fbpx
Source of Image: Institute for Policy Studies

Pemuda Rentan Terpapar Ekstremisme, Pendidikan Bisa Menjadi Langkah Preventif yang Efektif

Peace cannot be kept by force; it can only be achived by understanding.

– Albert Einstein   

Seperti yang dikatakan oleh Erin Marie dalam TED Talks berjudul “How Young People Join Violent Extremist Groups and How to Stop Them”, ekstremisme bukan hanya soal kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang ‘jahat’ dengan motif yang sempit, melainkan merujuk pada tindakan atau tingkah laku tertentu pada tingkat ekstrem dengan rentang luas dan dilatarbelakangi oleh motif ideologi radikal yang kuat, baik dalam hal politik, keagamaan, kesukuan, hingga lingkungan sekalipun. Hal tersebut juga senada dengan penjelasan Hamdi Muluk (2019: 17) dalam buku Asking Sensitive Questions: Panduan Pelaksanaan Survei dengan Tema Tindakan Ekstrem Berbasis Agama dan Non-Agama yang menyebutkan bahwa ekstremisme adalah tindak kekerasan dengan ruang lingkup yang beragam, mulai dari penculikan, penyerangan, pembunuhan, kerusuhan etnik, pembantaian massal, sampai dengan tindakan terorisme dalam bentuk pengeboman.

Dengan begitu, bisa dibayangkan bahwa tindakan ekstremisme jelas bukan sebuah hal receh yang kemudian dibiarkan begitu saja. Jika dibiarkan, maka bagaimana jika kelompok-kelompok ekstremisme ini berkembang dan membunuh ribuan bahkan jutaan umat manusia? Bagaimana jika mereka mampu menguasai dunia dan membasmi kelompok lain-atau apapun yang harus mereka binasakan untuk tujuan mereka semata? Dalam hal ini, bisa dilihat dari kasus-kasus ekstremisme yang pernah terjadi di Indonesia, seperti pengeboman sebuah gereja di Surabaya hingga aksi teror Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) selama bertahun-tahun, telah memakan banyak korban.  Padahal, eksistensi manusia adalah hidup secara damai dengan berdinamika sosial yang sehat sesuai dengan poin 16 Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjunjung tinggi peace dan justice.

Sebagai sebuah gerakan, ekstremisme ini banyak menyasar pemuda. Haula Noor, dalam artikel ilmiah populernya di laman The Conversation, menyebutkan bahwa pemuda sangat rentan tersasar gerakan ekstremisme. Lebih lanjut, disebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh karakteristik pemuda yang cenderung mengalami kecanduan internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan poltik, dan suka berbagi. Terlebih, pemuda sedang mengalami masa pencarian identitas diri sehingga membuat mereka lebih rentan termakan doktrin-doktrin baru. Untuk itu, hal ini jadi membahayakan dan mengkhawatirkan dikarenakan pemuda adalah pemegang tongkat estafet masa depan bangsa dan menjadi penyumbang komposisi terbesar dalam populasi Indonesia.

Selain itu, kerentanan pemuda terjerat ekstremisme disebabkan oleh sebagian dari mereka yang sebelumnya merasa terisolasi secara sosial. Seperti dalam penelitian neuroimaging yang dilakukan oleh Hamid et al. (2019), otak-otak dari pelaku ekstremisme memiliki kesamaan berupa kurang berfungsinya bagian profrontal korteks yang berperan dalam kontrol keputusan dan kemampuan interaksi dengan lingkungan sehingga mengindikasikan bahwa mereka kemungkinan merasa terisolasi secara sosial. Lebih lanjut, dari penelitian yang sama, ditemukan bahwa terdapat kemungkinan pengaruh teman sebaya dalam menimbulkan kerentanan ini. Hal ini dilihat dari hasil wawancara mereka yang banyak menyebutkan bahwa apa yang mereka lakukan turut dipengaruhi oleh pertemanan mereka.

Menanggapi hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekstremisme yang dilakukan pemuda disebabkan oleh dua faktor utama, yakni pola pikir dan lingkungan, dimana sebenarnya keduanya saling memengaruhi. Maka dari itu, hal yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan tindakan preventif guna membentuk cara berpikir dan lingkungan yang baik bagi pemuda. Hal ini kemudian menjadi penting karena tindakan represif saja tidak bisa mencabut akar ekstremisme seluruhnya. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang telah dicanangkan pemerintah seharusnya menjadi penguat perlawanan terhadap ekstremisme ini. Selebihnya, tindakan preventif harus menjadi senjata utama.

