asap Polusi Udara: PPOK juga dapat terjadi pada pasien yang tidak pernah terpapar asap rokok sama sekali seumur hidupnya. Kerusakan struktur paru yang menyebabkan PPOK pada kelompok pasien tersebut biasanya disebabkan oleh paparan asap polusi dari aktivitas memasak tanpa memperhatikan ventilasi udara yang baik atau pada kelompok pasien sehari-harinya telah terbiasa terpapar polusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan bermotor(Mosenifar, 2020).
  3. Defisiensi Alfa- 1 Antitripsin : beberapa literatur juga melaporkan bahwasa defisiensi alpha – 1 antitrypsin meningkatkan risiko PPOK. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh kecenderungan genetik yang mengatur produksi alpha-1 antitrypsin (SERPINA1) sehingga dapat timbul PPOK secara prematur mulai dari usia 40 tahun(Strange, 2020), Defisiensi alfa- 1 Antitripsin  adalah penyakit keturanan yang terjadi akibat kekurangan atau tidak adaya protein alfa-1 antitripsin dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan gangguan di paru-paru dan hati. Umumnya, penderitanya mulai merasakan kemunculan gejala pada usia 20 s.d 50 tahun. Normalnya, protein alfa-1 antitripsin diproduksi oleh hati. Protein ini berperan penting dalam melindungi paru-paru dan hati dari infeksi atau iritasi yang dapat merusak kedua organ tersebut. kan tetapi, pada defisiensi alfa-1 antitripsin, terjadi perubahan atau mutasi pada gen tertentu. Mutasi gen tersebut membuat hati memproduksi protein alfa-1 antitripsin lebih sedikit atau bahkan tidak menghasilkan protein tersebut sama sekali. Saat tubuh kekurangan protein ini, paru-paru dan hati akan lebih rentan mengalami kerusakan. (Piittara, 2022).
  4. Penggunaan Narkotika: Emfisema sebagai salah satu jenis PPOK dapat terjadi pada penggunaan obat-obat terlarang, seperti Methadone, cocaine, atau heroin. Hal ini disebabkan karena adanya zat dalam obat-obatan tersebut seperti talc, cotton fibers, cornstarch, atau selulosa yang merusak struktur vaskular pada paru dan menimbulkan emfisema(Mosenifar, 2020).
  5. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) : Infeksi HIV telah dilaporkan sebagai faktor risiko independen terjadinya PPOK tanpa dipengaruhi variabel lain seperti usia, paparan asap rokok, atau penggunaan obat-obatan terlarang.(Agarwal, Raja, & Brown, 2023)
  6. Autoimun : Penelitian pada model hewan coba menunjukkan adanya autoantibodi yang terlibat pada perkembangan patogenesis PPOK.(Wen L, 2018).

2.1.4. Patofisiologi

Patofisiologi PPOK berdasarkan dari Inflamasi Kronik yang melibatkan saluran napas, jaringan parenkim paru, atau keduanya. Diantaranya Saluran napas Patofisiologi yang melibatkan saluran napas pada PPOK, baik tipe bronkitis kronik maupun emfisema, adalah mekanisme inflamasi kronik. Inflamasi kronik tersebut terutama ditandai dengan keterlibatan sel limfosit T CD8+, CD68+, monosit/makrofag, serta neutrofil di saluran napas. Secara histopatologi, didapatkan adanya metaplasia pada sel goblet, hiperplasia kelenjar trakealis dan bronkialis, fibrosis, serta adanya penurunan patensi saluran napas. (Wang Y, 2018).

Sedangkan menurut Collins dkk (2019)  Bahwa Patofisiologi PPOK berkaitan dengan terdapatnya stres oksidatif  yang berperan memiliki efek langsung pada paru-paru dan jaringan tubuh lainnya, seperti otot rangka dan hati.

