Baasitha Nurindah Guru 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More AKSI ADAPTASI SUPER INKLUSI Oleh : Baasitha Nurindah Yogyakarta, kota yang memiliki banyak angkringan, menampilkan kayanya keragaman, dan selalu mencipta kenang dalam ingatan. Pada 2017 lalu, aku dinyatakan LULUS Seleksi Ujian Masuk di Universitas Negeri Yogyakarta pada program studi Pendidikan Luar Biasa. Rasanya mungkin berat ketika harus meninggalkan Jakarta, tetapi aku yakin ada banyak hal hebat yang menanti di depan sana. Aku meyakinkan diri untuk hidup merantau ke Kota Pelajar dengan segala pertimbangan, mulai dari perbedaan bahasa, adat, budaya, serta aspek hidup lainnya. Aku percaya akan menemukan hal-hal baru yang menakjubkan, ketika meninggalkan kampung halaman menuju tanah impian. Mungkin akan terdapat banyak perbedaan yang kulihat dan rasakan di perantauan, namun itu yang membuatku semakin bangga atas bangsa kita. Kost Putri Nur adalah destinasi pertama yang kutuju ketika sampai di Yogyakarta. Kostku memiliki tiga lantai dengan masing-masing lantai memiliki 10 kamar, aku berada di kamar nomor 301 dengan pemandangan luar pagar berupa lapangan hijau luas membentang. Aku memiliki teman kost yang berasal dari berbagai daerah. Fina dari Magelang, Nadya dan Meimei dari Bintan, Ika dari Pontianak, dan Rindler dari Sumba. Salah satu hal yang paling aku suka dari menjalin relasi selain menambah tali silaturahim adalah dapat saling memberi bantuan jika bepergian ke suatu daerah. Aku dan teman-teman kost di lantai 3 ini merupakan mahasiswa baru dari kampus yang berbeda-beda, namun rutinitas selama di kost tidak jauh berbeda seperti makan malam bersama, mengerjakan tugas, diskusi, dan sebagainya. Perbedaan asal daerah menjadikan kami tidak mudah dalam berkomunikasi secara lepas, sehingga harus sering menggunakan Bahasa Indonesia formal agar pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan baik. Setiap daerah memiliki arti kata dan dialek yang berbeda, dari sana aku belajar bahwa Indonesia benar-benar kaya akan keragaman bahasa. Contoh kecilnya adalah ketika aku mengajak makan malam temanku yang berasal dari Bintan, kemudian dia menjawab “tak ikut lah” yang berarti “tidak ikut lah” atau menolak ajakanku. Pada lain kesempatan, aku mengajak temanku yang berasal dari Magelang. Dia menjawab ”tak ikut lah” yang memiliki arti “aku ikut lah” atau menerima ajakanku. Satu kalimat yang sama, namun memiliki arti berbeda, itulah salah satu bukti hebatnya Indonesia. Keragaman kami juga terasa ketika Rindler asal Sumba bertanya “Kau su makan su?” yang berarti “Apakah kamu sudah makan?”. Kalimat itu lumrah saja diucapkan oleh Rindler, namun tidak untuk Fina asal Magelang. Sekiranya Fina bertanya kepada teman sesama suku Jawanya dengan kalimat “Kau su makan su?” tentu akan mengandung makna yang berbeda. Di mana su memiliki arti ‘anjing’ dalam Kamus Bahasa Jawa Ngoko. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, dapat kita pahami bahwa keragaman bahasa terkadang dapat menimbulkan miskomunikasi antara pengirim pesan kepada penerima pesan. Tentu kita tidak berhenti sampai di sini, upaya kami lakukan sebagai teman yang tinggal satu atap ialah mencoba saling memahami dan mempelajari bahasa satu sama lain. Tentu tidak semahir penutur asli, hanya beberapa kata hingga kalimat sederhana yang sering diucapkan dalam keseharian sudah cukup bagi kami untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman. Masih terkait keragaman bahasa, yang juga bersinggungan dengan adat masing-masing daerah. Satu yang tidak lepas dari perantau adalah mengabarkan keluarga di rumah, sehingga akan sering terdengar suara aku dan teman-temanku menelepon keluarga dengan bahasa dan dialek yang beragam. Aku dengan Bahasa Betawi dan dialek Jakarta, mungkin sedikit terdengar kasar oleh teman-teman karena adanya kata “lu” dan “gue di dalam percakapan”. Pada kasus Nadya dan Meimei, meski mereka menggunakan kata “aku” dan “kau”, namun intonasi ketika berbicaranya melambung tinggi dan bervolume keras, sehingga bisa jadi mengganggu ketenangan rakyat kost. Rindler asal Sumba juga memiliki adat berbicara dengan intonasi tinggi namun dengan volume kecil, sehingga kemungkinan tidak mengganggu penghuni kost lainnya. Berbeda dengan Fina