fbpx
Pexels/Krizjohn Rosales

Melawan Plastik

Munculnya banyak iklan e-commerce tiap bulan pada tanggal tertentu membuat masyarakat Indonesia berbondong-bondong membeli barang yang paling dibutuhkan hingga yang tidak penting. Diskon besar-besaran dengan ongkos kirim yang gratis sangat menggiurkan untuk menghabiskan gaji yang baru saja didapat. Tak tanggung-tanggung, barang yang dipesan akan sampai dalam jangka waktu yang bisa dibilang singkat, tergantung lokasi penerima atau jasa antar yang digunakan. Lalu, apa hubungan iklan e-commerce dengan Indonesia dimasa depan yang lebih ramah lingkungan? Jika kalian adalah salah satu pelanggan dari sebuah e-commerce, satu pertanyaan untuk kalian, apa jenis bungkus barang yang kalian beli? Jawabannya adalah plastik. Sebagian besar paket atau barang yang dikirimkan dibungkus dengan plastik, belum lagi jika paket tersebut dibungkus oleh bubble wrap agar barang tidak rusak selama perjalanan. Sebagai salah satu pembeli di e-commerce, keuntungan yang saya dapatkan selain barang aman dari kerusakan, saya sering menggunakan benda tersebut sebagai pelepas penat atau bahasa gaulnya adalah stress release. Setelahnya, bungkus tersebut langsung berakhir di tempat sampah.

Selain itu, pengemasan sebuah produk atau barang di Indonesia hampir sepenuhnya terbuat dari plastik baik plastik sekali pakai atau botol plastik yang dapat digunakan berkali-kali. Bahan ini sudah menjadi primadona dimasyarakat. Mengapa demikian? Sifat plastik adalah selain dapat dibuat menjadi berbagai macam bentuk sesuai dengan keinginan juga dapat meihat volume atau isi dari barang tersebut.

Melalui SDG 12, Indonesia menuju pengurangan penggunaan sampah di tahun 2030 seharusnya menjadi fokus utama dari berbagai pihak terkait. Menurut saya, ada tiga pihak utama yang memberikan dampak besar yaitu konsumen, produsen, dan pemerintah. Mereka memegang pilar penting seperti keputusan terhadap produk tertentu atau pilihan pengemasan suatu produk. Tiap pihak memiliki kepentingan sendiri dalam menyuarakan pendapat atau memilih pengemasan yang tepat seperti ulasan saya berikut ini.

Bagi pihak konsumen, membeli sebuah produk sudah menjadi bagian dari aktifitas yang biasa dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya saja belanja bulanan yang menjadi ritual bulanan ketika sudah mendapatkan gaji. Belanja secara daring dahulu hanyalah aktivitas yang diremehkan karena takut akan keamanan barang hingga kepercayaan terhadap toko daring tersebut. Namun, orang-orang cenderung memilih berbelanja secara daring saat ini karena kemudahan akses untuk memilih barang di toko manapun pada tiap e-commerce atau website penjualan secara daring. Tak ayal, banyak sekali review produk yang dibeli bertebaran diberbagai platform media sosial. Sehingga ‘racun’ e-commerce atau masyarakat yang tergiur melihat ulasan produk tersebut membuat mereka berbondong-bondong membeli barang yang sama.

Pada akhirnya, peran media sosial dalam menggerakan masyarakat untuk melakukan sesuatu sangatlah besar. Hal yang viral di media sosial dapat membuat mereka melihat bahkan membeli produk yang sama. Cara ini bisa menjadi salah satu cara ampuh untuk menggerakan masyarakat dalam memilih produk yang ramah lingkungan dari segi pengemasan produk baik fisik maupun saat pengiriman kepada konsumen. Edukasi yang baik dengan kreatifitas di platform besar menjadikan masyarakat memikirkan produk mana yang baik untuk lingkungan atau kemasan mana yang dapat didaur ulang.

Mengenai ide-ide cemerlang seseorang, masyarakat juga dapat menjadi seorang yang kreatif untuk mengolah limbah sampah. Dengan bantuan search engine, seseorang dapat mencari ide segar atau mengembangkan ide sendiri untuk membuat kerajinan dari sampah. Ketika sudah banyak menghasilkan barang daur ulang, masyarakat dapat menjualnya melalui media sosial atau di marketplace yang sudah menjamur di publik. Harga yang terjangkau serta kualitas barang yang bagus, dapat memberikan daya tarik tersendiri sehingga calon pembeli ingin membeli produk daur ulang tersebut.

