Melynda Dwi Puspita Content Writer 0shares PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More 21% masyarakat Indonesia tidak percaya dengan adanya perubahan iklim Deklarasi miris tersebut adalah fakta dari riset yang dilakukan YouGov pada 2020. Bahkan negara kita tercinta ini menempati urutan pertama yang menyangkal perubahan iklim secara global. Sementara itu, 18% orang Indonesia menolak keras jika dikatakan perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia. Berdasarkan survei tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa kita perlu kerja keras untuk memberikan kesadaran dan pemahaman dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Seperti pernyataan Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, “masyarakat Indonesia harus segera diberikan pendidikan lebih lanjut untuk meningkatkan partisipasi”. Bagaimana Pemahaman Iklim di Bangku Sekolah? Ilustrasi Menanam Pohon (Sumber: pexels.com) “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Nelson Mandela Sebagai salah satu negara yang menerapkan aturan kebersihan sangat ketat, Jepang sudah lebih dulu mengajarkan pendidikan lingkungan kepada anak-anak. Selama 12 tahun bersekolah, para pelajar diberikan jadwal rutin untuk membersihkan lingkungan sekolah setiap hari. Kegiatan tersebut sering disebut sebagai o-sōji, apabila di Indonesia ialah piket. Seorang pelajar bernama Chika Hayashi yang diwawancari pihak BBC mengaku bahwa ia pernah malas untuk bersih-bersih sekolah. Namun ia berusaha menepis pikiran tersebut karena merasa bersih-bersih sudah menjadi bagian dari hidup. Tidak hanya itu, setelah jam makan siang, anak-anak terbiasa memilah sampah sebelum membuangnya. Bahkan di lingkungan tempat tinggal, anak-anak juga aktif mengikuti kerja bakti. Artinya, kesadaran mereka terhadap keberlanjutan alam begitu besar. “Pertama, kita buat kebiasaan, lalu kebiasaan akan membentuk kita” Charles C. Noble Apa yang dilakukan oleh Jepang bisa kita contoh untuk diterapkan di Indonesia. Mengingat keinginan untuk piket siswa Indonesia, banyak yang hanya sebatas karena ‘keterpaksaan’. Proses menanamkan karakter cinta lingkungan di sekolah ini bisa menjadi awalan untuk membentuk individu yang sadar sikap dan tindakan dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Rangkul Alam, Mengapa Perlu Menjadi Kurikulum Tersendiri? Ilustrasi Pelajar Peduli Perubahan Iklim (Sumber: pexels.com) Selain melalui kegiatan piket, selama ini pelajar hanya mempelajari pendidikan lingkungan melalui subbab mata pelajaran IPA atau Biologi. Terkadang pula, materi lingkungan juga menjadi bagian dari mulok (muatan lokal) mata pelajaran Keterampilan, seperti di SMP Negeri 1 Gending, Probolinggo. Siswa diajak untuk membuat prakarya dari sampah yang tidak terpakai (recycle). Atau kegiatan Pramuka yang dilakukan lebih banyak di luar ruangan. Sayangnya, kegiatan tersebut hanya sekadar formalitas, seperti hasil survei DKI Jakarta pada tahun 2019. Dari 186 responden (Generasi Z) di DKI Jakarta, 24,7% pelajar hanya kadang-kadang membuang sampah pada tempatnya. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa ketimpangan akan kesadaran pelajar merawat alam masihlah rendah. Sebuah sekolah di Kabupaten Asmat, SD YPPK Salib Suci Keuskupan Agats menjadi model sekolah pendidikan lingkungan hidup. Tidak hanya memungut dan mengolah sampah, siswa diajarkan untuk menanam pohon serta merawatnya. Artinya keinginan untuk menjaga alam begitu mendarah daging di benak siswa. Sehingga disini saya berusaha menyampaikan sebuah ide bahwa seharusnya pendidikan lingkungan hidup yang menyasar pada perubahan iklim dibuatkan kurikulum mandiri. Entah itu untuk kegiatan berupa mata pelajaran atau ekstrakurikuler. Sebab, tanpa adanya fokus pembelajaran pada lingkungan hidup, karakter cinta lingkungan hanyalah angan yang tidak bisa diraih. Nama Rangkul Alam dipilih sebagai bentuk representasi simbiosis komensalisme (salah satu diuntungkan, tetapi pihak lain tidak dirugikan) antara manusia dan lingkungan. Manusia membutuhkan sumber daya alam untuk menjalankan kehidupan, sementara alam sesungguhnya tidak memerlukan keberadaan manusia. Melainkan seyogyanya kita ‘mengucapkan’ terima kasih kepada alam dengan cara selalu merawatnya. Pada Kurikulum Rangkul Alam, kegiatan belajar mengenai ilmu lingkungan mulai diperkenalkan di bangku SD, SMP, dan SMA. Perlu dijabarkan terkait 5W+1H terkait segala hal tentang perubahan iklim. Penyebab terjadinya perubahan iklim serta usaha preventif ataupun cara mengatasinya. Seorang guru harus memaparkan kegiatan-kegiatan apa saja yang berpotensi memperparah perubahan iklim dari emisi karbon (carbon footprint). Misalnya seperti membuang sampah makanan, menggunakan listrik berlebihan, dan sebagainya. Melalui Mata Pelajaran Rangkul Alam, siswa akan diajarkan kegiatan-kegiatan yang lebih dari sekadar piket. Siswa akan melakukan hal-hal yang baik untuk bumi dalam koridor menyenangkan, seperti: Menggunakan listrik secukupnya ketika di sekolah dan di rumah atau bahkan memanfaatkan energi alam, seperti angin dan sinar matahari. Rutin menanam pohon dan merawatnya. Memilah dan mengolah sampah (3R). Diajak menghargai dan menghabiskan makanan agar tidak menjadi sampah (food waste). Mengajarkan siswa untuk mengonsumsi sayur-sayuran dari kebun. Mengedepankan penggunaan ‘kertas’ digital untuk kegiatan belajar mengajar. Mengajarkan aksi kampanye menyuarakan isu iklim melalui media sosial. Walaupun membuat sebuah kurikulum tidak semudah dibayangkan, sebab perlu riset lebih mendalam dan menggelontorkan anggaran. Namun saya meyakini bahwa pelajar itu ibarat sebongkah tanah liat, kita bisa membentuknya menjadi apapun yang diinginkan. Termasuk pula ketika kita ingin membangun kepedulian dan gaya hidup cinta lingkungan pada anak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada 45,21 juta pelajar di seluruh Indonesia tahun ajaran 2020/2021. Sehingga sesungguhnya masih ada secercah harapan bagi Indonesia untuk memperlambat atau bahkan menghentikan dampak perubahan iklim. “Tanpa pengetahuan, tindakan tidak berguna dan pengetahuan tanpa tindakan adalah sia-sia.” Abu Bakar Sumber Referensi https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-49956017 https://www.dw.com/id https://statistik.jakarta.go.id/media/2020/01/Buku-Survei-Perilaku-Masyarakat-Terhadap-Upaya-Pengurangan-Sampah.pdf