2.1.5. Gejala Klinis

          Menurut Kemenkes Unit Pelayanan Kesehatan (2024)Adapun Gejala PPOK yang perlu diwaspadai di antaranya :

  1. Batuk Kronik atau tanpa dahak yang tidak kunjung sembuh
  2. Mengi (Wheezing) atau sesak napas yang disertai dengan bunyi
  3. Rasa berat di dada
  4. Penurunan berat badan
  5. Lemas atau kehilangan kemampuan /produktivitas

Sedangkan menurut dr.Pittara (2022) mengemukakan bahwa PPOK berkembang dengan perlahan dan tidak menunjukkan gejala lebih khusus pada tahap awal. Gejalanya baru muncul setelah bertahun-tahun ketika sudah terjadi kerusakan yang signifikan pada paru-paru. Sejumlah gejala yang biasanya dialami oleh PPOK adalah:

  1. Napas tersengal-sengal, terutama saat melakukan aktivitas fisik
  2. Batuk tidak kunjung sembuh yang dapat disertai dahak
  3. Berat badan menurun
  4. Mengi (bengek)
  5. Nyeri dada
  6. Lemas
  7. Pembengkakan di tungkai

2.1.6. Komplikasi

Menurut dr.Pittara  mengemukakan bahwa Penyakit paru obstruktif kronis menyebabkan penderitanya sulit bernapas. Bila terus dibiarkan, penderita juga dapat mengalami komplikasi serius, seperti:

  1. Gagal napas
  2. Sleep apnea
  3. Diabetes
  4. Demensia
  5. Hipertensi pulmonal
  6. Berat badan turun drastis
  7. Malnutrisi
  8. Pneumonia
  9. Pneumothorax
  10. Kanker paru-paru
  11. Atrial fibriasi
  12. Gagal jantung
  13. Depresi dan cemas

 

Sedangkan Menurut dr.Fadhli (2024) mengemukakan bahwa Komplikasi penyakit paru obstruktif kronis tanpa adanya penanganan atau pengobatan yang tidak maksimal pada PPOK bisa berujung pada munculnya berbagai komplikasi, diantaranya :

  1. Infeksi pernapasan :Pengidap PPOK rentan terserang flu dan pneumonia.
  2. Masalah jantung: PPOK bisa meningkatkan risiko penyakit jantung, salah satunya serangan jantung tetapi hingga kini alasannya belum pasti.
  3. Tekanan darah tinggi : PPOK dapat menyebabkan tekanan darah tinggi pada bagian arteri yang bertugas untuk membawa darah ke paru-paru.
  4. Depresi :Kesulitan bernapas membuat pengidap tidak dapat melakukan banyak hal. Kondisi ini bisa membuat pengidap lama-kelamaan mengalami depresi.

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

            Berdasarakan makarim (2024) bahwasanya Pemeriksaan Penunjang gun menunjang pemeriksaan dokter juga akan pemeriksaan sebagai berikut :

  1. Tes fungsi paru-paru (paru) : Jenis pemeriksaan ini mengukur jumlah udara yang dapat tubuh hirup dan hembuskan, dan apakah paru-paru memberikan oksigen yang cukup ke darah. Tes lain termasuk pengukuran volume paru-paru dan kapasitas difusi, tes berjalan enam menit, dan oksimetri nadi.
  2. Rontgen dada : Pemeriksaan dengan rontgen dada dapat menunjukkan emfisema, salah satu penyebab utama PPOK. X-ray juga dapat mengesampingkan masalah paru-paru lainnya atau gagal jantung.

 

  1. CT scan : Pemeriksaan dengan metode CT scan paru-paru dapat membantu mendeteksi emfisema dan membantu menentukan apakah operasi untuk PPOK dibutuhkan atau tidak. 
  2. Analisis gas darah arteri : Pemeriksaan darah ini mengukur seberapa baik paru-paru membawa oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbon dioksida.
  3. Tes laboratorium :Tes ini sebenarnya tidak bermanfaat untuk mendiagnosis PPOK. Tetapi dapat menggunakan jenis pemeriksaan ini untuk menentukan penyebab gejala atau mengesampingkan kondisi lain. Misalnya, tes laboratorium dapat bermanfaat untuk menentukan apakah seseorang memiliki kelainan genetik defisiensi alfa-1-antitripsin, yang mungkin menjadi penyebab PPOK pada beberapa orang.

