fbpx
Canva

Nature Journaling Sebagai Bagian dari Pendidikan Lingkungan Hidup: Sebuah Langkah Pencegahan dan Respon terhadap Krisis Lingkungan di Indonesia

Penggundulan hutan dengan metode tebas-bakar di Indonesia terjadi setiap tahun. Metode ini dipandang sebagai cara yang mudah dan murah dalam membersihkan lahan untuk keperluan agrikultur, terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan pohon pulp. Selain itu, keberadaan tanah gambut yang sangat mudah terbakar di wilayah-wilayah terdampak, menyebabkan penyebaran kobaran api semakin sulit untuk dihentikan (Indonesia’s Forest Fires: What You Need to Know, 2016). Sejak 2001 hingga 2022, Indonesia telah kehilangan 29.4 Mha wilayah tutupan hutan, setara dengan penurunan 18% sejak 2000 dan 6.4% dari total global (Vizzuality, n.d.). Lebih lanjut, kebakaran yang baru-baru ini terjadi di tahun 2023 telah membakar 662.000 hektar sejak awal tahun. Wilayah yang dengan titik api terbanyak serta menerima dampak terbesar adalah Pulau Sumatera dan Kalimantan. 

Pembakaran hutan di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pembakaran hutan telah mempengaruhi banyak sektor di masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, sosial politik dan ekonomi (Kiely et al., 2021; Hein et al., 2022; Marlier et al., 2021). Ditambah lagi, bukan hanya membawa dampak terhadap pemanasan iklim secara global tetapi juga dampak kabut dan asap yang telah mempengaruhi negara-negara tetangga di ASEAN (Listiyorini & Cheng, 2023). 

Dengan kondisi krisis yang begitu mengkhawatirkan di Indonesia, pendidikan lingkungan hidup menjadi krusial untuk mengedukasi generasi muda tentang lingkungan yang bekerlanjutan dan pembangunan yang bertanggung jawab. Namun, kerap kali pendidikan lingkungan hidup lebih fokus tentang apa itu lingkungan dan bukan pembelajaran untuk lingkungan. Di banyak sekolah di Indonesia, pemahaman tentang materi pendidikan lingkungan hidup dalam hal keterkaitan antara masyarakat, ekonomi dan lingkungan masih sangat dangkal (Parker & Prabawa-Sear, 2019). Ditambah lagi, banyak materi pendidikan lingkungan hidup yang lebih fokus menyebutkan fakta-fakta tentang lingkungan dibandingkan mendorong siswa untuk terlibat aktif untuk belajar dan peduli terhadap lingkungan. 

Dalam kondisi bencana alam, pendidikan memeran peran penting dalam melindungi anak-anak dan komunitas dari risiko baru dan kerentanan yang muncul akibat bencana tersebut (Shah et al., 2019). Pendidikan juga berperan dalam mencegah timbulnya krisis dan bencana yang disebabkan manusia, termasuk di dalamnya krisis lingkungan. Sebagaimana bentuk bencana dan krisis pada umumnya, krisis lingkungan memiliki konsekuensi yang mendalam bagi anak-anak, komunitas, sekolah, serta ekosistem yang lebih besar yang dimana manusia merupakan bagian di dalamnya. Sayangnya, kerap kali manusia mengabaikan isu lingkungan karena lingkungan bukanlah manusia yang dapat menyuarakan pikirannya dan mengeluhkan tindakan merusak manusia. Manusia tidak dapat membatalkan apa yang telah dilakukan terhadap lingkungan. Namun setidaknya, manusia dapat belajar untuk tidak memperburuk kondisi lingkungan saat ini. 

Pendidikan dan aktivitas perubahan iklim atau pendukung lingkungan merupakan dua komponen penting dalam pengurangan risiko bencana karena keduanya dapat mendukung upaya untuk mengurangi dampak bencana dan mengganggu (Humanitarian Practice Network, 2015). Selain itu, pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction – DRR) harus diterapkan secara sistematis di seluruh kurikulum dan tingkatan kelas. Penanganannya harus melampaui ilmu pengetahuan dasar tentang bahaya dan langkah-langkah keselamatan, namun juga mempertimbangkan pencegahan, mitigasi, kerentanan, dan pembangunan ketahanan (Selby & Kagawa, 2012). Oleh karena itu, pemberian pendidikan lingkungan hidup sebagai bagian dari kurikulum Indonesia merupakan landasan bagi gerakan yang lebih besar untuk mencegah dan memitigasi krisis lingkungan hidup.

