Rodhiyah29 Co-Founder IYALO for SDGs 0shares PELATIHAN KEPEMIMPINAN SDGS DALAM MENDUKUNG MERDEKA BELAJAR DI MALUKU Read More Media sosial dewasa ini mulai mewabah pada masyarakat Indonesia, tak terkecuali pengguna perempuan. Akun yang mulanya hanya diperuntukkan kepada pengguna berusia minimal 18 tahun, namun pada kenyataannya banyak diakses oleh pengguna usia yang jauh lebih muda. Kemudahan dalam mengakses media sosial bagi segala umur ini menjadikan media sosial sebagai alat yang easy-accesed bagi siapa pun. Selain digunakan sebagai media informasi, perempuan juga menggunakan media sosial sebagai wadah eksistensi diri, media promosi tentang diri, dan aktivitas hidup lainnya. Euphoria penggunaan media sosial juga menunjukkan tingkat kesenjangan pengetahuan masyarakat, khususnya perempuan, dalam menggunakan media sosial. Golongan pertama, mereka yang mampu menggunkan media sosial dengan baik secara fungsional, menambah pengetahuan, semakin berdaya, dan memiliki peluang dalam banyak hal berkat media sosial. Media sosial secara empiris telah berhasil dan terbukti memberikan manfaat yang positif sebagai sarana komunikasi, akses informasi, hiburan, eksistensi diri, sekaligus sebagai alat strategi produktif seperti menciptakan branding, charity-filantropi, berdagang, hingga kegiatan positif lainnya. Sedangkan golongan kedua, ibarat pisau bermata dua, adalah mereka yang hanya ikut-ikutan dan gagap dalam bermedia sosial. Media sosial dijadikan sebagai katarsis dalam bertindak negative mulai dari hal sederhana hingga menjurus pada kriminalitas dan pelecehan. Adanya kebebasan dari setiap pengguna untuk mengekspresikan dirinya di media sosial membuat pengguna lain juga merasa bebas untuk berkomentar dan bertindak. Tindak pelecehan pada perempuan di media sosial makin beragam bentuknya, mulai dari komentar, pesan teks, mau pun berbentuk video call. Penelitian yang dilakukan oleh Sloane Burke W, dkk, tentang “Exploring Cyber Harrassment among Women Who Use Social Media” kepada 293 perempuan dewasa dengan usia 18 tahun keatas, menyebutkan bahwa dalam 12 bulan terakhir 19,9% responden menyatakan telah berulang kali menerima pesan cabul yang tidak diminta dan berasal dari orang yang tidak dikenal. Sedangkan 10% responden telah menerima pesan pornografi, 19,2% responden lainnya menyatakan telah berulang kali menerima ajakan seksual di internet dari orang yang tak dikenal, dan 12,5% telah diancam secara online oleh seseorang yang tidak mereka kenal. Tindak pelecehan ini dianggap sebagai hal yang biasa bagi pelaku namun tidak bagi korban. Perilaku pelecehan baik di dunia nyata mau pun di media sosial dapat menimbulkan penderitaan yang berlapis dan jangka panjang bagi korban, sehingga diperlukan sistem penanganan, perlindungan, dan juga pemulihan yang menyeluruh dan berkualitas bagi korban. Melihat dua sisi tersebut, apakah lantas perempuan perlu mengisolasi diri dan bersikap anti media sosial? Untuk mencegah terjadinya pelecehan pada pengguna media sosial khususnya perempuan, maka setiap pengguna media sosial harus pandai dan bijak dalam menggunakan media sosial. Upaya untuk mencegah pelecehan yang terjadi pada perempuan di media sosial, sebaiknya dimulai dari tiap-tiap pribadi pengguna media sosial, bahkan oleh pengguna perempuan itu sendiri. Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh perempuan adalah dengan meningkatkan literasi dalam bermedia sosial. Media literacy atau lietasi media, adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Dengan banyaknya definisi tentang liteasi media yang telah dikemukakan banyak ahli, secara garis besar literasi media berhubungan dengan bagaimana masyarakat dapat mengambil control atas media. Literasi media memiliki peran penting bagi perempuan, kemampuan literasi yang baik dapat membantu perempuan dalam menggunakan media sosial secara proposional. Pentingnya meningkatkan literasi dalam bermedia sosial akan membantu perempuan untuk memiliki kesadaran, kendali, dan batasan yang tegas serta jelas dalam menggunakan medial sosial. Media literacy diperlukan sebagai upaya pencegahan pelecehan media sosial diimbangi dengan kecakapan dalam mengakses media sosial, sehingga dibutuhkan pemahaman dalam menggunakan media sosial secara sehat. Tak hanya itu, perempuan utamanya, sebaiknya juga menggunakan dan menerapkan etika dalam bermedia sosial. Hal ini membantu dalam meminimalisir pemicu terjadinya pelecehan di media sosial kepada pengguna perempuan. Salah seorang penggiat media jurnalisme warga (Kompasiana) pernah membuat 10 rumusan internet etiket, penerapan etika dalam berkomunikasi menggunakan internet, yakni: Ingatlah keberadaan orang lain Taat kepada standar perilaku online yang sama kita jalani dalam kehidupan nyata Ketahuilah di mana kita berada di ruang cyber Hormati waktu dan bandwithy orang lain Buatlah diri kita kelihatan baik ber-online Berbagilah ilmu dan keahlian Menolong agar api perperangan tetap terkontrol Hormati privasi orang lain Jangan menyalahgunakan kekuasaan Memaafkanlah jika orang lain berbuat kesalahan Konsep etika ini secara umum melekat pada tatanan masyarakat informasi. Selain bersifat universal etika bermedia sosial dapat diturunkan dari persfektif budaya dan agama. Peran dan tugas dalam menjaga agar media sosial bisa menjadi tempat yang nyaman untuk perempuan mengekspresikan dirinya, adalah peran dan tugas kita bersama. Upaya untuk menyadarkan masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial bisa dimulai dari kesadaran diri sendiri dalam bermedia sosial.