2.1.8. Pencegahan

PPOK adalah penyakit yang dapat kamu cegah. Adapun cara utama pencegahannya dengan berhenti merokok dan menghindari paparan asapnya. Tak hanya itu, ada beberapa upaya lain yang dapat kamu lakukan untuk mengurangi risiko penyakit ini, meliputi:

  1. Melakukan vaksinasi flu tahunan dan vaksin pneumonia secara rutin.
  2. Rutin mencuci tangan dengan air dan sabun. Khususnya sebelum makan, saat menyiapkan makanan, setelah beraktivitas di luar rumah dan setelah dari toilet.
  3. Jika bekerja pada tempat yang rentan akan paparan debu, asap, atau gas, pastikan untuk menggunakan alat pelindung tubuh sesuai standar.
  4. Pastikan untuk mendapatkan durasi dan kualitas tidur yang cukup setiap malamnya.
  5. Mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang dan meningkatkan asupan sayuran dan buah-buahan.
  6. Pastikan untuk mengelola stres dengan baik dengan melakukan kegiatan positif. Contohnya seperti yoga atau melakukan hobi yang kamu gemari.
  7. Rutin berolahraga minimal 30 menit setiap harinya.

 

 

 

 

 

 

 

2.2. Konsep Asuhan Keperawatan PPOK

 

2.2.1. Pengkajian

Menurut Agustiyah (2019) Pengkajian keperawatan merupakan tahap krusial dalam proses keperawatan. Hasil pengkajian merupakan dasar dari penentuan masalah keperawatan dan penentuan intervensi keperawatan yang akan diberikan. Pengkajian membutuhkan keterampilan dan pengalaman yang mencukupi yang didasarkan pada penguasaan pengetahuan tentang sistem yang akan dikaji.

  1. Identitas Klien

Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan alamat. Umur merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya keluhan gastritis. Menurut  Suwindri dkk (2021) Menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi terpapar PPOK pada usia 30, dengan frekuensi yang lebih tinggi pada laki-laki. Alamat atau tempat tinggal sering dihubungkan yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pekerjaan seseorang juga berpengaruh yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.

  1. Keluhan Utama

Menanyakan keluhan utama pasien secara kronologis, yaitu waktu, pencetus, durasi, manajemen keluarga dan penyebab dibawa kerumah sakit. Menanyakan keluhan utama yang kini dirasakan klien. Gejala khas pasien PPOK adalah keluhan sesak napas dengan berbagai karakteristiknya menurut Ningsih dalam  Pabendon (2023).

  1. Riwayat Kesehatan
  • Riwayat Penyakit Sekarang: Tanyakan apakah keluhan yang dirasakan saat masuk IGD sampai dengan dilakukan pengkajian terutama keluhan sesak yang dirasakan.
  • Riwayat Penyakit Dahulu: Tanyakan apakah klien pernah sampai dirawat dirumah sakit, berapa lama, dan pulang dengan status apa (sembuh, pulang paksa, dirujuk dan sebagainya) terutama pada penyakit Hipertensi, DM dan penyakit paru lainnya. Apakah pernah merokok aktif dan berapa bungkus perhari. Selain itu juga perlu dikaji penggunaan obat-obatan. Apakah obat yang dikonsumsi berdasarkan resep dokter atau tidak.
  • Riwayat Penyakit Keluarga: Orang tua dan saudara dari klien apakah ada yang menderita penyakit seperti yang diderita klien saat ini
  • Riwayat Psikososial-spritual
  1. Psikologis: perasaan yang dirasakan oleh klien, apakah cemas/sedih ?
  2. Sosial: bagaimana hubungan klien dengan orang lain maupun orang terdekat klien dan lingkungannya ?
  • Spiritual: apakah klien tetap menjalankan ibadah selama perawatan di rumah sakit ?
  1. Genogram Bagan penyakit keturunan yang diturunkan oleh keluarga klien.

2.2.2. Pemeriksaan Fisik

  1. Pernafasan (B1 : Breathing)
  • Inspeksi Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta penggunaan otot bantu nafas. Bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernafasan dengan bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu nafas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat. aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seprti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen diserti demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
  • Palpasi

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil biasanya menurun.

  • Perkusi

 Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun

  • Auskultasi

Sering didapatakan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruksi pada bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun seperti seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersonial). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Klien renta terhadap reaksi imflamasi dan infeksi akibat pegumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.

