Siti Suci Larasati CEO of Aksata Pangan Food Bank 0shares Menyusun Arah Kedaulatan Pangan yang Berkelanjutan dan Berakar pada Budaya Lokal Read More Kisah dari Medan: Daulat Atas Pangan! Siti Suci Larasati Sampah makanan menjadi salah persoalan di antara isu manajemen sampah secara global. Menurut data dari UNEP, setiap tahunnya sekitar 1.3 miliyar ton makanan terbuang menjadi sampah.[1] Melihat nilai yang cukup besar tersebut, sungguh disayangkan bahwa kita masih menemui kasus kelaparan dan kurang gizi di berbagai belahan dunia. Terang saja, ada persoalan distribusi pangan yang begitu timpang. Persoalan pangan ini sejatinya membutuhkan beragam perspektif untuk menyelesaikannya. Ia berisi kompleks persoalan dari aspek kebijakan, lingkungan, ekonomi, dan sosial-budaya.[2] Tidak heran, sebab pangan merupakan kebutuhan primer manusia, salah satu penopang utama manusia untuk tetap hidup. Tercatat bahwa daerah urban menyumbang lebih banyak sampah makanan dibanding daerah rural, selain presentase populasinya yang jauh berbeda, wilayah urban juga menunjukkan ketimpangan akses atas pangan yang tinggi. Ini dapat kita jumpai di berbagai kota di Indonesia. Di Kota Medan saja, misalnya, terdapat 300 ton sampah makanan per tahunnya. Mengacu pada data Aksata Pangan – Food Bank Medan, 300 ton sampah makanan jika berhasil diselamatkan dan terdistribusikan dengan baik, dapat dikonsumsi oleh kurang lebih 210 ribu penduduk. Sayangnya, 300 ton sampah makanan itu sebagian besar berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jika kita hendak sedikit melihat kilas sejarah umat manusia, pengelolaan pangan dari produksi sampai distribusi lah yang mendorong perubahan peradabaan dari waktu ke waktu. Dahulu, di kala manusia masih berburu dan meramu, manusia hidup nomaden. Tolok ukur seorang pemimpin akan diukur lewat bagaimana ia dapat mengumpulkan buruan untuk kelompoknya. Ketika manusia mulai mempelajari cara bercocok tanam, baru lah manusia menetapkan tempat tinggalnya dan berusaha dari waktu ke waktu untuk ‘memanipulasi’ alam demi pemenuhan kebutuhannya. Misalnya, lewat penggarapan lahan persawahan dan perkebunan, juga pembuatan saluran irigasi. Seorang pemimpin akan dilihat dari sosoknya yang dapat memanajemen sumber daya yang dimiliki. Dus, revolusi industri di Eropa pada abad ke-18 berpangkal pada urusan relasi produksi pangan, seturut dengan isu pendistribusiannya. Revolusi itu telah meninggalkan sistem tata cara manusia mengelola pangan di era sebelumnya yang dikuasai para bangsawan beralih kepada siapa pun dengan hak yang setara. Boleh dikata, sampai dengan hari ini, sistem pengelolaan pangan itu masih kita pakai secara esensial. Persoalan yang muncul di abad ke-21 ini sangat dipengaruhi dengan jumlah populasi dunia yang meningkat tajam dari seratus tahun sebelumnya. Lebih banyak manusia berarti lebih banyak sampah, dan lebih banyak lagi sampah yang perlu dikelola dan diolah. Kemampuan dan inovasi di berbagai bidang untuk menyelesaikan persoalan sampah menjadi krusial bagi kelangsungan lingkungan dan kelayakan hidup manusia. Di era ini, pemerintah, perusahaan, kelompok masyarakat, dan individu, mulai melimpahkan konsentrasinya pada upaya menyelesaikan persoalan pangan. Satu bagian krusial yang seringkali luput pada perhatian utama kita atas isu tersebut adalah pengelolaan budaya konsumerisme. Ada lebih banyak orang yang membeli, dibanding orang yang mengolah. Ekonomi sirkular menjadi fokus pelbagai perusahaan multinasional, sayangnya masih banyak juga yang mempertahankan single plastic use[3]. Perusahaan kini memang dituntut oleh banyak pihak untuk bertanggung jawab lebih atas produk yang dikeluarkannya. Untuk itu, banyak perusahaan yang mengeluarkan produk ramah lingkungan sebagai itikad seriusnya berkontribusi menyelesaikan persoalan ini, juga berbagai model bisnis melingkar yang ditawarkan. Pada 2018, sebuah komunitas di Kota Medan yang fokus dengan isu sampah makanan berdiri. Food Truck Sedekah (FTS) dengan menggunakan pendekatan Islam dalam upaya meredistribusikan surplus pangan kepada pihak yang membutuhkan. Donasi dibuka secara luas untuk kemudian disalurkan kepada berbagai pihak setiap hari Jumat. Meski pendekatan yang digunakan adalah agama, namun sejatinya yang dilakukan oleh FTS ialah suara agama dalam urusan sosial dan kemanusiaan. Melalui gerakan ini, FTS berhasil menyalurkan surplus di hampir 100 masjid di berbagai daerah di Kota Medan. Dua tahun berjalan, FTS kemudian bertekad untuk mengambil tantangan lebih dengan mereformasi komunitasnya dan perlahan bertransformasi menjadi sebuah food bank bernama Aksata Pangan. Aksata Pangan bertekad untuk menjadi pengumpul dan penyalur surplus pangan di Kota Medan dan sekitarnya. Plus, lembaga ini bertujuan untuk menjadi food-hub yang dapat menjadi pusat aktivitas distribusi pangan, pelatihan, interaksi, kegiatan ekonomi dan kegiatan ilmiah. Sejauh ini, Aksata Pangan berhasil menyelamatkan 30 ton sampah makanan per tahun 2021. Melalui Aksata Pangan[4] terpupuk imajinasi pengelolaan dan distribusi berkelanjutan pangan di Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara untuk mewujudkan kedaulatan dan keamanan pangan. Tentu saja, upaya itu tidak dapat dicapai dengan hanya mengandalkan upaya distribusi melainkan juga pengelolaan bisnis di bidang tersebut. Idealnya, para pelaku pangan, dari tingkat produksi sampai dengan distribusi membutuhkan dampak materiil secara langsung. Untuk itu, pengembangan dan mitra dengan pihak produsen seperti pabrik dan petani, misalnya, dibangun untuk dapat meminimalisir kemungkinan sampah terbuang. Lagi, pengelolaan pangan adalah krusial bagi manusia. Mengelola pangan berarti mengelola dunia. Siapa menguasai pangan berarti menguasai dunia. Untuk itu, sinergi antar pihak menjadi begitu penting untuk tercapainya sistem pangan yang berdaulat dan berkelanjutan. Daulat pangan untuk selamatkan dunia. Ini kisah pangan dari Medan, telah sama kah impian kita di hari depan? [1] https://www.unep.org/thinkeatsave/get-informed/worldwide-food-waste [2] Farrukh, dkk., “Exploring the sustainable food security approach in relation to agricultural and multi-sectoral interventions: A review of cross-disciplinary perspectives [3] Baru-baru ini Greenpeace berkampanye di kantor Nestle di Swiss soal plastik sekali pakai [4] https://www.thejakartapost.com/culture/2022/06/14/indonesian-food-banks-try-to-tackle-food-waste-and-climate-change-issue.html