asal Jawa Tengah, memiliki gaya berbahasa yang lembut dan volume suara kecil, maka ketika tiba waktunya menelepon keluarga di rumah, kami semua tidak tahu karena suara Fina hampir tidak terdengar. Keragaman bahasa dan cara berbicara dari masing-masing kami, membuat diri terbiasa untuk saling memahami dan toleransi dengan perbedaan yang ada. Tidak sakit hati jika diajak bicara dengan intonasi tinggi ataupun suara bervolume keras, karena memang paham betul bahwa hal tersebut adalah ciri khas masing-masing orang. Pun dengan teman yang volume suaranya terlampau kecil dan intonasi rendah, tidak membuat kami menjadi tidak menghargai beliau ketika berbincang ataupun bergurau. Letak geografis yang berbeda, juga membuat kami menganut kepercayaan yang tidak sama. Aku, Fani, dan Ika menganut ajaran Islam. Nadya menganut ajaran Kristen, Rindler dengan ajaran Katolik, dan Meimei menganut ajaran Buddha. Kami hidup bersama dengan damai, menghargai, bahkan saling membantu. Pernah suatu ketika teman-teman kost ingin makan siang bersama di kamarku, namun keadaannya saat itu aku sedang melaksanakan salat Zuhur. Teman-teman mengetahuinya karena aku tidak menghiraukan teriakan mereka, pada akhirnya mereka rela menunggu di depan kamar hingga aku selesai salat. Di Bulan Ramadhan aku sebagai umat Muslim menjalankan ibadah puasa, ketika itu aku terpantau akan telat makan Sahur. Di waktu yang bersamaan Meimei mengalami Insomnia, sehingga ketika dia tidak mendengar suara piring dan gelas ku di waktu Sahur, saat itu juga dia membangunkanku dan menyuruhku salat malam. Dia pergi ke dapur kemudian memasakkan makan Sahur untukku. Ku rasa tidak ada toleransi yang lebih indah dari perlakuan Meimei kepadaku kala itu. Hal yang sama juga dialami oleh Nadya dan Rindler, pernah suatu hari Nadya telat untuk ibadah ke Gereja. Inisiatif yang dilakukan RIndler adalah mengantarkan Nadya ke Gerejanya, barulah Rindler pergi menuju Gerejanya sendiri. Di waktu yang berbeda, Meimei akan berangkat ke Vihara namun ban motornya bocor. Tidak ada waktu jika harus ke bengkel untuk memperbaiki, maka Fina segera mengantarkan Meimei agar tidak telat dalam peribadatannya. Ah, sungguh menenangkan jika kita saling toleran. Bukan hanya Kota Jogja yang mengindahkan beragam perbedaan, kampusku juga sudah cukup inklusi untuk semua insan. Pasalnya aku kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa, di mana pasti bersinggungan langsung dengan teman-teman disabilitas. Aku memiliki seorang teman Tunadaksa (Disabilitas pada anggota gerak tubuh) di kampusku, dia menggunakan tangan palsu demi menyempurnakan penampilannya. Wajah tampan dan kemampuan mengendarai sepeda motornya tidak akan membuat orang mengira ia adalah seorang disabilitas, dan sebaiknya kita memang menganggap setiap individu setara bukan? Tentu saja. Berbeda dengan beliau, aku memiliki adik tingkat seorang Tunarungu (Disabilitas pada pendengaran). Dia seorang pemuda yang ekspresif dan ceria, sehingga orang di sekitarnya mudah mengerti pesan yang ia sampaikan. Ia juga ramah dengan segala senyum dan isyarat yang dia gerakkan. Tidak hanya dua teman itu, di kelas sebelah terdapat seorang Tunanetra (Disabilitas pada penglihatan). Kami berteman baik, bahkan aku juga sering membantunya menjalani ujian yang harus diterjemahkan. Sebetulnya itu memang salah satu pengabdian mahasiswa PLB kepada penyandang disabilitas, yakni membantu pada ranah pendidikan. Aku pernah menjadi penerjemah mahasiswa Tunanetra di kampus tetangga dalam kegiatan Tes TOEFL sebelum kelulusan, begitu pun mahasiswa PLB lainnya. Yogyakarta benar-benar memperlihatkanku akan mewahnya Indonesia pada sisi keragaman. Sisi yang belum tentu negara lain bisa lakukan! Ragam Indonesia mengajakku untuk tetap rendah hati dan saling menghormati. Ragam Indonesia membiasakanku untuk saling menjaga, bukan mengukir luka. Ragam Indonesia melatih diri untuk mudah beradaptasi untuk menciptakan lingkungan inklusi. Ragam Indonesia membuka hati dan jiwa untuk terus bangga dengan Tanah Air dan Bangsa. Oleh karena itu, jangan sampai kita hanya bersama tetapi tidak bersatu, melainkan kita akan tetap bersatu walau tidak sama, karena keragaman adalah kita. Keragaman adalah Indonesia.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More