  1. Kardiovaskular (B2: Blood)

Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak mengalami pergeseran. Vena jungularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang dilihat adanya sianosis.

  1. Persyarafan (B3 : Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi penyakit yang serius.

  1. Perkemihan (B4: Bladder)

Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada system perkemihan. Namun perawat perlu memonitori adanya oliguria yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.

  1. Pencernaan (B5: Bowel)

Klien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan klien tidak nafsu makan. Kadang disertai penurunan berat badan.

  1. Tulang Otot dan Integumen (B6: Bone)

Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama klien terlihat kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan pemenuhan ADL (Ativity Day Living).

  1. Psikososial

 Klien biasanya cemas dengan keadaan sakitnya

 

 

2.2.3. Diagnosa Keperawatan

  1. Gangguan Pertukaran Gas Berhubungan Dengan Perubahan Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (SDKI D.0003 )
  2. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Hipersekresi Jalan Napas (SDKI D.0001 )
  3. Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Ketidakseimbangan Antara Suplai Dan Kebutuhan Oksigen (SDKI D.0056 )
  4. Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan dengan Deformitass dinding dada (SDKI D.0005)

2.2.4. Intervensi Keperawatan

 

No

Diagnosa Keperawatan

Tujuan

Intervensi

Rasional

1

Gangguan Pertukaran Gas b.d Perubahan Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi.

 

(SDKI D.0003 )

 

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

(2 x 24 Jam)

Pertukaran gas Meningkat  dengan kriteria hasil :

(SLKI L.01003)

 

1.      Tingkat Kesadaran meningkat

2.      Dispnea menurun

3.      Bunyi napas tambahan menurun

4.      PCO2  dan PO2 membaik

5.      Takikardi membaik

6.      Pola napas membaik

 

 

 

Pemantauan Respirasi (I.01014)

 

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi berdasarkan SIKI, antara lain:

 

Observasi

  1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas
  2. Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
  3. Monitor kemampuan batuk efektif
  4. Monitor adanya produksi sputum
  5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
  6. Auskultasi bunyi napas
  7. Monitor saturasi oksigen

Terapeutik

  1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
  2. Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

  1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
  2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

 

Observasi

1.      Memastikan bahwa pasien memiliki pola pernapasan yang normal dan mendeteksi adanya perubahan yang dapat menunjukkan masalah respirasi.

2.      Mengidentifikasi pola pernapasan abnormal yang dapat mengindikasikan kondisi klinis tertentu, seperti hipoksia atau gangguan metabolik.

3.      Menilai kemampuan pasien untuk membersihkan saluran napas dari sekresi, yang penting untuk mencegah infeksi dan komplikasi.

4.      Memahami jenis dan jumlah sputum dapat membantu dalam diagnosis kondisi respirasi, seperti infeksi atau penyakit paru obstruktif.

5.      Mengidentifikasi adanya obstruksi yang dapat mengganggu aliran udara dan menyebabkan hipoksia.

6.      Mendengarkan bunyi napas untuk mendeteksi adanya abnormalitas seperti wheezing atau crackles yang dapat menunjukkan masalah paru-paru.

7.      Mengukur kadar oksigen dalam darah untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan oksigen yang cukup, yang penting untuk fungsi organ yang optimal.

 

Terapeutik

1.      Penyesuaian interval pemantauan memungkinkan deteksi dini perubahan kondisi pasien yang memerlukan intervensi segera.

2.      Dokumentasi yang akurat penting untuk evaluasi lanjutan dan komunikasi antar tim kesehatan mengenai status pasien.

 

Edukasi

1.      Memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya pemantauan respirasi untuk meningkatkan kepatuhan dan mengurangi kecemasan.

2.      Memberikan informasi tentang hasil pemantauan membantu pasien dan keluarga memahami kondisi kesehatan dan tindakan yang mungkin diperlukan.

