sinta rusmawati Mahasiswa UPN Veteran Jawa Timur 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More A: Pak saya kemarin hampir diperkosa oleh si B Pak : Mana buktinya.. A : Loh tempatnya di semak-semak, pak. Saya tidak sempat rekam wajah pelaku pakai hp. Pak : Ya sudah lain kali direkam! A: Ini maksudnya saya disuruh balik merekam gitu? Pak : Kalau tidak ada bukti tidak bisa diurus dek. A: Oke tak viralin pak. Hati hati besok viral. Pak : Eh, bentar-bentar dek sini isi formulir dulu #Lohkokgituuu Kondisi kasus kekerasan seksual di Indonesia Kasus kekerasan seksual di Indonesia belum ada tanda-tanda akan mengalami penurunan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima laporan sebanyak 2.988 kasus pada 2019, jumlah yang mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018 sebanyak 2979 kasus (Tiyas, 2020). Data tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi lapangan sebenarnya. Angka tersebut hanya berasal dari korban yang berani melapor ke Lembaga layanan. Tidak sedikit korban kekerasan seksual yang memilih untuk diam dan tidak angkat bicara karena merasa malu dan tidak memiliki bukti fisik yang dapat disertakan. Baru-baru ini kasus memilukan terjadi di negara Indonesia kita tercinta. Adanya kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswi dengan inisial NR dan mahasiswi Unsri yang mengalami kasus pelecehan seksual oleh dosen di universitasnya. Kejadian tersebut menjadi fakta bahwa institusi tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Dunia Pendidikan semakin hari semakin rawan akan kekerasan seksual. Apalagi pihak yang terlibat berasal dari ruang lingkup yang sama. Pada kasus NR, Komnas HAM menyatakan bahwa ada informasi korban sempat melapor ke Propam terkait kasus yang dialami, namun kasus tersebut tidak ditangani dengan baik (Liputan6.com, 2021). Hal serupa juga dialami oleh Ibu Muda di Rokan Hulu yang mengalami pemerkosaan oleh empat pria dan laporannya tidak ditindaklanjuti karena kurang bukti. Sangat disayangkan, penanganan kekerasan seksual di Indonesia terkesan sangat lambat serta meragukan korban. Padahal korban sudah berani melaporkan kasus tersebut dengan harapan memperoleh dukungan dengan baik. Penanganan korban kekerasan seksual harus melalui “viral” agar mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Sangat memprihatinkan bahwa viral harus menjadi upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh korban agar mendapat keadilan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Belum adanya payung hukum & rumitnya proses laporan Indonesia belum mengesahkan Undang Undang untuk menangani kasus kekerasan seksual. Baik RUU penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) maupun RUU kejahatan seksual. Undang-undang tersebut berabad abad dibahas namun hingga kini belum disahkan. Pihak kontra menilai bahwa undang-undang ini mendukung zina, melegalkan LGBT, serta praktik aborsi di masyarakat. Padahal apabila melihat data yang ada, RUU PKS harus segera disahkan karena maraknya kasus kekerasan seksual serta adanya indikasi kekerasan seksual yang tidak mengenal tempat dan pihak yang terlibat. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan seksual sudah diusahakan melalui Undang-undang no. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) (Hairi, 2015). Namun, peraturan tersebut belum sepenuhnya berhasil dalam mengatasi kasus kekerasan seksual yang terjadi. Hal ini dikarenakan kedua peraturan tersebut hanya berfokus pada sanksi pidana untuk pelaku dan tidak menjamin hak korban untuk mendapatkan penanganan, perlindungan, serta pemulihan. Selain itu UU PDKRT hanya mengatur sanksi pidana pelaku kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, padahal di era sekarang kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja bahkan di ranah akademik sekalipun. Hukum Indonesia mewajibkan adanya bukti konkret pada kasus kekerasan seksual misalnya bukti kekerasan fisik pada korban dan seorang saksi. Kekerasan seksual seperti pelecehan, intimidasi, Kekerasan online serta percobaan pemerkosaan akan sulit menghadirkan bukti konkret. Pembuktian juga akan sulit dilakukan apabila kekerasan seksual terjadi pada tempat privat. Sering kali korban dihadapkan dengan beban pembuktian (burden of proof) sehingga mereka semakin ragu untuk melapor (ohrc, 2020). Bisa dibayangkan apabila seorang perempuan diperkosa di semak-semak. Siapa yang bisa jadi saksi? Apakah tumbuhan? Ngaco deh. Hal ini yang perlu menjadi pertimbangan untuk memudahkan korban dalam pembuktian dengan memahami kondisi korban. Normalisasi kesalahan pelaku oleh masyarakat Selain tidak adanya payung hukum yang jelas dan kerumitan proses laporan, ketidakberpihakan pada korban juga turut menyumbang kerumitan penanganan kekerasan seksual. Pihak berwajib sering kali tidak mau memahami posisi korban. Banyak korban mengatakan bahwa ia sering kali disudutkan dan dijadikan bahan bercandaan ketika membuat laporan. Masyarakat pun sering kali menyalahkan korban ketika ada kasus kekerasan yang terjadi. Mereka seperti menormalisasi kejahatan yang dilakukan pelaku dan melimpahkan kesalahan pada korban. Kekerasan seksual di masyarakat masih dianggap pelanggaran norma kesusilaan, bukan kejahatan terhadap fisik dan psikologis manusia. Selain itu masih banyaknya masyarakat yang menganut budaya patriarki sehingga laki-laki masih dianggap manusia yang lebih tinggi daripada perempuan. Mirisnya perlakuan masyarakat kepada korban juga menjadikan korban malu untuk melapor, apalagi kalau kasusnya menyebar luas, publik akan tahu foto wajah dan nama pelaku korban. Hal yang juga dinormalkan oleh media Indonesia “posting foto korban, tutupi wajah pelaku” Apa upaya yang dapat dilakukan? Penanganan kasus kekerasan seksual berkelanjutan Penanganan kasus kekerasan seksual berkelanjutan harus dilakukan dengan kolaborasi semua pihak. Mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat. Mereka harus berkolaborasi untuk menciptakan ruang aman untuk korban kekerasan seksual. Selain itu perlu adanya suatu bentuk kebijakan yang berkelanjutan di masa depan. Bentuk payung hukum kekerasan seksual Pemerintah harus bertindak cepat untuk mengatasi kekerasan seksual dengan mengesahkan undang-undang terkait kekerasan seksual. RUU PKS misalnya. Dalam RUU PKS telah diatur pemenuhan hak korban kekerasan seksual dan pengalokasian dana APBN untuk pemenuhan hak korban. Negara harus melebarkan pengertian kekerasan seksual bahwa kekerasan seksual tidak hanya diartikan sebagai pemerkosaan. Selain itu, ketika Undang-undang telah disahkan dan diimplementasikan, maka tidak ada alasan bagi pihak berwajib untuk menunda laporan dari korban. Adanya Permendikbudristek no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan universitas harus dilakukan dan diimplementasikan di seluruh universitas ( Kemdikbud, 2021). Peraturan ini menghimbau perguruan tinggi agar semakin aktif melaporkan tindak kekerasan seksual yang terjadi bukan malah menutupinya dan mendiskriminasi korban. Perguruan tinggi harus menjadi pelindung bagi korban kekerasan seksual dan mendukung pemulihan korban. Selain itu dengan adanya peraturan ini diharapkan universitas tidak lagi menutupi kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah demi nama baiknya dan secara aktif berperan mencegah kekerasan seksual. Dukung