Pendidikan lingkungan hidup (PLH) merupakan kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan (Prihantoro, 2014). Melalui PLH, masyarakat harus mampu menghargai alam, menerima dengan bijaksana, mempertanyakan, dan melampaui norma dan tradisi sosial, mengkritik keserakahan perusahaan global, mencari informasi, membayangkan masa depan yang ideal, memecahkan masalah, dan bertindak berdasarkan ide-ide untuk mendapatkan solusi. PLH akan efektif bila disampaikan sebagai bagian dari keseluruhan sekolah, pendekatan lintas kurikuler yang bersifat lingkungan (bukan tentang lingkungan – diajarkan di kelas atau buku teks), melainkan untuk lingkungan (berbasis tindakan), dan berdasarkan pengalaman (Parker & Prabawa-Sear, 2019).

Dalam pendidikan lingkungan hidup pada pendidikan dasar dan menengah di Indonesia (menengah umum dan kejuruan), penyampaian muatan tentang isu lingkungan hidup diintegrasikan dan dituangkan dalam sistem kurikulum dengan memasukkan isu lingkungan hidup pada hampir semua mata pelajaran. Perspektif pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum 2013 di Indonesia dipenuhi dengan harapan agar peserta didik memperoleh kesadaran dan kepekaan, memperoleh berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang lingkungan hidup, serta membentuk karakter untuk memperoleh seperangkat nilai-nilai perasaan peka lingkungan pada jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah (Prihantoro, 2014).

Namun, meskipun Indonesia telah menerapkan pendidikan lingkungan hidup, namun hampir tidak ada data statistik mengenai persepsi terhadap lingkungan hidup atau kesadaran lingkungan hidup di Indonesia. Bank Dunia bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai lingkungan belum tertanam secara mendalam di masyarakat, sehingga menyebabkan rendahnya penilaian terhadap sumber daya alam dan jasa lingkungan (Parker & Prabawa-Sear, 2019). Oleh karena itu, hal ini mendesak perlunya pendidikan lingkungan hidup yang lebih dari sekedar transmisif tetapi juga merupakan pengalaman pembelajaran langsung dan transformatif.

Salah satu alternatif pedadogi yang dapat diterapkan adalah melalui kegiatan nature journaling atau jurnal alam. Penulisan jurnal telah dieksplorasi dan diterapkan sebagai metode pedagogi yang menawarkan banyak manfaat, seperti mendorong dan menggali pembelajaran dan pengalaman orang dewasa (Kerka, 1996, dalam Tsevreni, 2020), meningkatkan pembelajaran siswa, dan membantu mereka memahami dan menerapkan konsep (Greene, 2000, dalam Tsevreni, 2020), dan meningkatkan kreativitas, imajinasi, pemecahan masalah, dan keterampilan bermanfaat lainnya (Şenel & Bağçeci, 2019). Penulisan jurnal dapat dilakukan dalam berbagai cara, seperti jurnal akademik, jurnal reflektif, jurnal rasa syukur, jurnal alam, dan masih banyak lagi.

Penjurnalan alam  itu sendiri muncul melalui studi sejarah alam sebagai cara untuk memahami, mengalami, dan menilai alam (Bell, 1997, dalam Tsevreni, 2020). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penjurnalan alam yang berkelanjutan dapat memberikan dampak positif terhadap pendidikan, lingkungan, dan psikologis remaja (Bollich, 2023). Lebih lanjut, mendokumentasikan persepsi dan pengamatan tentang alam secara teratur dapat membantu siswa lebih memahami bagaimana alam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh siklus bumi (Leslie & Roth 2001, dalam Arnold, 2012). Hal ini juga berpotensi membantu remaja membentuk identitas dan literasi mereka (McMillan & Wilhelm, 2007). Yang terpenting, penjurnalan alam meningkatkan pemahaman siswa tentang lingkungan dan membantu mereka membuat hubungan yang lebih baik antara aktivitas sains, menulis, dan lingkungan (Cormell & Ivey, 2012).

Dalam interview bersama beberapa guru dan siswa SMP, saya melihat bahwa kesadaran siswa, guru, sekolah, dan pemerintah akan pentingnya pendidikan lingkungan hidup masih terbilang rendah. Di satu sisi, metode pengajaran terhadap pendidikan lingkungan hidup juga masih sangat teoritis dan bukan praktikal. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pendekatan berbeda dalam mengajar siswa tentang pelajaran lingkungan hidup. Penjurnalan alam ini berupaya memberikan pengalaman berbeda bagi siswa untuk belajar tentang lingkungannya melalui observasi dan keterlibatan langsung dengan alam. Melalui melihat, siswa belajar berpikir dan merasakan, kemudian belajar mencintai, dan akhirnya belajar bertindak.

Kegiatan jurnal alam ini dapat dimulai dengan menyediakan pertanyaan dan aktivitas sederhana yang mudah dipahami siswa sehingga mereka akan menganggap kegiatan ini mudah dan menyenangkan. Jurnal alam dapat meliputi hal-hal seperti pertanyaan terpandu, fakta menarik, observasi, menanam tanaman dan menulis tulisan singkat. Unsur-unsur ini bertujuan tidak hanya untuk membimbing siswa dalam hubungannya dengan lingkungannya tetapi juga secara tidak langsung memungkinkan mereka untuk membangun keterampilan penting seperti berpikir analitis, berpikir reflektif, dan keterampilan menulis. 

