Yoga Hadiprasetya 0shares Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More Kemiskinan merupakan salah satu tantangan utama yang terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat di setiap belahan negara. Tidak luput Indonesia, yang pada saat ini tengah mengentaskan laju kemiskinan di berbagai wilayahnya. Kota Surabaya, sebagai Kota Terbesar Kedua di Indonesia, pun masih memiliki masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin di wilayahnya. Berbekal semangat untuk turut berkontribusi dalam Pengentasan Kemiskinan, sekelompok Pemuda-Pemudi yang tergabung dalam Program Kepemimpinan SDG Academy Indonesia Angkatan Keempat Tahun 2023, mencoba untuk menelisik kebutuhan yang pada saat ini dirasakan oleh para Pekerja Informal di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Salah satunya adalah kebutuhan akan Akses Permodalan dari Lembaga Keuangan Formal dan Informal yang seyogyanya dapat membantu kemampuan untuk berusaha, sebagaimana menjadi tantangan terbesar yang dialami oleh para Pekerja Informal tersebut. Melalui In-Depth Interview, Kelompok Poverty 3 SDG Academy Indonesia, yang terdiri dari Yoga Hadiprasetya (Pemerintah Pusat), Yan Putra Timur (Entrepreneur), Firman Syah (BUMN), Intan Dinillah (Pemerintah Daerah), serta Karina Nursyafira Alihta (Swasta), mencoba untuk menggali lebih dalam kebutuhan para Pekerja Informal di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Dari wawancara mendalam yang telah dilaksanakan, didapatkan hasil bahwa para Pekerja Informal tersebut mengalami beberapa permasalahan yang utamanya adalah keterbatasan ketersediaan permodalan dari Lembaga Keuangan Formal dan Informal yang dapat membantu usaha mereka, serta terbatasnya kemampuan mereka dalam mengelola keuangan yang secara langsung berdampak pada penilaian dari Lembaga Keuangan tersebut terhadap para Pekerja Informal sebagai dasar utama pertimbangan pemberian permodalan. Melalui penyusunan Design Thinking, hadir gagasan untuk membantu para Pekerja Informal dalam meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangannya yang dapat memfasilitasi akses permodalan dari Lembaga Keuangan ke depan. Gagasan ini kemudian diberi nama “Beri Akses Mudah untuk Pekerja Informal”, atau disingkat menjadi BAMPI. Timbul pertanyaan utama terkait kegiatan BAMPI yang pada saat ini tengah digagas oleh Kelompok Poverty 3 SDG Academy Indonesia, yaitu: Pihak mana saja yang akan turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam menyukseskan implementasi kegiatan BAMPI, menyikapi kebutuhan akan kemampuan pengelolaan keuangan para Pekerja Informal di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur? Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana tersebut di atas, serta guna mendefinisikan para pihak berdasarkan perannya, setiap pihak secara nyata memiliki kepentingan tersendiri untuk berpartisipasi dalam kegiatan BAMPI. Para pihak ini dapat mengetahui manfaat yang akan mereka peroleh melalui partisipasinya dalam program dimaksud. Hadiprasetya Y., dan Kim, J.-O. (2022) lebih lanjut menjelaskan bahwa pengkategorian pemangku kepentingan dapat dilakukan dengan melakukan klasifikasi guna mengidentifikasi Power & Interest dari setiap pihak. Dalam mengimplementasikan BAMPI, matriks Power & Interest tersebut dapat ditransformasikan sebagai berikut: 1) High Power-High Interest: Instansi Pemerintahan Pusat, Instansi Pemerintahan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), serta Organisasi Non-Pemerintahan; 2) High Power-Less Interest: Badan Usaha Milik Negara, serta Lembaga Kerja Sama Pembangunan; 3) Less Power-High Interest: Universitas dan Lembaga Penelitian, serta Organisasi Masyarakat Sipil; 4) Less Power-Less Interest: Swasta dan Pelaku Usaha, Individu, serta Komunitas Terdampak. Mengikuti klasifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, Klasifikasi High-Power-High Interest memiliki peran yang sangat vital dalam penyelenggaraan kegiatan BAMPI. Kemudian diikuti secara berurutan oleh Klasifikasi High Power-Less Interest, Less Power-High Interest, dan Less Power-Less Interest. Oleh karena itu, dalam memaksimalkan klasifikasi Power & Interest, Pengkategorian para Pemangku Kepentingan BAMPI perlu disusun dalam bentuk yang lebih komprehensif yaitu Konsep Hexa-Helix Stakeholders, untuk melibatkan