 

 

2

Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Berhubungan Dengan Hipersekresi Jalan Napas

 (SDKI D.0001 )

 

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

 

(2×24 jam)

 

bersihan jalan napas meningkat dengan kriteria hasil: (SLKI L.01001 Hal 18)

 

1.      Batuk efektif meningkat

2.      Produksi sputum menurun

3.      Mengi menurun

4.      Wheezing menurun

 

LATIHAN BATUK EFEKTIF (I.01006)

 

Observasi

Terapeutik

  • Atur posisi semi-fowler dan fowler
  • Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
  • Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi

  • Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
  • Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
  • Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
  • Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas dalam yang ke-3

Kolaborasi

 

 Observasi

 

1.      Kemampuan batuk yang baik penting untuk membersihkan saluran napas dari sekret dan mencegah infeksi.

2.      Retensi sputum dapat menyebabkan obstruksi saluran napas dan meningkatkan risiko infeksi. Pemantauan membantu dalam intervensi dini.

3.      Tanda-tanda infeksi seperti demam, batuk berdahak, dan sesak napas perlu diwaspadai untuk pengobatan yang tepat.

4.      Memantau asupan dan pengeluaran cairan penting untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh dan mendukung proses penyembuhan.

 

Terapeutik

1.      Posisi ini membantu memperbaiki ventilasi paru dan memudahkan pasien untuk bernapas.

2.      Ini membantu menampung sputum yang dikeluarkan dan menjaga kebersihan.

3.      Mengelola sputum dengan benar mencegah penyebaran infeksi dan menjaga lingkungan yang bersih.

 

Edukasi

1.      Edukasi pasien tentang batuk efektif meningkatkan partisipasi mereka dalam perawatan diri.

2.      Teknik ini meningkatkan kapasitas paru-paru dan membantu mengeluarkan sekret.

3.      Mengulang teknik ini memperkuat efek pembersihan saluran napas.

4.      Batuk setelah menarik napas dalam membantu mengeluarkan sputum yang terperangkap.

 

Kolaborasi

1.      Obat ini membantu melunakkan dan mengeluarkan sputum, sehingga meningkatkan efektivitas batuk dan mengurangi risiko infeksi.

 

3

Intoleransi Aktivitas Berhubungan Dengan Ketidakseimbangan Antara Suplai Dan Kebutuhan Oksigen (SDKI D.0056 )

 

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka toleransi aktivitas meningkat, dengan kriteria hasil:

  1. Keluhan Lelah menurun
  2. Frekuensi nadi membaik

 

Manajemen Energi (I.05178)

 

Observasi

  • Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
  • Monitor kelelahan fisik dan emosional
  • Monitor pola dan jam tidur
  • Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas

Terapeutik

  • Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis: cahaya, suara, kunjungan)
  • Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
  • Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
  • Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan

Edukasi

  • Anjurkan tirah baring
  • Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
  • Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang
  • Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi

  • Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

 

Observasi

 

1.      Memahami penyebab kelelahan penting untuk menentukan intervensi yang tepat dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

2.      Kelelahan dapat bersifat fisik maupun emosional; pemantauan keduanya membantu dalam menilai tingkat keparahan dan kebutuhan intervensi.

3.      Tidur yang tidak berkualitas dapat memperburuk kelelahan. Memantau pola tidur membantu dalam merencanakan strategi perbaikan.

4.      Mengetahui area ketidaknyamanan dapat membantu dalam merancang aktivitas yang lebih sesuai dan mengurangi rasa sakit.

 

Terapeutik

 

1.      Lingkungan yang tenang dapat membantu mengurangi stres dan memfasilitasi relaksasi, yang penting untuk pemulihan.

2.      Latihan ini membantu mempertahankan mobilitas dan mencegah kekakuan otot, yang bisa memperburuk kelelahan.

3.      Aktivitas yang menenangkan dapat membantu mengalihkan perhatian dari kelelahan dan meningkatkan kesejahteraan emosional.

4.      Ini memberikan kesempatan untuk beradaptasi dengan posisi baru dan membantu meningkatkan sirkulasi darah tanpa memaksakan tubuh.

 

Edukasi

 

1.      Istirahat yang cukup penting untuk pemulihan dan mengurangi kelelahan lebih lanjut.

2.      Pendekatan bertahap mencegah kelelahan berlebih dan membantu tubuh beradaptasi dengan aktivitas fisik.

3.      Ini penting untuk mengidentifikasi potensi masalah yang lebih serius dan mendapatkan intervensi medis yang diperlukan.