Tindakan preventif yang bisa dilakukan adalah dengan melalui pendidikan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pendidikan menjadi modal dasar kerangka berpikir yang kuat untuk membangun pertahanan terhadap ekstremisme. Contohnya, Kanada berhasil menurunkan angka ekstremisme dengan menyelipkan program story telling dalam kegiatan pendidikannya. Maka dari itu, melalui tulisan ini, penulis ingin mengajukan tiga cara untuk menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan melawan ekstremisme.

  1. Merancang pendidikan anti-ekstremisme berbasis critical thinking

Pendidikan anti-ekstremisme perlu dirancang untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada pemuda tentang bahaya ekstremisme. Apalagi sampai saat ini, pendidikan Indonesia cenderung hanya berfokus pada penguatan pengetahuan dan keterampilan pemuda. Padahal penguatan ideologi dan kerangka berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk mencegah keterlibatan mereka dalam aksi ekstremisme. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Chan (2019) menyebutkan bahwa pendidikan berbasis critical thinking mampu menurunkan sikap etnosentrisme. Untuk itu, pemerintah bisa merancang sebuah kurikulum khusus mengenai pendidikan anti-ekstremisme berbasis critical thinking ini.

  1. Memaksimalkan peran media sosial

Media sosial turut menjadi media pendorong aksi ekstremisme. Maka sebagai bumerang, media sosial juga bisa menjadi tools untuk menyebarkan literasi mengenai ekstremisme. Dalam hal ini, semua pihak bisa turut ikut serta untuk melakukan aksi melawan ekstremisme secara elegan dan berpendidikan. Contohnya, non profit organizations (NGOs) dan private sectors bisa bahu membahu menyelenggarakan pendidikan non formal berbasis media sosial untuk mengedukasi pemuda mengenai ekstremisme. Lebih lanjut, penulis juga merekomendasikan SDG Academy Indonesia sebagai wadah untuk melawan ekstremisme bagi pemuda. SDG Academy Indonesia menyelenggarakan berbagai kegiatan yang membantu perlawanan terhadap ekstremisme, mulai dari  kompetisi hingga Youth for SDGs Summit.

  1. Membuka ruang yang aman untuk berdiskusi dan berpendapat

Hal yang bisa dilakukan untuk mencegah ekstremisme bagi pemuda adalah dengan membuka ruang yang aman untuk berdiskusi dan berpendapat agar mereka bisa dengan leluasa membagikan pikiran mereka. Apalagi untuk pemuda yang kesulitan untuk berinteraksi sosial, lingkungan yang aman diperlukan untuk mereka beradaptasi, berpikir, dan menemukan identitas diri mereka melalui jalan yang benar-tidak ekstrem. Dengan iklim yang seperti itulah, pemuda memungkinkan diri untuk belajar menghargai dan menghormati proses diskusi yang terjadi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias yang selama ini mereka yakini.

Pada akhir kalimat, penulis berharap pendidikan dapat menjadi langkah preventif yang efektif untuk melawan ekstremisme bagi pemuda di Indonesia. Mari bergerak bersama melawan ekstremisme! Salam Indonesia anti-ekstremisme!

Referensi

Chan, C. (2019). Using digital storytelling to facilitate critical thinking disposition in youth civic engagement: A randomized control trial. Children and Youth Services Review, 107. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2019.104522

Hamid, N., Pretus, C., Atran, S., Crockett, M. J., Ginges, J., Sheikh, H., Tobeña, A., Carmona, S., Gómez, A., Davis, R., & Vilarroya, O. (2019). Neuroimaging “will to fight” for sacred values: An empirical case study with supporters of an Al Qaeda associate. Royal Society Open Science, 6(6). https://doi.org/10.1098/rsos.181585

Muluk, H., & Panduan, B. (2019). Violent Extremism dalam Sudut Pandang Psikologi. In Asking Sensitive Questions: Panduan Pelaksanaan Survei dengan Tema Tindakan Ekstrem Berbasis Agama dan Non-Agama (pp. 17–20). Centre for Strategic and International Studies. http://www.jstor.org/stable/resrep25408.8.

Noor, H. (2021, April 8). Bagaimana perempuan, anak muda terlibat dalam aksi terorisme. The Conversation. https://theconversation.com/bagaimana-perempuan-anak-muda-terlibat-dalam-aksi-terorisme-158378.

Robby, M. B., Anindya, C. R., & Amanda, P. K. (2021, September 10). Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan. The Conversation. https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282.

Saltman, E. M. (2017, September 18). How young people join violent extremist groups and how to stop them. TED Talks. https://www.youtube.com/watch?v=HY71088saG4&t=26s.