fbpx
Freepik/jcomp

MENJAWAB PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL: Penguatan Kolaborasi Multipihak dalam Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dengan Pendekatan Vertikal dan Horizontal

MENJAWAB PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL:

Penguatan Kolaborasi Multipihak dalam Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dengan Pendekatan Vertikal dan Horizontal

Oleh: Priskila Arta Bundu

Kesetaraan gender pada masa ini menjadi isu yang selalu digaungkan oleh berbagai pihak, banyak pihak yang menyuarakan hal ini sebab isu perbedaan gender kini menjadi batu sandungan bagi beberapa pihak di lingkup masyarakat. Posisi gender yang membedakan dua golongan yakni maskulinitas dan feminitas seringkali menjadi acuan masyarakat dalam menormalisasikan beberapa hal. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang di masyarakat yang mampu memberikan pemahaman tidak tepat kepada anak sejak dini. Adapun hal-hal tersebut adalah laki-laki yang tidak pantas untuk menangis, laki-laki yang harus kuat dan bisa bekerja keras, dan sebagainya. Lalu di sisi lain, kehadiran anak perempuan yang dianggap hanya dapat bekerja di dapur, tidak boleh melakukan banyak interaksi dengan masyarakat luas, harus menjadi pribadi yang lembut, dan beberapa stigma masyarakat lainnya. Hal ini tentunya menjadi pemicu awal bagi masyarakat sejak dini dalam mengklasifikasikan diri mereka pada satu pihak tertentu. Anak laki-laki terpicu untuk berpikir bahwa mereka adalah golongan superior dan lebih kuat dari anak perempuan. Sesungguhnya, hal ini menjadi bentuk dari toxic masculinity yang berpotensi menghasilkan generasi yang patriarki, otoriter dan superior.

Selanjutnya dalam isu gender atau seringkali didengar dengan istilah manifestasi bias gender, memiliki banyak dampak buruk bagi lingkungan sekitar, salah satunya adalah kekerasan seksual terutama bagi perempuan. Menurut KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual merupakan tindakan yang merendahkan, menghina, menyerang dan tindakan lainnya, kepada fisik/tubuh yang berhubungan dengan hasrat seksual seseorang secara paksa. Isu kekerasan seksual menjadi ancaman yang beredar di berbagai situasi dan kondisi. Kasus kekerasan seksual mengalami perkembangan ruang mengikuti zaman yang dinamis. Di mata masyarakat awam, sebuah tindakan kejahatan dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika sudah terjadi sentuhan antar fisik atau tatap muka antara pelaku dan korban. Namun perlu dipahami bahwa, ruang dari bentuk kekerasan seksual juga ikut berkembang dengan zaman yang dinamis. Kini bentuk kekerasan seksual yang meliputi pelecehan juga bahkan terjadi melalui platfrom digital.  Bentuk teror berupa video vulgar, pesan yang mengandung unsur porno, dan beberapa tindakan lainnya adalah wujud nyata dari bentuk pelecehan seksual melalui platfrom digital.  Fenomena ini seakan-akan menjadi bentuk kejahatan yang fleksibel terjadi di setiap tempat. Melihat hal ini tentunya sudah banyak pihak baik dari pemerintah maupun non-pemerintah yang bergerak dalam menangkal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Secara hukum, perlindungan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan berbagai upaya dalam menjaga keamanan perempuan telah banyak diatur dalam undang-undang. Seperti, UU No. 39 tentang HAM, UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Politik ( UU No. 2 tahun 2008 dan UU No. 42 tahun 2008). Lalu ada juga yang termuat dalam Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kepres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah menjadi Perpres No. 65 tahun 2005. Hal ini juga tertuang dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimantion Against Women). Jika ditinjau secara yuridis, undang-undang dengan jumlah yang cukup banyak ini sudah dapat menjamin keamanan dari kekerasan seksual terutama untuk perempuan. Namun, hal yang berada di lapangan selalu saja terjadi secara paradoks. Kompleksitas masalah dan kejahatan kepada perempuan masih saja terjadi bahkan mengalami peningkatan yang luar biasa dari tahun ke tahun. Sumber data yang dilansir dari KOMNAS Perempuan mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020 berada di angka 299.911 kasus. Jika dibandingkan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan tahun lalu yang menyentuh hingga angka 431.471 kasus, tentunya tahun 2020 menunjukkan penurunan kasus kekerasan. Namun tidak menyelesaikan masalah bahwa Indonesia masih darurat akan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya merugikan korban secara fisik melainkan mental dan psikis korban juga. Trauma berat yang dialami memiliki efek samping besar terhadap kehidupan sehari-harinya di masa mendatang. Undang-undang yang telah disusun sedetail mungkin tidak mampu menjadi jaminan bagi perempuan untuk merasa aman. Apalagi ditinjau dari data KOMNAS Anti Kekerasan terhadap perempuan, pelaku kekerasan seringkali menjadi orang terdekat korban. Data tersebut mampu menunjukkan betapa terancamnya eksistensi perempuan, tidak ada ruang dan waktu yang menjamin keamanan perempuan seutuhnya untuk menghindari kekerasan seksual. Disini penulis menganalisis bahwa kebijakan atau peraturan yang ada hanya sekedar menjadi perjanjian tertulis di kertas saja. Perwujudan dari peraturan tersebut tidak dapat terlaksana secara optimal. Namun, hal ini bukan sekedar menjadi tanggung jawab pemerintah ataupun pelaksana hukum lainnya. Sebab, sudah saatnya isu kekerasan terhadap perempuan menjadi tanggung jawab multipihak, yang mana setiap pihak dalam lingkup masyarakat baik pemerintah ataupun non-pemerintah memiliki wujud nyata untuk bergerak menolak kekerasan terhadap perempuan.