peran aktif Multi-Pihak untuk bersama-sama memfasilitasi kondisi yang lebih baik bagi para Pekerja Informal di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Hexa-Helix Stakeholders Concept hadir untuk merangkum semua peran penting dari para pemangku kepentingan dalam berkontribusi untuk bersama-sama bersinergi mencapai tujuan tertentu, khususnya berkaitan dengan penyediaan solusi masalah sosial. Berkenaan dengan hal ini, Penta-Helix Stakeholders Categorization dapat ditingkatkan menjadi Hexa-Helix Stakeholder Categorization untuk meningkatkan partisipasi aktif dari setiap pihak. Rachim, Abd., Warella, Y., Astuti, R.T., dan Suharyanto, S. (2020), menjelaskan bahwa kategorisasi Penta-Helix Stakeholders dikategorikan sebagai Pemerintah, Dunia Usaha, Universitas, LSM, dan Media Massa. Menyusul Penta-Helix ini, untuk meningkatkan partisipasi kolaboratif menjadi lebih komprehensif, penambahan Masyarakat Terdampak sebagai penerima manfaat meningkatkan Penta-Helix menjadi bentuk Hexa-Helix. Berkaitan dengan penjelasan mengenai Hexa-Helix Stakeholders Categorization yang telah disebutkan sebelumnya, pengimplementasian BAMPI memiliki bentuk Hexa-Helix Stakeholders Categorization sebagai berikut: Instansi Pemerintahan (Pusat, Provinsi, serta Kabupaten/Kota) dan Badan Usaha Milik Negara, yang secara lebih lanjut berperan untuk memberikan advokasi dan memimpin koordinasi lintas sektor terkait adanya kebutuhan pelaksanaan kegiatan BAMPI di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Dalam hal ini, Instansi Pemerintahan diharapkan dapat berkolaborasi sebagai salah satu penyelenggara atau Co-Facilitator kegiatan BAMPI. Universitas dan Lembaga Penelitian, yang secara lebih lanjut berperan untuk memberikan edukasi melalui penyediaan tenaga ahli dan penyusunan modul-modul pelatihan guna mendukung pelaksanaan kegiatan BAMPI di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Organisasi Non-Pemerintahan, Organisasi Masyarakat Sipil dan Individu, yang secara lebih lanjut berperan secara persuasif untuk menggerakan perhatian seluruh pihak dalam menyikapi kebutuhan para Pekerja Informal, serta membantu operasional pelaksanaan kegiatan BAMPI di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Dalam hal ini, Organisasi Non-Pemerintahan, Organisasi Masyarakat Sipil dan Individu diharapkan dapat berkolaborasi sebagai salah satu penyelenggara atau Co-Facilitator kegiatan BAMPI. Swasta dan Pelaku Usaha, yang secara lebih lanjut berperan dalam membantu operasional dan pendanaan dari kegiatan BAMPI melalui skema Public-Private Partnerships (PPPs) khususnya dalam penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam hal ini, Swasta dan Pelaku Usaha diharapkan dapat berkolaborasi sebagai salah satu penyelenggara atau Co-Facilitator kegiatan BAMPI. Media Massa, yang secara lebih lanjut berperan untuk mempublikasikan secara masif mengenai proses pelaksanaan kegiatan BAMPI kepada masyarakat luas, khususnya dalam rangka peningkatan kepedulian akan kebutuhan yang dialami oleh para Pekerja Informal. Komunitas Terdampak, secara lebih lanjut dikategorikan sebagai Pekerja Informal di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, yang menyediakan ruang untuk berinteraksi serta secara nyata bersedia untuk diberikan bantuan melalui penyelenggaraan kegiatan BAMPI. Berkenaan dengan hal-hal sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Hexa-Helix Stakeholders Categorization dapat dinyatakan sebagai metode yang tepat untuk menyikapi kebutuhan akan kemampuan pengelolaan keuangan yang dirasakan oleh para Pekerja Informal melalui penyelenggaraan kegiatan Beri Akses Mudah untuk Pekerja Informal (BAMPI) di Pasar Keputran, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Referensi: Hadiprasetya, Yoga, and Jin-Oh Kim. “Understanding Stakeholders’ Perspectives on the Indonesia–EU FLEGT-VPA Scheme Implementation.” Forests 13, no. 11 (October 26, 2022): 1762. https://doi.org/10.3390/f13111762. Rachim, Abd., Warella, Y., Astuti, R.T., and Suharyanto, S. “Hexa Helix: Stakeholder Model in the Management of Floodplain Lake Tempe.” Prizren Social Science Journal 4, Issue: 1 (April 30, 2020). https://doi.org/10.32936/pssj.v4i1.
Wujudkan Majalengka Langkung Sae, PC Tidar Majalengka Gelar Rapat Konsolidasi dan Pelatihan Tunas 1 dan 2 Read More