Lalu dari pihak produsen, ketika melihat aktifitas masyarakat yang condong memilih pengemasan yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, mereka akan berlomba-lomba berinovasi. Mengapa demikian? Produsen melihat hal tersebut sebagai suatu ladang bisnis atau tempat pemasaran yang baru. Salah satu yang paling berdampak menurut saya dari segi produsen adalah adanya kemasan isi ulang untuk produk yang diluncurkan. Berbeda dengan bungkus sachet yang sangat tidak ramah lingkungan, refill memiliki daya tarik kepada masyarakat agar menggunakan produk yang sama dalam skala besar. Selain itu, menurut saya, refill sendiri juga menjadi salah satu langkah awal terciptanya zero waste lifestyle dimana ketika seorang konsumen ingin membeli barang dari produsen, konsumen dapat membawa wadah sendiri.

Mungkin contoh lainnya, ketika pembeli ingin membeli bakso di warung, mereka dapat membawa wadah tahan panas yang terbuat dari plastik PET (Polietilena Tereftalat). Mungkin cara ini terdengar aneh dan ribet, namun, hal tersebut dapat mengurangi penggunaan plastik dalam membungkus bakso. Mengganti pengemasan juga dapat dilakukan ketika akan mengirimkan paket. Produsen bisa memulainya dengan menggunakan kardus dan untuk bubble wrap, dapat diganti dengan kertas bekas atau koran agar barang tetap aman. Bagaimana jika hujan? Produsen dapat bekerja sama dengan jasa pengiriman agar barang mendapatkan perlakuan istimewa alias ditempatkan dengan baik.

Terakhir, pemerintah seharusnya memiliki cara yang tegas untuk mengurangi penggunaan plastik di Indonesia. Memberikan dan menaikkan harga tiap kantong plastik sudah menjadi salah satu cara yang baik, namun pendapat saya, itu tidak memberikan hal yang berdampak cukup besar dan efek jera. Jikalau harga plastik tiap kantongnya dihargai seribu atau dua ribu rupiah, itu akan membuat masyarakat berpikir dua kali untuk membeli kantong plastik tiap bijinya. Sayangnya, hal tersebut dapat menurukan permintaan pasar terhadap kebutuhan kantong plastik. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah? Selain tentunya mendukung kebijakan pengemasan yang ramah lingkungan, pemerintah dapat menggalakkan kampanye pemisahan sampah.

Seharusnya, pemerintah memberikan edukasi yang baik pada masyarakat mengenai pemisahan sampah. Pemerintah sebaiknya memasukkan edukasi mengenai penggolongan sampah ke dalam kurikulum. Menurut saya, memberikan pemahaman serta megajak melakukan penggolongan sampah sedari kecil dapat membentuk seseorang untuk lebih sadar terhadap penggolongan sampah terutama sampah plastik. Hal ini dapat diumpamakan seperti seorang siswa yang sedang belajar bahasa Inggris dan ketika menjawab pertanyaan, dia harus mengulang pertanyaan tersebut lalu diikuti oleh jawabannya. Jika sedari kecil bisa menggolongkan sampah plastik dengan sampah yang bisa diurai, maka pemerintah dapat melancarkan gerakan daur ulang terutama sampah plastik.

Sebagai penutup, untuk mengurangi sampah plastik hingga setengahnya sesuai dengan SGD 12, berbagai pihak harus terlibat aktif dalam membuat hal tersebut terjadi. Tidak hanya sekedar kampanye dan aksi di media sosial saja, namun, harus dalam bentuk nyata. Hal tersebut dapat dimulai dengan cara yang paling sederhana seperti edukasi yang baik dan tepat hingga membentuk sebuah peraturan pendukung untuk kelancaran aksi tersebut. Selain hal itu, membuat pengemasan sebuah produk dan paket yang akan dikirimkan dari toko kepada pembeli sebaiknya mulai diganti dengan produk yang ramah lingkungan atau mudah didaur ulang. Menjual barang hasil daur ulang juga memberikan pemasukan kepada penjual. Hal tersebut dapat membantu mengurangi penumpukan sampah plastik, mengasah kreatifitas, dan menaikkan pemasukkan dikala pandemi.