4.      Strategi koping yang baik dapat membantu individu mengelola stres dan meningkatkan kualitas hidup.

 

Kolaborasi

 

1.      Nutrisi yang baik sangat penting untuk mendukung energi dan pemulihan; kolaborasi ini memastikan pasien mendapatkan asupan yang tepat untuk mendukung kesehatan mereka.

4

Pola Nafas Tidak Efektif Berhubungan dengan Deformitass dinding dada (SDKI D.0005)

 

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka pola napas membaik, dengan kriteria hasil:

  1. Dispnea menurun
  2. Penggunaan otot bantu napas menurun
  3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
  4. Frekuensi napas membaik
  5. Kedalaman napas membaik

 

 

Manajemen Jalan Napas (I.01011)

 

Observasi

 

1.      Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2.      Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi, wheezing, ronchi kering)

3.      Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

 

Terapeutik

 

1.      Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)

2.      Posisikan semi-fowler atau fowler

3.      Berikan minum hangat

4.      Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

5.      Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

6.      Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

7.      Berikan oksigen, jika perlu

 

 

 

 

 

Edukasi

 

1.      Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi

2.      Ajarkan Teknik batuk efektif

 

Kolaborasi

 

Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

Observasi

 

1.      Monitor pola napas*: Memantau frekuensi, kedalaman, dan usaha napas penting untuk mengevaluasi status respirasi dan mendeteksi adanya gangguan pernapasan.

2.      Bunyi napas tambahan seperti mengi atau ronchi dapat mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas atau kondisi paru yang memerlukan intervensi lebih lanjut.

3.      Mengamati jumlah, warna, dan aroma sputum membantu dalam menilai infeksi, dehidrasi, atau kondisi patologis lainnya.

 

Terapeutik

 

1.       Teknik head-tilt dan chin-lift efektif untuk membuka jalan napas, sedangkan jaw thrust diperlukan pada pasien dengan dugaan trauma servikal.

2.       Posisi ini membantu meningkatkan kapasitas paru dan memudahkan pernapasan.

3.       Minuman hangat dapat membantu mengencerkan lendir dan memudahkan ekspektorasi.

4.       Fisioterapi dada dapat membantu mengeluarkan sekret dari saluran pernapasan.

5.       Penghisapan lendir yang dilakukan kurang dari 15 detik untuk menghindari hipoksia dan iritasi jalan napas.

6.       Hiperoksigenasi membantu mencegah hipoksia saat penghisapan.

7.       Oksigen diberikan untuk meningkatkan saturasi oksigen pada pasien dengan hipoksemia.

 

 

 

 

 

 

Edukasi

 

1.        Asupan cairan yang cukup membantu menjaga hidrasi dan mempermudah pengenceran lendir.

2.        Teknik batuk yang tepat dapat membantu pasien membersihkan jalan napas dari sekresi.

 

Kolaborasi

1.      Kerjasama dalam pemberian obat-obatan ini penting untuk mengatasi obstruksi saluran napas dan memfasilitasi pengeluaran sputum.

1.2.5.                  Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan recana intervensi yang telah ditetapkan. Hasil implementsi yang efektif dan efisien akan diperoleh secara sistematis dan berurutan berdasarkan rencana tindakan yang telah disusun (Sugianto, 2016).

1.2.6.      Evaluasi Keperawatan

Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP secara operasional (Sugiyanto 2016).

BAB III
PENUTUPAN

3.1  KESIMPULAN

 

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum dan dapat diobati yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara progresif dan kerusakan jaringan. Penyakit ini terkait dengan perubahan struktural paru-paru akibat peradangan kronis akibat paparan partikel atau gas berbahaya dalam jangka panjang, yang paling umum adalah asap rokok. Peradangan kronis menyebabkan penyempitan saluran napas dan penurunan daya tolak paru. Penyakit ini sering kali disertai gejala batuk, dispnea, dan produksi sputum. Gejalanya dapat berkisar dari asimtomatik hingga gagal napas. (Agarwal, Raja, & Brown, 2023).