Penutup

Dalam konteks krisis lingkungan seperti kebakaran hutan dan kabut asap di Indonesia, pendidikan lingkungan hidup dapat berkontribusi dalam mengembangkan kesadaran dan kepedulian siswa terhadap lingkungan serta mendorong tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pendidikan lingkungan hidup di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Oleh karena itu, urgensi untuk mengubah cara kita mengajarkan pelajaran lingkungan hidup perlu diubah. Nature journaling bertujuan untuk memberikan siswa pengalaman berpikir, terlibat, mengeksplorasi, dan menyelidiki alam dan lingkungan sekitar mereka melalui penjurnalan alam. Pendidikan lingkungan hidup tidak boleh sekedar menjadi pengalaman pembelajaran yang menular tetapi merupakan pengalaman pembelajaran transformatif yang dapat mengubah umat manusia dan hubungannya dengan lingkungan. Melalui pengalaman melihat, berpikir, merasakan, dan berinteraksi dengan lingkungan, siswa akan belajar mencintai lingkungan dan terlibat aktif dalam menjaga lingkungan.

Referensi

Arnold, G. (2012). Enhancing college students’ environmental sensibilities through online nature journaling. Environmental Education Research, 18(1), 133–150. https://doi.org/10.1080/13504622.2011.589000

Bollich, J. (2023). Nature journaling in the high school classroom. American Biology Teacher, 85(4), 187–191. https://doi.org/10.1525/abt.2023.85.4.187

Cormell, J., & Ivey, T. (2012). Nature journaling: enhancing students’ connections to the environment through writing. Science Scope, 35(5), 38–43. http://www.jstor.org/stable/43184531

Hein, L., Spadaro, J. V., Ostro, B., Hammer, M., Sumarga, E., Salmayenti, R., Boer, R., Tata, H., Atmoko, D., & Castañeda, J.-P. (2022). The health impacts of Indonesian peatland fires. Environmental Health, 21(1). https://doi.org/10.1186/s12940-022-00872-w

Humanitarian Practice Network. (2015). 10 things you should know about disaster risk reduction [YouTube Video]. In YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=y16aMLeh91Q

Indonesia’s forest fires: What you need to know. (2016, March 10). World Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2016/03/indonesias-forest-fires-what-you-need-to-know/

Indonesian Fires Return in 2023. (2023, October 6). Earthobservatory.nasa.gov. https://earthobservatory.nasa.gov/images/151929/indonesian-fires-return-in-2023

Kiely, L., Spracklen, D. V., Arnold, S. R., Papargyropoulou, E., Conibear, L., Wiedinmyer, C., Knote, C., & Adrianto, H. A. (2021). Assessing costs of Indonesian fires and the benefits of restoring peatland. Nature Communications, 12(1). https://doi.org/10.1038/s41467-021-27353-x

Listiyorini, E., & Cheng, J. (2023, October 6). Bloomberg – Are you a robot? Www.bloomberg.com. https://www.bloomberg.com/news/articles/2023-10-07/air-quality-in-east-singapore-hits-unhealthy-level-nea-says

Marlier, M., Madrigano, J., Huttinger, A., & Burger, N. (2021). Indonesian Fires and Haze Measuring the Health Consequences of Smoke Exposure. https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/research_reports/RRA1300/RRA1314-1/RAND_RRA1314-1.pdf

McMillan, S., & Wilhelm, J. (2007). Students’ stories: Adolescents Constructing Multiple Literacies Through Nature Journaling. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 50(5), 370–377. https://doi.org/10.1598/jaal.50.5.4

Parker, L. (2018). Environmentalism and education for sustainability in Indonesia. Indonesia and the Malay World, 46(136), 235–240. https://doi.org/10.1080/13639811.2018.1519994

Parker, L., & Prabawa-Sear, K. (2019). Environmental Education in Indonesia. Routledge.

Prihantoro, C. R. (2014). The perspective of curriculum in Indonesia on environmental education. International Journal of Research Studies in Education, 4(1). https://doi.org/10.5861/ijrse.2014.915

Selby, D. & Kagawa, F. (2012). Disaster risk reduction in school curricula: Case studies from thirty countries. UNESCO and UNICEF.

Şenel, M., & Bağçeci, B. (2019). Development of creative thinking skills of students through journal writing. International Journal of Progressive Education, 15(5), 216–237. https://doi.org/10.29329/ijpe.2019.212.15

Shah, R. Henderson, C. Couch, D. (2019) Education sector recovery disaster guidance series. World Bank GFDRR, Washington DC.

Vizzuality. (n.d.). Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW. Www.globalforestwatch.org. https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?category=fires