fbpx
Mongabay

Agroforestri: Sistem Ketahanan Pangan terhadap Perubahan Iklim

Penulis: Indria Zhafirah Akbar, Muhammad Harist Syahirul A’en

Perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati telah menciptakan efek domino yang berdampak serius pada ketahanan pangan global. Lebih dari 50 persen hutan tropis di dunia telah hilang dan 27 persen spesies kini terancam punah (CIFOR, 2023). Peningkatan emisi karbon dan perubahan pola cuaca menyebabkan kekeringan ekstrem dan mengganggu produksi pangan, terutama di wilayah-wilayah yang bergantung pada pertanian tradisional. Selain itu, hilangnya spesies tumbuhan dan hewan yang penting bagi ekosistem menyebabkan penurunan kesuburan tanah dan hilangnya penyerbuk alami, yang secara langsung mengurangi produktivitas pertanian. Ketika ekosistem tidak lagi mampu menopang produksi pangan yang stabil, banyak komunitas, terutama yang rentan dan bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian utama, mengalami ketidakamanan pangan atau kerawanan pangan. Kerawanan pangan sendiri dapat didefinisikan sebagai kondisi ketika tidak ada pangan yang cukup, baik jumlah, mutu, keamanan, variasi, gizi, pemerataan, dan keterjangkauan.

Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Indonesia
Sumber: National Food Agency, 2023

Kerawanan Pangan dan Malnutrisi

Kerawanan pangan ini memicu peningkatan risiko malnutrisi karena keterbatasan akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi. Pada tahun 2023, terdapat 4,5 persen penduduk Indonesia yang mengalami kerawanan pangan tingkat sedang atau berat (BPS. 2023). Ketika produksi pangan menurun, harga bahan pokok cenderung naik, dan kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, serta lansia menjadi lebih sulit mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan. Malnutrisi, baik dalam bentuk gizi buruk maupun kekurangan mikronutrien, dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang serius, termasuk pertumbuhan terhambat, gangguan imunitas, dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit. Salah satu masalah malnutrisi yang masih menghantui Indonesia adalah stunting atau kerdil. Prevalensi stunting di Indonesia masing di atas 20 persen, yakni 21,6 persen, padahal target penurunan yang diharapkan adalah 14 persen pada tahun 2024 (Kemenkes, 2023). Kerawanan pangan dan tidak terpenuhinya asupan gizi secara cukup menjadi penyebab dari masih tingginya masalah stunting di Indonesia (UNICEF, 2020). 

Permasalahan kerawanan pangan dan malnutrisi menjadi isu yang kompleks untuk diselesaikan. Diversifikasi pangan menjadi krusial dalam memutus rantai masalah ini. Sebagai negara dengan keberagaman pilihan pangan, diversifikasi pangan sangat penting bagi Indonesia karena dapat membantu memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan berkelanjutan, serta mendukung ketahanan pangan. Tingkat konsumsi beras di Indonesia masih sangat tinggi mencapai 97,6 persen pada tahun 2021, padahal terdapat 77 spesies tanaman pangan lokal yang bisa menjadi alternatif sebagai sumber pangan (Nurfitriani, 2023).  Dengan mengembangkan dan mengonsumsi berbagai jenis sumber pangan yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan yang kaya nutrisi, masyarakat dapat meningkatkan ketahanan sistem pangan serta memperbaiki asupan gizi yang adekuat. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi risiko malnutrisi, tetapi juga mendukung pembangunan sistem pangan yang berkelanjutan dan tangguh terhadap dampak lingkungan yang terus berkembang.

Penyediaan Jasa Lingkungan dengan Agroforestri

Membangun sistem pangan yang tangguh terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan praktik wanatani atau lebih dikenal dengan agroforestri. Agroforestri melibatkan integrasi tegakan pohon dengan lahan pertanian, menciptakan keragaman struktur dan jenis tanaman yang saling mendukung. Kehadiran kanopi pohon memberikan perlindungan terhadap tanaman pertanian dengan mengurangi paparan sinar matahari, menurunkan suhu permukaan, menghalangi hembusan angin, dan mengatur pukulan air hujan (Widianto et al, 2003; Kafer and Straight, 2022; Villani et al, 2021). Selain itu, keragaman tanaman yang dihasilkan dari sistem ini berfungsi sebagai pengendali alami terhadap hama, yang pada akhirnya membantu menjaga produktivitas pertanian. Beragam jenis tanaman yang menjadi sumber pangan dalam agroforestri juga berkontribusi pada ketahanan pangan lokal, pemenuhan gizi, dan peningkatan nilai ekonomi masyarakat (Elisabeth and Ha, 2011, CIFOR, 2021). 

Agroforestri memiliki peran penting dalam mitigasi dampak perubahan iklim dengan menyediakan berbagai jasa lingkungan. Praktik ini terbukti efektif dalam melindungi daerah aliran sungai (DAS), meningkatkan keanekaragaman hayati dibandingkan dengan pertanian monokultur, serta menyerap karbon di dalam pohon dan tanah (Elisabeth and Ha, 2011). Lahan agroforestri terbukti mampu menyerap karbon dua kali lebih besar dibandingkan dengan lahan yang hanya untuk tanaman semusim (Sari et al, 2013). Selain itu, agroforestri berperan dalam mengatur iklim mikro, yang berkontribusi pada upaya mitigasi perubahan iklim dengan menurunkan suhu ekstrim udara dan permukaan serta memberikan efek teduh.