Undang-undang dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dinilai cukup baik dan kuat jika pelaksanaannya berintegritas. Namun disini penulis menganalisis bahwa kolaborasi atau kerja sama berbagai pihak terutama dalam melakukan penjajakan kepada masyarakat secara langsung menjadi kunci utama dalam menangkal kasus ini. Dengan melakukan dua pendekatan utama yakni vertikal dan horizontal yang selanjutnya akan dibahas lebih rinci tentang keterlibatan pemerintah, non-pemerintah, dan masyarakat bergerak bersama-sama dalam menghalau kekerasan seksual terhadap perempuan. Secara vertikal akan dilakukan secara top-down dan bottom up yang langsung melibatkan pihak-pihak secara bertahap. Sebagai lembaga pemerintahan, sudah seharusnya menjadi pihak yang memiliki berbagai inisiasi inovatif dan konstruktif. Melalui ini bentuk kebijakan dan gebrakan pemerintah harus dilakukan dari tingkat pusat terlebih dahulu kemudian disosialisasikan hingga ke pelosok-pelosok daerah (top-down). Peran pemerintah pusat sebagai figur utama negara menjadi atensi utama masyarakat Indonesia, dengan langkah responsif pemerintah pusat secara langsung maka pemerintah yang berada di tingkat selanjutnya akan mengikuti langkah serupa. Oleh karena itu, garis besar dalam mempelopori gerakan anti kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan dari pusat menuju cabang hingga rantingnya. Selanjutnya, tindakan dalam melaporkan berbagai kasus yang ada guna menghadirkan manfaat hukum harus terjadi secara bottom up. Penulis melakukan pendekatan ini sebab masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang tertutup di dalam lingkup masyarakat. Hal ini didasarkan oleh beberapa sebab seperti menjaga nama baik oknum tertentu dan stigma masyarakat yang masih menganggap korban pelecehan seksual adalah hal yang sangat memalukan. Sehingga semua masalah tersebut diakhiri dengan istilah “kekeluargaan”. Berangkat dari fenomena ini, tindakan pelaporan untuk menolak kekerasan terhadap perempuan harus dimulai dari lingkungan masyarakat terlebih dahulu. Masyarakat harus memiliki paham yang rasional dan manusiawi tentang kasus pelecehan seksual terhadap perempuan adalah hal yang perlu diberantas bukan disembunyikan. Melakukan strategi ini diperlukan pihak-pihak yang paham dan mampu melakukan pendekatan kepada masyarakat. Kehadiran instansi pemerintah ataupun non-pemerintah menjadi wujud nyata dari eksistensi multipihak dalam menanggulangi kasus ini. Pihak pemerintah, pelaku bisnis, komunitas, akademisi dan media adalah kelompok yang tersebar dan berada dalam lingkup masyarakat. Multipihak memiliki potensi yang cukup kuat untuk bergerak sebagai pihak yang mendukung berbagai strategi dalam menolak kekerasan seksual terhadap perempuan terutama dalam menyuarakan berbagai tindakan kejahatan tersebut. Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai fungsi platfrom media sosial dan beberapa kelompok pegiat HAM yang menyerukan berbagai kasus pelecehan seksual terhadap wanita. Sistem vertikal ini bertujuan sebagai penguat arus informasi antara pemerintah hingga masyarakat, kelompok multipihak pun menjadi jembatan bagi korban untuk menuntut hak dan keadilannya. Dan yang terakhir adalah penguatan secara horizontal yang akan mengutarakan bagaimana keadilan itu benar-benar berlaku secara adil kepada setiap pihak bukan hanya pada golongan tertentu. Hukum di Indonesia seringkali menjadi dongeng saja karena perwujudannya yang tidak sejalan dengan isinya. Kehadiran oknum pelaku yang melewati jalan tikus untuk menghindari hukuman menjadi penyebab utama keadilan bagi korban tidak terjadi seutuhnya. Penegakan hukum harus terjadi setara, yang mana seluruh lapisan masyarakat Indonesia harus berada di satu garis mendatar (horizontal) yang sama ketika hukum itu akan dilaksanakan. Upaya korban kekerasan seksual dalam menuntut haknya perlu mendapatkan atensi dan perlindungan dari berbagai pihak lainnya ketika lembaga penegak hukum tidak mampu menjalankan tugasnya. Kembali lagi, penulis mengangkat kehadiran kelompok multipihak yang berpotensi besar dalam melakukan perlindungan kepada korban. Sudah banyak lembaga bantuan hukum dan pegiat/aktivis HAM lainnya yang terus gencar menghidupkan kemanusiaan bagi korban kekerasan seksual. Sehingga melalui kehadiran LBH dan pegiat HAM yang semakin banyak dalam mendukung korban harus menjadi cerminan bagi pelaksana hukum untuk sadar bahwa selama ini hukum di Indonesia tidak terealisasikan dengan baik. Hal yang terlihat seperti hitam putih ketika melihat banyaknya bermunculan organisasi non-pemerintah yang bergerak melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sendiri. Pandangan pelaksana hukum dalam melakukan tugasnya perlu menggunakan kacamata yang menjunjung kesetaraan dan mengedepankan kemanusiaan. Sehingga melalui hal ini, ruang aman dapat terealisasikan dengan baik untuk melindungi perempuan. Secara keseluruhan, ruang aman bagi perempuan harus hadir dimanapun mereka berada sebab perempuan bukanlah kelompok yang harus merasa terancam di beberapa waktu dan tempat. Potensi kolaborasi masyarakat, multipihak dan pemerintah adalah kunci utama untuk menciptakan kekuatan berasama dalam menolak kekerasan seksual terhadap perempuan.

Refrensi

Alpian, M. (2020, Maret 7). CATAHU 2020: Kekerasan Perempuan meningkat 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Retrieved from Sonora.id: www.sonora.id

Hotifah, Y. (2011). Dinamika Psikologis Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Personifikasi.

KOMINFO. (2020, 11 17). Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan, Tingkatkan Kolaborasi Pemerintah dan Komnas Perempuan. Retrieved from KOMINFO: www.kominfo.go.id

Ramadhan, F. M. (2019, Juli 30). Laporan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Masih Tinggi. Retrieved from TEMPO: grafis.tempo.co.id