gerakan sosial yang berperan dalam pencegahan kasus kekerasan seksual Suatu gerakan sosial dapat menjadi agen perubahan sosial. Gerakan sosial dapat berjuang untuk membentuk kehidupan maupun kebijakan baru yang membentuk masyarakat ke suatu pola. Gerakan sosial yang sukses memperjuangkan pencegahan kekerasan seksual yaitu #MeeTooMovement. Gerakan ini muncul di Amerika Serikat dan berhasil membuat negara Amerika mengesahkan peraturan kekerasan seksual di tempat kerja dan melindungi hak korban. Namun Gerakan tersebut belum berhasil masuk ke Indonesia dikarenakan budaya patriarki yang mengakar di kultur masyarakat. Tetapi bukan berarti tidak ada gerakan lain yang bisa terbentuk. Gerakan Women March yang membantu pemenuhan hak-hak perempuan dan kesetaraan perempuan berhasil masuk Indonesia dan membantu mengampanyekan pentingnya hak Wanita. Gerakan sosial harus dapat bekerja sama dengan pemerintah, Komisi nasional, serta perempuan itu sendiri menciptakan dan mengampanyekan kebijakan-kebijakan peduli perempuan. Gerakan sosial juga harus bisa menempatkan diri di tengah masyarakat dan mulai mengedukasi masyarakat mengenai bahayanya dampak kekerasan seksual. Hentikan budaya patriarki dan ciptakan budaya baru Dengan fakta bahwa kasus kekerasan semakin marak dan menjadikan kondisi darurat kekerasan seksual. Maka perlu adanya budaya baru yang lebih pro perempuan yaitu (1) Stop menormalkan kesalahan pelaku dan melanggengkan budaya pemerkosaan dengan menganggapnya wajar. (2) Hentikan budaya patriarki, perempuan harus didukung haknya bukan malah didiskriminasi, (3) Dukung dan pahami korban kekerasan seksual serta berikan dukungan emosional. Baik aparat maupun masyarakat harus mendukung pemulihan korban kekerasan seksual jangan sampai ia mengalami depresi berlarut larut dan menghancurkan masa depannya. (4) Bangun pusat pengaduan di berbagai lokasi yang mendukung pendampingan yang terintegratif dengan pelayanan kesehatan memadai, Dapat disimpulkan bahwa proses penanganan kekerasan seksual harus dilaksanakan dengan partisipasi semua pihak. Baik pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat harus berperan aktif dalam mengurangi kekerasan seksual yang tidak ada habisnya. Mari ikut serta dalam mendukung ruang aman untuk perempuan dan peduli kesetaraan. Referensi Gambar ilustrasi : Detik.com. (2019, April 28). Pembuktian Kekerasan Seksual ala RUU PKS: Keterangan Korban dan 1 Buktihttps://news.detik.com/berita/d-4528194/pembuktian-kekerasan-seksual-ala-ruu-pks-keterangan-korban-dan-1-bukti. diakses pada 10 desember 2021 Kemdikbud. (2021, November 8). Permen Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi Tuai Dukungan. Retrieved from kemdikbud.go.id https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/11/permen-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-di-lingkungan-perguruan-tinggi-tuai-dukungan diakses pada 10 Desember 2021 Hairi, P. J. (2015). PROBLEM KEKERASAN SEKSUAL: MENELAAH ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGANNYA. NEGARA HUKUM. Liputan6.com. (2021, 12 10). Komnas HAM: Ada Informasi Novia Widyasari Rahayu Pernah Lapor ke Propam. Retrieved from Liputan6: https://www.liputan6.com/news/read/4729613/komnas-ham-ada-informasi-novia-widyasari-rahayu-pernah-lapor-ke-propam diakses pada 10 Desember 2021 ohrc. (2020). Burden of proof: evidentiary issues. Retrieved from Ontario Human Rights Commission: http://www.ohrc.on.ca/en/policy-preventing-sexual-and-gender-based-harassment/7-burden-proof-evidentiary-issues-0 diakses pada 10 Desember 2021 Tiyas, I. K. (2020). RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL : JALAN KEADILAN BAGI KORBAN. INFID.