Praktik agroforestri telah dilakukan sejak zaman dahulu dengan memanfaatkan pengetahuan lokal dan hingga kini tetap relevan sebagai solusi untuk menghadapi berbagai tantangan global. Salah satu bentuk agroforestri yang sudah lama diterapkan adalah sistem kebun talun oleh masyarakat Sunda. Dalam praktiknya, kebun talun mengkombinasikan tanaman tahunan (perennial crops) dan tanaman setahun (annual crops) sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan sumber pangan yang berkelanjutan dan gizi yang beragam. Sistem kebun talun ini dinilai sangat optimal karena mampu menghasilkan berbagai produk pangan utama, buah-buahan, serta kayu-kayuan yang bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, kebun talun juga mendukung keberlanjutan ekologi, dengan menjaga keseimbangan lingkungan melalui pemanfaatan lahan yang berkelanjutan dan beragam.

Agroforestri sebagai Solusi Menghadapi Kerawanan Pangan

Tantangan global seperti perubahan iklim berimplikasi terhadap ketahanan pangan global. Keterbatasan akses dan ketersediaan bahan pangan dapat berdampak pada sektor lainnya, seperti kesehatan, sosial, dan ekonomi. Kurangnya asupan pangan bergizi yang adekuat dapat memicu malnutrisi pada masyarakat, seperti stunting. Hal ini tentunya menjadi masalah yang perlu menjadi perhatian khusus mengingat efek dari kerawanan pangan ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik jangka pendek maupun panjang. Agroforestri dapat menjadi solusi untuk memitigasi perubahan iklim sebagai penyerap karbon dan mendukung keamanan pangan dengan penyediaan sumber pangan yang bergizi. Selain itu, agroforestri juga mampu mendukung sistem pertanian yang lebih produktif dengan penyediaan jasa lingkungan. Secara keseluruhan, pendekatan ini mendukung terciptanya sistem pertanian yang lebih adaptif dan tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

 

Referensi

BPS. (2023). Prevalensi penduduk dengan kerawanan pangan sedang atau berat, berdasarkan pada skala pengalaman kerawanan pangan – tabel statistik. Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ3NCMy/prevalensi-penduduk-dengan-kerawanan-pangan-sedang-atau-berat–berdasarkan-pada-skala-pengalaman-kerawanan-pangan–persen-.html.

CIFOR. (2023, Feb 11). ‘Pohon Pangan’ untuk Pemenuhan Target Nutrisi dan Restorasi Bentang Alam. https://forestsnews.cifor.org/71144/pohon-pangan-untuk-pemenuhan-target-nutrisi-dan-restorasi-bentang-alam?fnl=en.

CIFOR. (2023, May 11). Deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. https://www.cifor-icraf.org/id/penelitian-kami/tantangan/deforestasi-dan-hilangnya-keanekaragaman-hayati/.

Elisabeth, S. and Ha, H. M. (2011). Climate Change Resilient Agroforestry Systems For Livelihood Improvement Of Smallholders In Vietnam. International Workshop on Sustainable Strategies for Increased Resiliency of Sloping  Land Agroecosystems Amid Climate Change.

Kafer, N. and Straight, R. (2022). Windbreaks: An Agroforestry Practice. https://www.fs.usda.gov/nac/assets/documents/agroforestrynotes/an25w01.pdf.

Kemenkes. (2023, January 25). Prevalensi Stunting di Indonesia Turun ke 21,6% dari 24,4%. Sehat Negeriku. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230125/3142280/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-216-dari-244/.

Nurfitriani, R. A. (2023). Menuju diversifikasi pangan lokal Indonesia. Perspektif ekonomi, sosial, dan budaya (281–293). Penerbit BRIN. DOI: 10.55981/brin.918.c798 E-ISBN: 978-623-8372-47-8.

Sari, R. R., Hairah, K., Widianto, and Suyanto. (2013). Penaksiran Tingkat Emisi dan Sequestrasi Karbon di Jawa Timur. Prosiding Seminar Agroforestri. 

Sihombing, R. C. (2024). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Tunjukkan Daerah Rawan Pangan di Indonesia Turun. Sokoguru.id. https://sokoguru.id/ekonomi/peta-ketahanan-dan-kerentanan-pangan-tunjukkan-daerah-rawan-pangan-di-indonesia-turun

Widanto, Hairiah, K., Suharjito, D., and Sardjono, M. A. (2003). Fungsi dan Peran Agroforestri. https://apps.worldagroforestry.org/downloads/Publications/PDFS/LN03309.PDF 

UNICEF. (2020). UNICEF Conceptual Framework on Maternal and Child Nutrition. https://www.unicef.org/documents/conceptual-framework-nutrition

Villani, L., Castelli, G., Sambalino, F., Oliveira, L. A., and Bresci, E. (2021). Influence of trees on landscape temperature in semi-arid agro-ecosystems of East Africa (185-199). Biosystem Engineering. https://doi.org/10.1016/j.biosystemseng.2021.10.007.