Tri Wahyuni 0shares Jangan Takut Bicara: Mendukung Korban Kekerasan Seksual Read More Pernikahan sejatinya menjadi fase penting dalam kehidupan yang tentunya membutuhkan kesiapan baik fisik maupun psikis terutama bagi seorang perempuan. Namun pada tahun 2019 Koalisi Perempuan Indonesia dalam studi Girls Not Brides menyatakan bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan pernikahan sebelum usia 18 tahun atau yang dikenal dengan pernikahan dini. Data United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA) tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan angka pernikahan dini tergolong tinggi yakni sebesar 34%. Angka tersebut menempatkan Indonesia diurutan 37 dari 158 negara di dunia dan nomor dua setelah Kamboja untuk kawasan ASEAN (BKKBN, 2019). Kasus pernikahan dini di Indonesia terus melonjak  selama masa pandemi. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama kurun waktu Januari sampai Juni 2020 terdapat permohonan dispensasi perkawinan sebanyak 34.413 perkara, dimana 33.664 diantaranya dikabulkan oleh pengadilan agama. Dispensasi perkawinan merupakan pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Permohonan dispensasi di semester awal 2020 tersebut meningkat drastis jika dibandingkan data keseluruhan tahun 2019 yakni sebanyak 23.700 permohonan dispensasi perkawinan. LANTAS MENGAPA PERNIKAHAN DINI MENJADI MASALAH? Pernikahan dini terjadi pada fase remaja. Fase ini merupakan peralihan atau transisi dari anak menuju dewasa. Pada usia remaja, seorang anak mengalami pertumbuhan fisik yang pesat namun dari segi psikologis mereka belum mampu berfikir matang (Diananda, 2018). Ketidakmatangan dalam berfikir ditambah kemampuan finansial yang kurang akan berdampak negatif pada pernikahan. Pada kondisi ini, pihak perempuanlah yang akan lebih dirugikan. Penelitian Kumaidi dan Amperaningsih (2014) mengemukakan bahwa 56% remaja putri yang telah menikah di usia dini mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Bentuk KDRT beragam mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Pernikahan dini juga berdampak terhadap kesehatan perempuan. Pada saat remaja, organ reproduksi belum siap untuk dibuahi. Pembuahan yang mengakibatkan kehamilan akan meningkatkan resiko kematian ibu dan anak. Dikutip dari Sari Pediatri, 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja dibawah 17 tahun adalah bayi prematur dan beresiko stunting. Hal tersebut juga meningkatkan resiko terkena kanker serviks, endometritis dan inveksi. Jika sudah melahirkan, orangtua usia dini yang kurang dalam keterampilan mengasuh dapat membuat anak berisiko di telantarkan, keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, dan berpotensi menjadi orangtua di usia dini kelak. Pernikahan dini memutus akses pendidikan bagi perempuan. Banyak sekolah yang tidak mau menerima murid yang telah menikah. Dikutip dari The Jakarta Post 85% anak perempuan yang telah menikah tidak akan melanjutkan pendidikannya. Keputusan untuk menikah dan mengakhiri pendidikan mengakibatkan perempuan memiliki sedikit kesempatan untuk mengakses pekerjaan yang layak. Perempuan dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih sulit memasuki dunia kerja dan berkontribusi baik untuk keluarganya maupun untuk masyarakat. LINDUNGI ANAK PEREMPUAN DARI PERNIKAHAN DINI Melindungi anak perempuan agar tidak terjerat dalam pernikahan dini bukanlah hal yang mudah. Karena banyak faktor yang menjadikan anak menikah di usia belia. Mulai dari ekonomi, agama, budaya bahkan orang tua yang memaksa anak perempuan mereka menikah. Kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan dan tidak mampu menafkahi membuat orang tua memilih menikahkan putri mereka agar ada yang membiayai kehidupan anaknya. Dari segi agama menikahkan anak perempuan menjadi salah satu bentuk ketaatan. Lantas bagaimana mengurangi kasus pernikahan dini di Indonesia? Hal pertama dan utama adalah peran orang tua. Mengapa orang tua? anak merupakan aset orang tua. Mau seperti apa seorang anak adalah hasil pendidikan orang tua, pun dengan pernikahan. Pernikahan seorang anak tidak akan terlaksana tanpa orang tua, maka orang tua harus memiliki pemahaman dan wawasan mengenai dampak pernikahan dini. Orang tua harus menciptakan lingkungan yang mendukung serta mengubah stigma anak perempuan yang belum menikah adalah perawan tua. Biarkan dan berikan anak perempuan tempat dan kesempatan dalam mengembangkan potensi dan kegemaran mereka. Anak tetap dalam pengawasan serta disisi lain mereka terus berkembang. Lingkungan sekolah terutama guru harus mampu memberikan edukasi mengenai dampak pernikahan dini terutama disaat pandemi seperti saat ini. Selain memberikan edukasi, guru juga harus aktif memantau aktivitas peserta didik.  Sekolah dapat mewajibkan peserta didik memilih ekstrakulikuler yang ada. Peserta didik dapat disibukkan dengan hal-hal positif. Semua upaya preventif tersebut tidak akan berhasil jika tidak didukung peraturan yang tegas dari pemerintah. Pemerintah harus benar-benar memperketat aturan mengenai dispensasi perkawinan. Pemerintah dapat menaikkan usia minimal pernikahan agar mereka benar-benar siap menuju gerbang pernikahan. Mari buat anak perempuan kita menikmati masa remaja mereka. Jangan biarkan mereka mengasuh anak terlalu dini. Karena mereka berhak mendapat kesempatan yang sama layaknya laki-laki. Sumber Pustaka: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2019. https://www.bkkbn.go.id/detailpost/perkawinan-anak-di-indonesia-masih-tinggi diakses pada 07 Desember 2021. Fadlyana, Eddy. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri, Volume 11 Nomor 02, Agustus 2009. Diananda, Amita. Psikologi Remaja dan Permasalahannya. Journal ISTIGHNA 1 (1): 116-133 Kumaidi, Amperaningsih. Sikap dan Status Ekonomi Dengan Pernikahan Dini Pada Remaja Putri. Jurnal Kesehatan, Volume V Nomor 2, Oktober 2014, Halaman 131-136