3.2      SARAN

 

  1. Saran untuk Tenaga Kesehatan

 

  • Adakan pelatihan dan seminar rutin mengenai PPOK untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam diagnosis serta pengelolaan pasien.
  • Buat panduan klinis yang jelas dan mudah diakses mengenai PPOK untuk memudahkan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan.
  1. Saran untuk Pasien dan Keluarga:
  • Selenggarakan sesi edukasi bagi pasien dan keluarga tentang PPOK, termasuk gejala, penyebab, dan pentingnya pengobatan yang tepat.
  • Distribusikan materi informasi, seperti brosur atau video, yang menjelaskan cara hidup sehat dan manajemen PPOK.
  1. Saran untuk Institusi Kesehatan:*
  • Kembangkan program pencegahan dan pengendalian PPOK yang terintegrasi di rumah sakit, termasuk skrining dan program rehabilitasi paru.
  • Tingkatkan kolaborasi antar tim medis dengan membentuk kelompok kerja khusus untuk penanganan pasien PPOK, guna memastikan pendekatan yang holistik dan terkoordinasi.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A. K., Raja, A., & Brown, B. D. (2023). Chronic Obstructive Pulmonary Diasease. StatPearls.

Agustiyah, R. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Gastritis Dengan Nyeri Akut di Ruang Agate Atas RSUD Dr. Slamet Garut. Bandung: STIKes Bhakti Kencana.

Collins, & Turisno. (2019). Nutritional support in chronic obstructive pulmonary diasease (COPD): An Evidence Update. Journal of Thoracic Disease, 11. doi:10.21037

Hastuti, E. (2023). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Diambil kembali dari Yankes.Kemkes.g.id: https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2718/penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

Kemenkes RI. (2024). Apa itu penyakit pari obstruktif Kronik. Diambil kembali dari p2ptm.kemkes.go,id: https://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-paru-kronik/apa-itu-penyakit-paru-obstruktif-kronik-ppok

Kemenkes Unit Pelayanan Kesehatan. (2024). 5 Gejala PPOK. Diambil kembali dari UPK.KEMKES.GO.ID: https://upk.kemkes.go.id/new/5-gejala-paru-obstruktif-kronik-ppok

Kementrian Kesehatan RI. (2018). Riset Kesehatan Dasar . Jakarta: Kemenkes ri.

makarim, f. r. (2024, 11 5). Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diambil kembali dari Halodoc: https://www.halodoc.com/kesehatan/penyakit-paru-obstruktif-kronis#h-komplikasi-penyakit-paru-obstruktif-kronis

Mosenifar. (2020). Chronic Obstructive Pulmonary Diasease (COPD). Medscape.

Pabendon, H. (2023). Karya Ilmiah Akhir Asuhan Keperawatan Tn.S Dengan Diagnosa Medis Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Di ruang 4 Lantai 2 RSPAL DR RAMELAN SURABAYA. Surabaya: STIKes Hang Tuah Surabaya.

Piittara. (2022). Defisiensi Alfa- 1 Antitripsin. Diambil kembali dari alodokter.com: https://www.alodokter.com/defisiensi-alfa-1-antitripsin

Pittara. (2022). Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Diambil kembali dari alodokter.com: https://www.alodokter.com/penyakit-paru-obstruktif-kronis

Rokom. (2021). Merokok, Penyebab Utama Penyakit Paru Obsturktif Kronis. Diambil kembali dari sehatnegeriku.kemekes.go.id.

Strange. (2020). Alpha-1 Antitrypsin Deficiency Associated COPD. Clin Chest Med. doi:10.1016/j.ccm.2020.05.003.

Sugianto. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Praktik Klinik keperawatan Keluarga dan komunitas. Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Suwindri, Y. T. (2021). Faktor Penyebab Kejadian Gastritis di indonesia: Literature Review. Jurnal Keperawatan Merdeka, 209-23.

Wang Y, X. J. (2018). Role of Inflammatory cells in airways remodeling in COPD. International Journal of chronic obstuctive pulmonary disease. doi:https://doi.org/10.2147/COPD.S176122

Wen L, K.-E. s. (2018). Autoantibodies in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Front Immunol. doi:10.3389/fimmu.2018.00066

WHO. (2020). The Top 10 Causes of death . Diambil kembali dari who.int: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/the-top-10-causes-of-death

WHO. (2022). Chronic obstructive pulmonary disease. Diambil kembali dari Who.int: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-pulmonary-disease-(copd)

WHO. (2023). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Diambil kembali dari Who.int: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-obstructive-pulmonary-disease-(copd)