Agustinus Allan Porajow Founder TalkMore Indonesia / Penggiat Kesehatan Mental & Inklusivitas 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Dewasa ini, penguasaan bahasa asing semakin dilantangkan sebagai bagian dari perkembangan zaman. Bukan tanpa alasan, dengan munculnya globalisasi, tuntutan untuk mempelajari bahasa lain kini hadir di antara masyarakat, terlebih generasi muda. Pertanyaannya, mana bahasa yang penting? Mungkin akan banyak yang memilih Inggris karena diakui secara internasional, Perancis atas keindahan aksen yang dimiliki, atau bahkan Mandarin, seiring maraknya pebisnis Tiongkok yang mendirikan perusahaan di negara lain. Sayangnya, dari beragam bahasa di dunia, terdapat salah satu bahasa yang kerap kali luput dari sorotan publik, yakni bahasa isyarat. Selayaknya jembatan komunikasi antara komunitas Tuli, bahasa isyarat sejak lama dilihat sebagai sebatas suatu komunikasi non-verbal, bukan seperti Bahasa Inggris yang dapat terdengar . Walau demikian, sign language memenuhi indikator bahasa alamiah yang memiliki pengaturan tata bahasa, kosa kata, dan merupakan metode komunikasi dari suatu kelompok masyarakat. Indonesia sendiri memiliki dua bahasa isyarat, yakni Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Perbedaan terletak pada siapa pembuatnya dimana SIBI diciptakan oleh orang bukan Tuli, yang menyebabkan komunitas Tuli mengalami kesulitan berkomunikasi akibat kekakuan dari peraturan tata bahasa . Oleh karena itu, muncul kebutuhan akan suatu bahasa isyarat yang berasal dari internal komunitas, sehingga terciptanya BISINDO sebagai wujud ekspresi alamiah dari kebudayaan Tuli (Gumelar et al., 2018). Saat ini, seiring maraknya gerakan sosialisasi BISINDO selayaknya bahasa isyarat terakui, ikut tersoroti suatu masalah sosial yang berakar kuat, yakni kesenjangan akses yang dialami Tuli, terutama dalam mengakses pelayanan publik dan fasilitas umum. Lebih lanjut, salah satu akar permasalahannya terletak pada masyarakat yang masih banyak tak peduli atau bahkan, tak sadar akan eksistensi problematika ini. Bahasa isyarat diidentifikasi sebagai salah satu dari sekian cara untuk meningkatkan kesadaran publik akan isu disabilitas, khususnya Tuli. Bagi sejumlah besar orang, tahun 2020-2022 merupakan masa pandemi COVID-19, namun apabila dilihat lebih dalam, sebenarnya tiga tahun terakhir menandai lahirnya ragam gerakan aktivisme digital, terutama oleh komunitas Tuli yang melalui organisasi, seperti Pusat Bahasa Isyarat (Pusbisindo) dan Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) kerap menyerukan persamaan hak bagi Tuli. Tak hanya sebatas mengadvokasi, sejumlah komunitas turut memulai kursus bahasa isyarat, baik gratis maupun berbayar, yang cukup menarik hati generasi muda Indonesia. Mengapa demikian? Banyak kejadian positif maupun negatif yang mengiringi fenomena ini, salah satunya ketika Menteri Sosial, Tri Rismaharini memaksa anak Tuli untuk berbicara sehingga memicu kecaman dari banyak aktivis disabilitas terutama dalam pentingnya memahami budaya dan bahasa Tuli (Nilawaty, 2021). Tak hanya peristiwa negatif, bahasa isyarat pun secara tak langsung dipromosikan oleh Wanda Utami, seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang menerjemahkan dengan apik lagu Ojo Dibandingke selagi dibawakan penyanyi cilik Farel Prayogo (Sari, 2022). Ragam peristiwa ini pun semakin mempopulerkan eksistensi bahasa isyarat, atau secara lebih mendalam, isu disabilitas. Orang yang dahulu tak tahu pentingnya JBI dalam suatu acara, kini memahami fungsi JBI layaknya penerjemah bahasa Inggris, dimana tanpa adanya terjemahan, peserta acara tak dapat menikmati dengan maksimal, apalagi berpartisipasi secara aktif. Popularitas BISINDO semakin mendorong kesadaran isu disabilitas di antara masyarakat, menimbang urgensi dari pencarian solusi atas berbagai permasalahan aksesibilitas. Bahasa isyarat diidentifikasi sebagai jalan masuk menuju pemahaman mendasar akan perjuangan Tuli, dimana bahasa membentuk cara manusia berpikir (Boroditsky, 2011). Misalnya, jika berbicara tentang disabilitas secara negatif, hal itu akan beresolusi pada persepsi agresif, bahkan cenderung diskriminatif. Ketika mempelajari bahasa, manusia turut mengalami sejumlah pengalaman serupa dari suatu kelompok, seperti komunitas Tuli yang harus menggunakan isyarat karena ketidakmampuan berbicara layaknya masyarakat umum dalam berbagai bahasa verbal. Esensi perjuangan dari penciptaan BISINDO pun akan memicu transisi pola pikir yang lebih inklusif dibandingkan sebelumnya. Hal ini serupa dengan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa, BISINDO merupakan langkah awal mengakhiri diskriminasi dan menyatukan masyarakat tanpa diskriminasi. Oleh karena itu, alih-alih menggunakan bahasa sebagai alat eksklusi, publik seharusnya menjadikan bahasa, secara khusus bahasa isyarat selayaknya perekat inklusi sosial. Lalu, apakah bahasa isyarat ampuh dalam melawan kesenjangan? Selain ilustrasi yang telah dipaparkan sebelumnya, seiring terus berkembangnya diskusi atas isu disabilitas, berbagai pihak termasuk perusahaan swasta, pemerintah, dan komunitas akar rumput memulai adaptasi kebijakan yang ramah disabilitas. Salah satu yang terbaru adalah adanya gerai Starbucks yang murni menggunakan BISINDO sebagai cara berkomunikasi (Tempo, 2022), dimana kini tak hanya kelompok bukan Tuli saja yang dapat menikmati kopi Starbucks tanpa kesulitan memesan, namun turut mengajak Tuli untuk merasakan ruang publik ramah. Tak hanya itu, eksistensi dari gerai ini akan semakin memotivasi pengajaran bahasa isyarat, terutama terhadap generasi muda. Sosialisasi melalui kolaborasi dengan pihak swasta semakin memperkuat gerakan melawan kesenjangan disabilitas. Kini, perusahaan lain pun berpotensi akan mengikuti jejak Starbucks terutama melalui pendidikan bahasa isyarat, pembukaan lapangan kerja yang inklusif, bahkan inovasi teknologi dengan orientasi pada pemenuhan kebutuhan disabilitas. Tak sebatas swasta, institusi pendidikan telah memulai ragam kebijakan yang ramah Tuli, seperti menyediakan komunitas peduli difabel sebagai sarana bagi seluruh mahasiswa untuk turut serta dalam upaya menciptakan ruang publik ramah disabilitas. Selain itu, demi memastikan aksesibilitas yang dipandu oleh Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya tujuan yang ke-10, dimana beberapa universitas mulai menginisiasi program pelatihan bahasa isyarat bagi tenaga pendidikan maupun mahasiswa. Menilik sejarah panjang komunitas disabilitas, terutama Tuli, sejumlah pencapaian tersebut dapat dikatakan cukup berhasil membawa isu terkait aksesibilitas dan inklusivitas ke sistem pendidikan. Sayangnya, perjalanan menuju penciptaan ruang publik ramah disabilitas masih membutuhkan waktu lagi. Perjuangan sosialisasi bahasa isyarat sebagai alat mewujudkan aksesibilitas perlu dilakukan lebih masif melalui kolaborasi dari setiap pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum. Tanpa koordinasi tiap aktor dalam mengeliminasi problematika sosial ini, kesadaran terhadap isu disabilitas hanya akan menjadi sebatas tren, yang berpotensi hilang di tengah derasnya informasi atau masalah lain. Ketika semakin banyak penduduk Indonesia mempelajari bahasa isyarat, akan lebih mudah komunitas Tuli bangkit dari ketidakadilan hingga terwujud suatu inklusi sosial.  SUMBER REFERENSI Boroditsky, L. (2011, February 1). How Language Shapes Thought. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/article/how-language-shapes-thought/?error=cookies_not_supported&code=86440510-a124-4d3b-bd93-6d3494bd75df Gumelar, G., Hafiar, H., & Subekti, P. (2018). KONSTRUKSI MAKNA BISINDO SEBAGAI BUDAYA TULI BAGI ANGGOTA GERKATIN. INFORMASI, 48(1), 65. https://doi.org/10.21831/informasi.v48i1.17727 Kujawska-Lis, E. (2012). Language as a Tool of Inclusion, Seclusion and Exclusion in Joseph Conrad’s “Falk.” Conradiana, 44(2/3), 227–239. http://www.jstor.org/stable/24643275 Nilawaty P., C. (2021, December 3). Kronologis Menteri Sosial Risma Paksa Anak Tuli Bicara Lalu Menuai Kritik. Tempo. https://difabel.tempo.co/read/1535259/kronologis-menteri-sosial-risma-paksa-anak-tuli-bicara-lalu-menuai-kritik Padden, C. A., & Humphries, T. L. (1988). Deaf in America: Voices From a Culture (1St Edition). Harvard University Press. Sari, R. P. (2022, August 19). Cerita Winda Utami, Penerjemah Bahasa Isyarat yang Viral Usai Ikut Joget Lagu “Ojo Dibandingke” Halaman all – Kompas.com. KOMPAS.com. https://www.kompas.com/hype/read/2022/08/19/134036566/cerita-winda-utami-penerjemah-bahasa-isyarat-yang-viral-usai-ikut-joget?page=all Stevenson, O., Stainthorp, C., & Morris, S. (2019, October 9). How the language we use entrenches inequalities. The Conversation. https://theconversation.com/how-the-language-we-use-entrenches-inequalities-124664